[10] Gayung Bersambut, Kata Berjawab
Menit semakin bertambah begitu pula kerumunan manusia yang mengerubungi kantin. Kelas-kelas yang dikategorikan bernasib buruk karena mendapatkan guru yang terlalu menikmati bahan ajarnya, telah keluar dari dalam kelas. Diafragma mereka melengkung kala mencoba mengambil oksigen sebanyak mungkin, mengeluarkan semua penat yang didera. Begitupun yang dilakukan oleh Anin.
Tak kunjung menerima jawaban, Anin memutar bola matanya kemudian melanjutkan sesi makan siang. Dugaan Anin sejak awal benar. Joy tidak akan bilang apapun jika pertanyaannya berkaitan dengan organisasi kedisiplinan intra sekolah. Sebuah fakta yang dapat membuat Anin cukup menutup mata dan mulut dengan culas.
"Kamu terlalu berlebihan, Anin."
Kepala Anin menoleh dengan cepat. Dia menaikkan sebelah alisnya. "Kalau gitu, lo tau pelanggaran apa yang mereka perbuat sampai sekolah DO mereka?"
Joy lagi-lagi terdiam seribu bahasa. Dia memainkan sendoknya di atas nasi goreng yang masih tersisa setengah.
Anin tertawa sinis. "See? Gak ada satupun dari kita yang tahu. Ah, atau cuma gue doang yang gak tau apa-apa?" Pandangan matanya kemudian beralih ke nasi goreng milik Joy. "Lo udah kenyang?"
Jawaban tak segera keluar dari bibir Joy, meskipun batinnya menyangkal pertanyaan sinis Anin. Kedua alisnya menyatu pada pangkal hidung. Perlahan otot pada matanya berelaksasi. Bibir merah persiknya terbuka dalam gerakan melambat.
Joy mengetatkan pegangan tangannya pada sendok. Dia menatap Anin dengan pandangan tak percaya bercampur kagum. Teman sebangkunya itu benar. Mengapa selama ini dia tidak menyadarinya?
"Joy ... Allegria Zoya," ujar Anin sembari menjetikkan jarinya tepat di depan muka Joy yang melamun.
"Ah, belum."
"Buruan habisin tuh nasi goreng. Kurang 5 menit lagi kita masuk kelas."
Joy mengangguk sebagai balasan. Untuk alasan tertentu, suara-suara di sekitarnya seakan mengabur. Lalu lalang murid di kantin telah lenyap dari pandangan matanya. Kini Joy berada di dalam kubus putih kosong, realisasi dari alam bawah sadarnya.
Banyak hal menarik dari tindak-tanduk dan perkataan Anin akhir-akhir ini. Pertanyaan yang sering Anin ajukan seakan menggiringnya untuk lebih memperdalam seluk-beluk WDA. Mengingat fakta tersebut, Joy mulai mempertanyakan insting tajamnya sendiri. Biasanya dia akan menyadari perubahan sekecil apapun di sekitarnya. Tapi kali ini instingnya menjadi tumpul.
Sambil mengunyah makanan, Joy memejamkan mata demi berupaya mengingat segala percakapan, tindakan, dan kejadian yang terjadi belakangan ini. Satu per satu ingatan itu dipilah. Hingga mendapatkan kesimpulan bernas. Dan saat bel masuk berbunyi, Joy tahu apa yang harus ia lakukan setelah ini.
∆∆∆
Gemuruh petir terdengar hingga memekakkan telinga. Sesekali kilatan putihnya terpantulkan pada kaca jendela ruangan WDA. Di luar sana hampir terlihat kelam, hanya ada sedikit penerangan dari lampu pijar yang dinyalakan di sudut-sudut gedung sekolah. Padahal sebelumnya, langit tampak berwarna biru cerah dengan gumpalan awan putih yang berarak lambat.
Meskipun begitu Joy tidak punya pilihan lain. Ia harus memberanikan diri terjebak di dalam ruangan arsip WDA bersama tumpukan map yang menggunung di sekelilingnya.
Joy akan memanfaatkan kesempatan emas ini dikarenakan kini ruangan arsip WDA tidak terkunci padahal biasanya setiap kali ia datang ke sini, ruangan ini selalu terkunci. Niat awalnya yang semula hanya ingin memeriksa lemari kayu pada ruangan rapat WDA berujung mendapatkan jackpot. Tanpa berpikir panjang, dia menerobos masuk ke sana. Bersiap untuk mengubrak-abrik dokumen yang ada di setiap lemari dan rak-rak kaca di dalam sana. Jika Joy beruntung, ia akan menemukan dokumen anggota WDA dan pelanggaran setiap murid Wamsakarta selama tiga tahun terakhir ini.
