[2] Kura-kura Dalam Perahu
Nyanyian Indonesia Raya yang memenuhi lapangan, tangan bersikap hormat, dan murid yang memakai nama dada dari kardus bekas dengan tulisan "Saya mengaku salah dan berjanji tidak akan mengulanginya." sudahlah menjadi pemandangan yang biasa bagi murid SMA Wamsakarta. Itu semua adalah salah satu dari sekian banyak bentuk sanksi bagi pelanggar, yakni terlambat masuk gerbang sekolah.
Tidak peduli mereka telat satu menit atau bahkan satu detik, mereka tetaplah melanggar peraturan sekolah dan pantas dihukum. Bagi murid SMA Wamsakarta, kedisiplinan merupakan poin penting jika mereka tetap ingin bertahan hidup di sekolah ini dan terhindar dari norma tertulis.
Dikarenakan peraturan yang bejibun itu, orang luar menjuluki SMA Wamsakarta sebagai sekolah 1001 norma atau 1001 aturan.
Para pelanggar biasanya akan dikumpulkan di aula yang berada pada sayap kiri gedung sekolah, lantai tiga. Saat acara pencerahan itu dimulai, aula seakan berubah menjadi ladang neraka bagi mereka. Bayangkan saja, selama satu jam lebih mereka hanya diperbolehkan duduk lesehan hingga kebas dan mendengarkan petuah-petuah yang disampaikan oleh guru.
Setelah itu, mereka akan dipisah berdasarkan pelanggaran yang mereka perbuat dan menjalani hukuman masing-masing. Biasanya kegiatan itu tetap ada sampai bel istirahat pertama berbunyi. Laiknya saat ini—beberapa murid bersikap hormat, menghadap bendera merah putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya di lapangan upacara.
Di seberang lapangan upacara, Joy tengah duduk di bangku beton sambil memakan keju lembaran yang barusan ia comot dari tengah roti lapis. Kedua matanya fokus menatap murid-murid yang tengah menjalani hukuman.
Sementara Joy menikmati waktu istirahatnya, Anin bersemedi di dalam kelas dengan buku catatan kimia yang berceceran dalam keadaan terbuka. Sebelumnya cewek berwajah bulat itu terus merajuk kepada Joy tentang betapa sulitnya ia menyerap penjelasan dari orang lain. Bimbingan singkat dari Joy terasa seperti masuk kuping kanan keluar kuping kiri.
Oleh karena itu, akhirnya Anin menyuruh Joy untuk beristirahat terlebih dahulu dan dia akan menetap di kelas, belajar mati-matian demi ulangan harian yang diadakan setelah jam istirahat pertama hari ini. Dengan terpaksa Anin pun harus melepaskan predikat paket panas mereka.
"Ale."
Bisikan itu berembus tepat di telinga kiri Joy. Kedua pipinya langsung bersemu merah delima dan dia buru-buru menutupi telinga kirinya. Dari belakang tubuhnya, terdengar suara kekehan yang khas. Tanpa menoleh pun, Joy sudah tahu kalau pemilik suara itu adalah Aldo.
"A-apa?"
Siswa dengan lesung di kedua pipi itu melangkahi bangku beton dan segera duduk di sana. Tangan kanannya dalam sekejap sudah melingkari leher belakang Joy.
"Keju lagi, ya? Lo gak takut gemukan?"
"Enggak," jawab Joy lugas.
Aldo hanya tertawa hambar menanggapinya. Ia lalu berseru lantang ke arah lapangan upacara, "Nyanyinya yang semangat, dong."
Sontak para murid yang tadinya bernyanyi dengan nada lemas, menoleh ke belakang. Nyanyian Indonesia Raya terhenti di tengah jalan. Semua pandangan tertuju pada Aldo yang tersenyum lebar. Ada yang mendecih kesal, memalingkan wajahnya, atau bahkan terpana dengan senyuman sejuta watt milik Aldo.
Salah satu siswi dengan badge warna merah—penanda kelas XII— mengibaskan rambut hitam sepinggangnya seperti duta iklan sampo. "Oke," serunya dengan suara sekalem mungkin.
Bukannya berbalik kembali menghadap bendera merah putih, siswi itu malah menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan menghadap ke arah Aldo. Tindakannya itu pun diikuti oleh sebagian siswi pelanggar.
Aldo menatap heran. "Yah, gak gitu juga kali."
"Joy, lo udah nemu lakon utama lainnya selain Mawar?"
Joy tak segera menjawab. Ia malah menggigit kuku jari telunjuknya dengan pandangan mata yang lurus ke depan. Aldo yang melihatnya langsung menurunkan jari Joy dari bibirnya sembari berujar, "Duh Joy, entar lo cacingan."
Cewek itu menurut saja. Meskipun begitu, tatapan matanya tetap kosong. Tubuh Joy memang masih di dunia fana, namun pikirannya telah berkelana entah kemana. Butuh waktu tiga menitan hingga wajah Joy kembali memancarkan aura kehidupan.
