[1] Tajam ke Bawah, Tumpul ke Atas

"Ada seorang dayang yang sangat dicintai oleh raja. Inilah lagu yang membuat raja jatuh cinta kepadanya."

"Aku ingin mendengarnya."

Pemain musik langsung meniup saenghwang—alat musik tiup yang tersusun dari tujuh belas pipa bambu tipis dan disusun dalam bilik kayu kecil— demi mengiringi gadis muda yang menyanyikan lagu tersebut. Saat nada mulai mengalun indah, berbagai kenangannya dengan keenam pangeran memenuhi kepala mungilnya. Sudut bibirnya yang telah memucat sedikit terangkat.

Hari berlalu dan terasa menyakitkan

Dalam keheningan siang hari dan embusan angin

Karena kusuka mentari, 'ku tersenyum

Semua orang sibuk

Bahkan di antara orang-orang tak berperasaan

Karena kusuka tem—

"Kenapa kamu menutupnya? Itu tadi belum selesai."

Baru delapan belas menit tiga puluh detik Anin membuka laptopnya dan menonton drama korea yang direkomendasikan oleh kawan sejenisnya. Dan malangnya laptop itu kini telah menjadi korban kemelankolisan Anin. Kedua matanya benar-benar telah sukses mengeluarkan air mata layaknya air terjun Venezuela. Bahkan Anin tidak mau bersusah payah untuk menjawab pertanyaan Joy barusan. Padahal sejak tadi ia ditemani oleh Joy yang anteng di tempatnya tanpa sedikit pun meneteskan air mata.

Joy memang tidak peduli dengan drama korea Scarlet— Heart Moon atau apalah itu. Keberadaannya di sini hanyalah sebagai pelengkap. Seperti yang dikatakan oleh teman-temannya, Joy dan Anin itu satu paket panas—paha ayam dan soft drink yang tidak bisa dipisahkan.

Menantikan jawaban dari Anin adalah hal yang mustahil bagi Joy. Cewek itu sudah semakin larut dalam kesedihannya. Akhirnya Joy mengelus-elus pundak Anin. Anehnya bukan malah tenang, cewek berambut bob itu malah semakin menangis menjadi-jadi. Dia berakhir memeluk Joy cukup erat sambil menggesekkan hidungnya yang penuh ingus ke kemeja Joy.

"Joy, maafin gue kalau nanti kita ketahuan keluar saat jam pelajaran."

"Itu mustahil terjadi," jawab Joy yang kini menepuk pelan punggung Anin.

Joy benar.

Gudang bekas kelas XI bahasa ini sudah lama ditinggalkan oleh penghuni sekolah lantaran dulunya terkenal angker. Buku- buku di rak yang tiba-tiba berjatuhan, bangku yang tiba-tiba berpindah tempat keesokan harinya, dan suara tangisan perempuan di sela-sela jam pelajaran. Hal-hal tersebut semakin memperkuat kepala sekolah untuk mengalihfungsikan kelas XI bahasa menjadi gudang penyimpanan bangku-bangku rusak.

Jadi, jikalau mereka mendengar suara tangisan Anin di siang bolong, mereka akan lebih dulu lari terbirit-birit atau mungkin terkencing-kencing di celananya.

Di samping itu, mereka juga mendapat kompensasi dari Guru Matematika Minat karena paling pertama menuntaskan tugas kelompok. Maka apabila mereka ketahuan oleh seorang murid dan diseret ke ruang BK, mereka masih dapat berdalih.

Pelukan sepihak mereka perlahan terurai. Anin lalu menyeka air mata di pipinya berikut dengan menarik ingus —yang hampir mengenai bibir atasnya— ke dalam rongga hidung.

"Joy, gue kasihan banget sama nasibnya pangeran keempat. Padahal gue udah berharap mereka bakalan hidup bahagia. Wang So rela ngelepas tahtanya, nikah sama Hae Soo terus jadi keluarga bahagia yang tinggal di luar istana. Gue juga pengin dia baikan sama saudara-saudaranya. Terus terus si Wang Eun juga tetep hidup."