Joy menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia mendesah frustrasi saat pertanyaan Anin kembali terngiang di kepalanya. "Anin benar. Kenapa tidak ada yang tahu pelanggaran yang mereka lakukan saat itu? Padahal kasus Kak Khalwa dan berita pacaran Aldo saja bisa menyebar cepat di sekolah."
Masih dengan berdasarkan tujuan utamanya ke sini, bibir mungil Joy mengeja setiap judul buku yang dibongkarnya dari dalam lemari kaca kayu mahoni. Kedua matanya sukses membelalak saat menemukan buku bersampul hardcover dengan judul Wamsakarta Tingkat 2 Tahun Ajaran 2017-2018. Dibukanya halaman pertama yang bertuliskan Kelas X IPS 1. Lalu halaman berikutnya berisi foto, nama lengkap, dan catatan pelanggaran murid kelas X IPS 1.
Joy langsung tersenyum lebar. Inilah tujuannya datang kemari.
Buku tadi ia taruh di sampingnya, berjejer dengan deretan pegunungan buku. Tangannya kembali mengotak-atik bagian rak bawah lemari itu hingga akhirnya Joy menemukan buku catatan pelanggaran milik kelas XII MIPA dan XII IPS. Total ada tiga buku karena masing-masing buku hanya memuat data dari tiga kelas saja.
"Kak Khalwa kelas XII IPS 2 lalu Kak Bagus kelas XII IPS 1."
Sekian lama Joy membolak-balik tiap helai kertas dan meneliti satu per satu nama lengkap yang tertera di sana, namun hanya satu hal yang ia dapatkan dari itu semua. Data dari Khalwa Habibah dan Bagus Sadikin tidak ada di sana.
Joy akhirnya memeriksa buku catatan pelanggaran milik kelas 12 lainnya, bahkan sampai menilik buku catatan pelanggaran milik kelas 10 dan kelas 11 juga.
Hasilnya nihil.
Data milik Khalwa Habibah dan Bagus Sadikin seakan raib dari sana. Keberadaan mereka terhapuskan.
Akan tetapi Joy mendapatkan fakta lain bahwa data pelanggaran dari murid-murid yang dinilainya selalu bermasalah malah tidak satupun tercatat di sana. Tuduhan Joy bukan tanpa dasar. Beberapa kali dia melihat anggota WDA hanya memalingkan wajah ketika murid penyumbang dana terbesar di SMA Wamsakarta telah melanggar salah satu peraturan sekolah.
Entahlah bagaimana Joy mengekspresikan kenyataan yang terlalu dipaksakan seperti ini. Apakah SMA Wamsakarta—ah, bukan. Apakah keadilan Nusantara hanya bisa dinilai dari berapa banyak yang bisa mereka dapatkan dari kertas cetak?
Senyuman miring terbentuk pada bibir Joy. Pantulan wajahnya pada kaca lemari semakin membuat Joy ingin segera pergi dari sana. "Miris sekali. Aku merasa kasihan dengan diriku sendiri."
∆∆∆
Di waktu yang sama, tempat yang berbeda, Anin melengos pergi dari tangga yang semula didudukinya. Merah padam pada wajahnya masih belum sirna kala ia mengendus Joy menyembunyikan sesuatu lagi darinya. Bukan pertama kalinya Joy seperti ini kepada Anin, tetapi mengapa baru sekarang Anin merasa sebal? Tunggu—sejak kapan mereka berdua menjadi sedekat ini?
Anin mendadak menampar kedua pipinya bersamaan. "Sadar woi, Anindira Gayatri. Dia gak pernah nganggep lo sebagai temennya."
Merasa tenggorokannya kering, Anin menurunkan tasnya dan berhenti sejenak pada koridor kelas sebelas, lantai bawah. Tangannya merogoh di dalam sana demi menemukan botol tupperware —bergambar teddy bear ungu —di dalam sana. Anin semakin membuka lebar tas ranselnya dengan degup kencang di dadanya. Keringat dingin perlahan turun dari pelipis saat cewek itu tidak mendapatkan botol tupperware-nya.
"Mampus gue! Nanti malam bisa dipastikan gue tidur di emperan toko."
Tanpa basa-basi, Anin sudah melesat pergi layaknya peluru yang ditembakkan ke sasaran. Tubuhnya secara lentur berbelok ke tangga lantai dua, mencari jejak-jejak botol tupperware. Berharap menemukan harta karun berharganya itu atau dia harus kehilangan naungan nyaman di malam ini.