Joy tiba-tiba mendongak ke Aldo yang masih setia dengan posisinya sejak tadi. Yang menjadi pembeda adalah tangan Aldo kini berada di samping tubuhnya untuk dijadikan penyangga punggungnya yang sedikit miring sehingga terlihat seperti segi tiga siku-siku.
"Kelas dua belas."
Aldo mengerutkan dahi. "Apa?"
"Apa kamu mengenal dekat mantan anggota kedisiplinan yang sekarang kelas 12?" tanya Joy dengan wajah yang kelewat serius.
Mata Aldo menyipit. Sebelah kakinya mengentak paving berkali-kali. "Iya, tapi gak terlalu kenal deket sih. Emangnya kenapa?"
"Kita mungkin bisa menemukan lakon lainnya."
Kedua alis Aldo terangkat tinggi-tinggi. "Hah? Gue bener-bener gak paham."
"Aku berpikir kalau beberapa mantan anggota WDA juga pernah mencari tahu tentang keberadaan ketua mereka."
"Gue gak yakin."
"Aldo, kita tidak bisa meremehkan anggota WDA, mereka adalah anggota yang terpilih kecuali aku."
"Ah, lo bener. Gue gak habis pikir sama lo deh. Padahal banyak murid yang coba ngeles biar gak dipilih jadi anggota WDA, tapi lo malah nyalonin diri."
"Kita mulai dari siapa dulu?"
Aldo bergumam cukup lama. Dia kembali mengentakkan sebelah kakinya. "Khalwa Habibah. Menurutku dia orangnya ramah, tapi ... yah, lo bakalan tau sendiri nanti. Pokoknya lo kudu sabar ngadepin dia."
Joy mengangguk setuju. Sudah diputuskan. Selain menimba ilmu, agendanya hari ini adalah mengajak bicara Khalwa Habibah. Cewek itu lantas berdiri dari duduknya sembari menenteng tempat makan ke tangan kirinya. "Kak Khalwa kelas berapa?"
Aldo tampak termangu seperti Patung The Thinker karya Auguste Rodin. Sarafnya menyelisik lembaran kertas berisi ingatan yang bertumpuk-tumpuk di dalam otaknya. "Kalau gak salah kelas 12 IPS 2. Jangan bilang kalau lo mau ke sana sekarang."
Baru saja Aldo berniat menghentikan pergerakan Joy, cewek itu ternyata sudah berjalan di koridor kelas. Merasa tertinggal, Aldo pun berlari mengejar Joy. Ia langsung memeluk punggung Joy hingga membuat Joy hampir terjatuh.
Sesampainya di kelas XII IPS 2, realita seakan menampar pipi Joy begitu keras agar tersadar dari imajinya. Khalwa Habibah tidak berada di kelasnya. Berdasar keterangan dari teman sekelas, Khalwa kemungkinan masih berada di kantin. Hal itu lumrah terjadi. Dengan tujuh menit yang tersisa, para murid pasti enggan kembali ke kelas.
Seolah tidak ada hari esok, Joy dan Aldo berakhir mengikuti jejak Khalwa.
Suasana kantin tetap ramai seperti biasanya. Murid yang berlalu lalang ke sana ke mari sembari membawa makanan atau minuman, bergosip ria, atau bahkan mengadakan konser musik amatir dengan bermodalkan barang sekitar. Sebagai tambahannya, kini beberapa siswi tengah berbisik-bisik tentang kekagumannya pada Aldo.
Awalnya Joy merasa tidak terganggu dengan hal itu. Joy mengira jika dia mengambil tempat duduk di pojokan kantin dapat membuat Aldo terhindar dari kejaran para singa betina. Namun sayangnya hal itu tidak mempan.
Pada akhirnya siswi-siswi itu juga tetap ikut duduk bergumul di sekitar mereka sehingga menghalangi pemandangan sekitar. Hal itu semakin diperparah lagi dengan Aldo yang meladeni setiap perkataan mereka dan tersenyum saja bagai orang sinting, kendatipun mereka memepetkan tubuhnya ke Aldo.
Tangan salah satu siswi itu pun menarik Joy agar pindah dari sana dan bersedia memberikan tempat duduknya di sebelah Aldo untuk mereka. Beruntung waktu itu Aldo melihatnya dan langsung mencekal pergelangan tangan Joy. Dalam satu entakan, Joy kembali duduk di sana. Siswi yang tadi menariknya hanya mendengus kesal. Aldo lalu mengaitkan jari-jari tangan kirinya pada tangan Joy dengan erat.
"Bisa geser sedikit, nggak? Pengap soalnya." Kekehnya kemudian.
Para siswi itu menurut saja. Mereka membuka sedikit akses agar Aldo dapat melihat para murid yang berlalu lalang di kantin. Sambil bertopang dagu, Aldo menajamkan indera penglihatan.
Sedangkan Joy sibuk mengenyahkan tatapan tajam kumpulan singa betina di sekelilingnya. Joy yakin apabila tatapan dapat membunuh seseorang, maka saat ini juga ia sudah menjadi mayat yang siap dikebumikan.
