[4] Tong Kosong Nyaring Bunyinya
Bagi Anin, hari Kamis adalah hari di mana ia dapat tidur sepuasnya di dalam kelas tanpa khawatir dengan omelan para guru. Karena jadwal pelajaran hari itu berisikan mata pelajaran yang paling dikuasainya sekaligus disukainya.
Alasan lainnya adalah karena kebanyakan guru yang mengajar di hari Kamis biasanya memberikan kebebasan bagi muridnya setelah mengerjakan tugas.
Setelah ia memakirkan sepeda warna birunya, ia berjinjit dan melangkahi genangan yang tercipta di paving. Langkah kakinya menuntun ke kelas XI MIPA 2 yang berada di lantai dua gedung yang berseberangan langsung dengan lobi sekolah. Sesekali Anin melirik jam tangannya demi memastikan bahwa dia tidak terlambat masuk kelas.
Sebenarnya bel memang sudah berbunyi sejak dua menit yang lalu. Di mana pada saat itu Anin baru menuntun sepedanya dan mencari tempat kosong untuk memarkirkan sepedanya karena lahan parkir yang ada sudah penuh dengan sepeda para murid.
Beruntung Dewi Fortuna menebarkan serbuk emasnya ke tubuh Anin. Kala ia membuka pintu kelas, guru yang mengajar di jam pertama belum masuk ke kelasnya. Kemungkinan masih dalam perjalanan kemari. Mengingat jarak ruang guru dengan kelas XI MIPA 2 lumayan jauh, apalagi guru itu harus berjalan dengan kakinya yang sudah dimakan usia.
Seusai mengenyakkan diri di kursinya, Anin mulai mendapati keanehan. Teman sebangkunya, Joy tidak ada di tempatnya. Padahal biasanya cewek itu datang lebih pagi daripada Anin yang selalu menganut sistem jam karet.
"Eh, lo lihat Joy, nggak?" tanya Anin pada siswi di depannya.
Siswi itu menoleh ke belakang. "Enggak. Btw, lo udah denger gosip super hot hari ini?"
"Gosip apaan?"
"Katanya hari ini ada yang dikeluarin dari sekolah kita."
Jantung Anin langsung berdetak kencang. Ia tiba-tiba teringat dengan interaksi Joy dan Aldo di depan ruang karawitan. "Hah? Kok bisa?"
"Katanya mereka ketahuan melakukan hal—Lo tahu? Seperti ini." Siswi itu melakukan gerakan mengutip dengan jarinya.
"Mereka berciuman?"
Siswi itu memelankan suaranya. "Ya. Dan ... Mungkin berlanjut ke hubungan suami istri."
Bagai disambar petir di siang bolong, Anin hanya mampu terperangah dengan tubuh yang kaku. Jantungnya sudah mencelus hingga ke kerongkongan.
Seakan tidak memberinya ketenangan barang sejenak, guru Biologi memasuki kelas dengan memberikan berita besar, yakni ulangan dadakan. Hanya dengan lima soal, tapi menganakpinak dan tentunya lebih HOTS daripada gosip yang barusan didengar Anin.
∆∆∆
Anin tidak tahu sejak kapan ia menjadi orang yang terlalu khawatiran jika mengungkit Joy. Setiap nama Joy disebut, jantungnya selalu bertabuh bagai genderang perang di dalam sana karena cewek itu selalu melakukan tindakan di luar nalar.
Pernah suatu ketika, saat mereka berdua masih kelas VII, tepatnya pada masa MOS. Di kala banyak murid baru yang memilih diam dan menunduk ke bawah, Joy dengan beraninya menyuarakan suara. Dengan wajah yang santai, secara ajaib ia melontarkan keluh kesah yang diderita oleh para murid baru dalam rangkaian kalimat yang lugas dan mengena.
Sampai-sampai senior yang tadi memarahinya mematung dengan wajah merah padam karena malu. Merasa tidak bisa mengelak dari pernyataan Joy, senior itu malah menggiringnya ke tempat lain dan mulai memaki-makinya sampai puas.