Tubuh Anin secara tidak sengaja menabrak sesuatu yang keras dan menusuk. Dia menopang tubuhnya sebisa mungkin agar tidak jatuh dengan memegang bagian engsel pintu kelas.
"Aw, sakit."
Jantung Anin serasa mencelus keluar dari tenggorokan. Suara semerdu burung kenari yang berkicau di pagi hari ini seakan mengingatkannya akan mimpi buruk.
Anin menatap sinis Pandita. "Mau ngapain lo di sini?"
Pandita yang berada di depan pintu kelas Aldo, tak mau mengendurkan lekukan alisnya yang berkumpul di pangkal hidung. Dia menaikkan dagu sembari menenteng tas Aldo di depan Anin. "Masih punya mata, kan? Lo liat aja sendiri."
"Oh."
"Gue pacarnya. Gue berhak ngelakuin apapun ke Aldo."
Anin berusaha untuk tidak memutar bola matanya dengan sebal, namun tanpa sadar otot-otot bola mata telah melakukannya. "Siapa juga yang nanya."
"Hmph. Lebih cantikan gue."
"Terus hubungannya sama gue apa?" Nada tersinggung terdengar jelas dari perkataan Anin. "Lo emang cantik. Tapi kalau gue laki, gue lebih milih Ningrum Dyah Maheswari Adiyatma."
"Sayangnya lo tuh cewek. Dan kata lo, Ning cantik? Cantik dari Taipei?"
"Lo gak tau peribahasa cantik luar dalem? Sederhananya, cantik itu lebih pantes disandang buat perempuan yang punya akhlak baik. Dan perlu lo ketahui, kalau sifat lo nggak lebih buruk dari Aldo. Jadi, selamat ... kalian memang pasangan paling serasi di tahun ini setelah Bonnie dan Clyde dan gue harap lo langgeng sama dia."Anin tersenyum miring. Matanya menatap ke samping saat terdengar decit sepatu bergema di koridor. "Nah kebetulan banget. Tuh pangeran berkuda putih lo udah dateng."
Ketika mendengar itu, ekspresi Pandita berubah 180 derajat. Senyumnya merekah di antara kedua pipinya yang merona merah. Segera saja perempuan itu berlari mendatangi Aldo dan Anin kontan meluncur pergi dari sana. Sebisa mungkin dia menghindar dari pemandangan memuakkan yang diperlihatkan oleh pasangan kasmaran labil.
"Anin."
Langkah kaki Anin sontak terhenti. Dia menoleh ke belakang untuk mendapati Aldo mendekatinya, sementara Pandita mengekor di belakang Aldo dengan mulut ikan fugu.
"Apa?"
"Ann, dengerin gue bentar. Lo masih inget yang waktu itu, kan?" tanya Aldo setelah berhasil memangkas jarak di antara dirinya dan Anin.
"Ya."
Aldo mendesah lega. "Gue kira lo lupa. Karena setau gue, perkataan lo malah membahayakan Joy."
"Sejak kapan lo peduli?"
Sebelah alis Aldo menukik ke atas. Dia cukup bingung dengan perubahan intonasi Anin yang begitu cepat. Perempuan itu terlihat menahan amarah. "Ann."
"Jangan panggil gue Ann! Cuma Genta yang boleh manggil gue kayak gitu."
"Lo bilang apa?"
"Urusin sono pacar kesayangan lo itu. Urusan lo sama Joy juga bukan urusan gue! Gak usah ngatur-ngatur hidup gue. Mau gue sama Genta atau gimana perkataan gue ke Joy adalah hak gue sendiri."
Napas Anin tersengal seusai ia berhasil mengeluarkan segala kekesalannya selama ini. Tanpa mengucapkan kata perpisahan atau apapun itu, Anin pergi dari sana dengan langkah lebar. Kali ini Aldo tidak menahan tangan perempuan itu atau memanggil namanya lagi untuk dimintai keterangan lebih lanjut. Lebih daripada siapapun, Aldo tidak berhak untuk menasihatinya di kala emosi Anin masih belum stabil.
Aldo tahu bagaimana rasanya menjadi Anin yang seekor itik di antara para burung merak yang memamerkan bulu indahnya. Tidak ada yang bisa menolak pesona burung merak saat melebarkan ekornya. Sebaliknya sang itik tidak mampu mengeluarkan aura keindahannya secara harfiah di balik pesona burung merak.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top