"Eh, bisa beliin gue bakso dua porsi, nggak?" sahut Aldo dengan cengiran kuda.
Lalu tidak sampai lima menit, dua mangkok bakso sudah tersaji di depan Joy dan Aldo. Cowok itu tersenyum lebar hingga memperlihatkan kedua lesung pipinya. "Makasih, ya. Kapan-kapan lo gue beliin bakso juga."
Aldo lalu menggeser mangkuk bakso itu ke depan Joy. "Nih, lo makan. Gue tadi liat kalau lo cuma makan keju lembaran."
Joy menggeleng cepat sebagai bentuk sanggahan. Akan tetapi Aldo tidak mempermasalahkannya. Cowok itu langsung menyendokkan kuah bakso ke dalam rongga mulutnya.
Seakan tidak menghendaki Aldo untuk menandaskan baksonya, bel masuk kelas berbunyi di sepenjuru kantin. Kerongkongannya yang tengah dialiri kuah bakso panas, mendorong ke bawah lebih dini. Alhasil ia batuk-batuk karena rasa perih yang merajah tenggorokannya.
Joy yang di sebelahnya kaget bukan kepalang. Dengan cekatan dia menepuk punggung Aldo. Jika saja malaikat pencabut nyawa ada di samping Aldo saat ini, dapat dipastikan bahwa di depan nama Aldo kini telah tertanda almarhum. Untung saja hal itu tidak terjadi.
Seusai puas dengan batuknya, Aldo meneruskan untuk menyantap bakso di depannya sampai tandas. Bahkan bakso yang semula diberikannya pada Joy, sudah dilahapnya hingga menyisakan dua pentol karena perutnya yang kenyang.
Baginya bakso ini sebagai pengganti kekecewaannya karena tidak kunjung menemukan batang hidung Khalwa Habibah.
Lantas cowok itu segera menarik Joy keluar kantin. Kakinya mengambil jarak lebar-lebar agar segera sampai di kelas. Pasalnya seisi kantin telah kosong melompong. Semua murid telah bergegas berlari ke masing-masing kelas.
BRUK
Aldo buru-buru menyodorkan kedua tangannya ke siswi yang barusan ditabraknya. "Maaf maaf. Lo nggak pa-pa, 'kan?"
Siswi berponi seperti pemeran Amel Carla dalam opera sabun yang pernah dilihat Aldo sewaktu kecil itu menggeram pelan. Dia tidak mengindahkan kedua tangan Aldo yang siap menariknya dari terduduk di lantai. Cewek itu lebih memilih bangkit berdiri dengan kedua tangannya sendiri.
"Khalwa," sahut Aldo dengan ekspresi terkejut sekaligus gembira. Dia juga sudah menarik tangannya yang tadi mengambang di udara.
"Mana sopan santun lo, hah?! Berapa kali gue bilang kalau lo harus menambahkan sebutan 'Kak' di depan nama gue. Umur kita itu beda dua tahun. Sudah sepantasnya lo kudu pakai unggah-ungguh basa sama gue, ngerti? Untung aja gue ini baik hati dan tidak sombong. Coba kalau bukan gue, lo pasti—"
"Kak Khalwa yang baik dan tidak sombong, maaf gue nyela bentar. Ada yang mau gue tanyain ke Kak Khalwa yang baik dan tidak sombong."
Setelah mengatakan itu, Aldo menarik lengan kemeja Joy sebagai isyarat agar Joy segera bertanya kepada Khalwa. Yah ... sebelum cewek itu kembali berkata panjang kali lebar.
"Kak Khalwa pernah cari tahu tentang identitas Ketua WDA?"
Alis tebal Khalwa berkerut di pangkal hidung. "Hah? Lo ngomong apaan, sih. Maaf, ya. Gue orangnya gak kepoan kayak lo. Buat apa gue cari tahu hal gak jelas kayak gitu? Daripada gue ngehabisin waktu buat hal begituan, mending gue buat—"
"Kak Khalwa yang baik dan tidak sombong, maaf gue nyelat lagi."
Aldo lagi-lagi menarik lengan kemeja Joy.
"Kak Khalwa tahu siapa Ketua WDA angkatan kakak?"
"Hah?! Maaf ya, Dek." Khalwa mengusap hidungnya. "Boro-boro gue tahu. Ketemu sama Ketua WDA aja gak pernah. Udah udah, minggir gue mau lewat."
Joy dan Aldo membuka jalan begitu saja, membiarkan punggung Khalwa semakin menjauh dari jarak pandang mereka.
"Kita tanya yang lain aja kalau gitu, Joy," tukas Aldo.
Joy menganggukkan kepala tanpa sedikitpun melirik pada Aldo. Kedua manik matanya menatap tajam Khalwa.
"Dia berbohong," batin Joy.
Huhu ... maafkan diriku yang plin-plan ini. Aku gak janji bakalan update cerita setiap hari.
Aku bakalan update sebisa dan sesempat aku. Waktu update ceritanya random banget jadinya.
Sekian dari saya.
Saranghaeyo ~ gomawoyo ~
XOXO
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top