Saat itu, mata Anin seketika terbuka. Ia memutuskan untuk menjadikan Joy sebagai sosok yang dikaguminya.
Satu-satunya yang ingin Anin dapatkan hari ini hanyalah suatu pernyataan tanpa 'katanya'. Selain itu, Anin ingin membuktikan bahwa bukanlah Joy yang menjadi tokoh dalam gosip tersebut dengan bermodalkan surat izin. Namun nyatanya surat itu tidak kunjung datang.
Oleh karena itu, saat jam istirahat pertama berbunyi, Anin langsung tancap gas ke kelas Aldo. Ketika matanya menangkap sosok Aldo di dalam kelas, Anin langsung mengembuskan napas lega. Sekarang tinggal menginterogasi Aldo.
"Aldo, lo dicari Anin tuh."
Aldo melirik ke ambang pintu. "Ogah. Dia cari gue cuma pas ada butuhnya doang. Bilang ke dia kalau gue gak masuk sekolah."
Sesuai dengan yang diperintahkan oleh Aldo, siswa itu menghampiri Anin di ambang pintu kelas dan mengatakan, "Aldo bilang kalau dia gak masuk sekolah."
Anin hanya melempar senyum terbaiknya. "Oh gitu. Makasih, ya."
Tanpa memedulikan perkataan siswa itu, Anin menyerobot masuk ke dalam kelas Aldo. Dia kini telah berada di depan bangku Aldo sambil berkacak pinggang dan memasang tampang garang.
Aldo memandangnya malas. "Tumben, lo nyari gue."
"Ikut gue bentar. Ada hal yang perlu gue tanyain ke lo."
Aldo tetap pada posisi duduknya. Dengan terpaksa, Anin menarik tangan kanan cowok agar mau mengikutinya. Tapi tarikannya tersebut tidak berdampak apa-apa. Aldo masih tidak bergerak seinci pun dari tempat awalnya.
Anin melotot tajam. "Ikut gue bentar."
"Ngomong di sini aja," timpal Aldo sembari berbalik menarik pergelangan tangan Anin. Alhasil tubuh Anin seakan terdorong dari belakang dan hampir saja bersinggungan dengan tubuh Aldo. Cewek itu refleks menahan tubuhnya dengan tangan kiri menjadi tumpuan di kursi.
Anin mendesis kesal. "Lepasin tangan gue, Ro-Nal-Do-Wati."
"FYI, nama gue Ronaldo. Jadi jangan heran kalau gue emang seganteng Christiano Ronaldo."
"Dasar tukang halu. Sekarang ikut gue!"
Aldo tersenyum lebar sembari melepaskan cekalan tangannya pada tangan Anin. "Lo aja yang pergi dari sini. Kalau bisa jauh-jauh deh dari gue."
Anin mendengus sebal. Ia akhirnya mengalah. "Hari ini Joy gak nge-chat lo?"
"Nge-chat apaan mang?"
Mulanya Anin mengira bahwa Aldo telah membohonginya, namaun saat ekspresi ketidaktahuan yang lamat-lamat terpancar di wajah Aldo, Anin buru-buru mengubah pertanyaan. "Joy gak titip surat izin ke lo?"
"Gak."
Mulut Anin membulat. Walaupun kurang puas dengan jawaban Aldo, ia tetap memilih kembali ke kelasnya.
Langkah kaki Anin terhenti di ambang pintu kelas. Tiba-tiba dari hatinya yang paling dalam, dia merasa bersalah. "Ah, jangan-jangan ...."
∆∆∆
Kedatangan mereka berdua sebetulnya sudah diprediksi oleh Joy. Namun hanya satu yang tidak ia mengerti. Sejak kemunculan mereka di rumahnya, Anin tidak lelah untuk tersenyum lebar.
Cewek itu bahkan melemparkan senyum terbaiknya kepada Aldo. Padahal yang Joy tahu, dua orang itu tidak akan berhenti saling mengolok-olok satu sama lain jika dibiarkan bersama dalam satu tempat.
"Apa yang terjadi?" tanya Joy dengan posisi berbaring di ranjang kamarnya.
Anin malah terkikik. "Gue baru tahu kalau kadal buntung ternyata bisa bercanda."
Aldo yang duduk di sebelah Anin langsung melayangkan protes, "apa?! Lo masih kesel sama gue? Gue kan udah minta maaf ke lo tadi."
"Oh, secara gak langsung, lo ngakuin kalau diri lo itu emang kadal buntung."
"Lo kira gue gak tahu? Beberapa kali lo manggil gue kadal buntung."
"Bisa aja gue manggil yang lain, 'kan? Bukan lo. Mangkanya jadi orang jangan ke-GR-an, entar jadinya makan ati terus deh."
Aldo mengetatkan rahangnya. Ia mengepalkan kedua tangannya hingga buku-buku jari memutih. Melihat hal itu, nyali Anin sedikit menciut. Tapi ia sama sekali tidak ingin memperlihatkan bahwa dia takut jika Aldo akan memukulnya. Anin menutupi kegugupannya dengan dagu terangkat seolah menantang balik Aldo.
"Anin, aku ingin minum susu taro," sahut Joy, berupaya menengahi pertikaian mereka berdua.
Jika saja tubuhnya tidak lemas dan sepanas daging yang baru dikeluarkan dari dalam oven, Joy bisa saja melerai mereka berdua dengan kedua tangannya. Sayang hal itu tidak mungkin terjadi. Yang bisa Joy lakukan saat ini cuma berbaring bagai ikan sarden. Jadi cara yang terbaik untuk saat ini adalah memisahkan mereka berdua.
Anin langsung mengangguk dan pergi keluar kamar Joy tanpa berkata apa pun lagi.
"Aldo, Anin itu berbicara tentang fakta, kok."
"Fakta dari Hongkong?!" sungut Aldo tidak terima.
Beberapa selang kemudian, Aldo akhirnya berhasil meredam emosi dengan upayanya sendiri. Seperti pada tutorial yoga di teve, Aldo menghela napas kemudian mengembuskannya berulang kali sembari memejamkan mata.
"Gue minta maaf malah makin ngerepotin bokap lo gara-gara surat izin lo gue tinggal di rumah gue."
Anin menggelengkan kepala. "Yang penting kamu sudah mengabari Papa. Jadi absenku gak dialfa hari ini."
Aldo tersenyum lega. "Untung aja Anin nanya tentang itu ke gue."
"Kalau gitu, kamu harus berterima kasih sama Anin."
Aldo mendengus sebal. "Idih, ogah. Entar dia makin tambah sombong."
"Kamu sudah menemukan data anggota kedisiplinan dua tahun di atas kita?"
Sejenak Aldo terpaku, mencoba meraba ke mana arah pembicaraan ini akan dibawa. Ia lalu menggelengkan kepala. "Belum. Oh, iya. Tadi ada rapat WDA dadakan dan—" Aldo memelankan suaranya. "Kami membahas sesuatu yang amat penting hari ini."
Sesaat mendengar kata 'penting' dikumandangkan, Joy langsung bersemangat untuk mengorek informasi yang disampaikan oleh Aldo lebih dalam. "Apa yang kalian bahas di rapat ini?"
"Dua murid kelas XII yang dikeluarkan dari sekolah."
Kedua mata Joy seketika membulat penuh. Ia terperangah. "Siapa dan peraturan apa yang mereka langgar?"
"Mereka melakukan adegan yang tidak pantas di lingkungan sekolah. Melakukan hal 'itu' lebih tepatnya. Dan salah satu murid yang dikeluarkan itu ... Lo baru ngobrol sama dia kemarin."
Joy terdiam. Ia memilah-milah ingatannya, mencari tahu murid kelas XII siapa saja yang diajakmengobrol olehnya. Satu per satu jarinya membuka, menghitung dan mengeja nama orang-orang itu. Tapi itu banyak sekali. Apalagi kemarin dia mengobrol dengan banyak murid kelas XII.
"Siapa?" tanya Joy.
"Khalwa Habibah."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top