Joy hanya manggut-manggut dan dengan sabar mendengarkan Anin yang bercerocos. Tidak lupa ia serahkan sehelai tisu yang baru dicabutnya kepada Anin.

"Lo kok bisa gak sampe nangis sih, Joy?"

"Kemarin kita baru nonton sampai episode 2."

Kedua mata bulat Anin segera berpaling ke arah lain. "Hahaha ... Lo pasti lupa deh."

Melihat tingkah Anin yang gelagapan, Joy sudah menduga bahwa cewek ini tengah berbohong. Untung saja kemarin ia sempat men-screenshoot snapgram di akun Anin untuk dijadikan sebagai barang bukti.

Joy memampangkan HP-nya yang berisi barang bukti itu tepat di depan wajah Anin. "23 jam yang lalu. Tepatnya pukul 16.00 kamu mengunggah snapgram foto adegan di drama ini saat Wang Eun memandangi Hae Soo yang tiba-tiba muncul di pertemuan ketujuh pangeran. Kamu juga me—"

Belum sampai Joy menyelesaikan kalimatnya, Anin sudah membekap mulut Joy dengan telapak tangannya. Masing-masing pipi Anin bagai diguyur cat merah. "Huwahh ... gue kelepasan. Tadi malam gue maraton nonton drama itu sampe subuh."

Setelah mengakui perbuatannya, Anin melepas tangannya pada mulut Joy. Napasnya terengah karena tidak diberi jeda saat melontarkan kalimat. Joy sendiri malah terkekeh melihat air muka Anin yang sudah seperti tomat masak. Kekehannya pun menular ke Anin.

Namun kebahagiaan itu terpaksa terhenti karena bunyi ketukan jendela berulang kali. Joy menyuruh Anin untuk diam. Barangkali bunyi ketukan tadi hanyalah halusinasinya sendiri atau memang perbuatan penghuni lokal gudang ini. Siapa lagi kalau bukan ulah dedemit jahil yang konon berkeliaran di sini?

"Joy, gue tiba-tiba merinding. Lo inget, 'kan? dulu ada gosip kalau di jam-jam segini biasanya ada sesuatu yang ngetuk jendela kelas."

"Itu cuma rumor."

Mereka berdua akhirnya mengunci mulut dan berdiam diri dengan jantung berdegup kencang. Adalah Joy yang pertama kali memberanikan diri untuk mengecek ke bagian ruangan yang terpasang jendela di sana. Mengingat markas rahasia mereka selama ini berada tepat di depan papan tulis dimana bagian samping kanan dan kiri tertutupi oleh tumpukan bangku-bangku reyot.

"Tunggu di sini."

"Nggak. Gue ikut lo aja," tukas Anin seraya menggaet lengan Joy dan membawa laptopnya.

Joy mengambil satu langkah, Anin juga mengambil satu langkah dan begitupun seterusnya. Setelah mengecek bagian jendela yang mengarah langsung ke gedung auditorium dan tidak menemukan kejanggalan di sana, Joy beralih menatap jendela yang menghadap ke koridor kelas lantai tiga.

Jika saja tubuh Joy tidak digelayuti oleh Anin, ia mungkin bisa saja terpental hingga menembus langit-langit gudang. Pasalnya pintu gudang tiba-tiba terbuka dan muncul seorang siswa dengan senyum sejuta watt.

"Al—"

"Woi, Aldo. Gak ada gunanya lo ngelaporin kita berdua. Kita punya alasan yang kuat buat malu-maluin harga diri lo nanti kalau sampai lo berani ngelaporin kita."

"An, lo makin cantik deh kalau lagi uring-uringan," gombal Aldo dengan menaikkan sebelah alisnya.

"Gausah sok ganteng. Wajah lo itu gak jauh beda sama toples rengginang."

"Wajah gue emang ganteng sejak zigot."

"Ngaca sana."

Aldo tertawa singkat. "Udah kok. Dan wajah gue terlalu tampan."

Merasa kewalahan oleh pesona tawa serenyah biskuit milik Aldo yang mampu membuat cewek klepek-klepek, Anin segera memalingkan wajahnya yang telah bersemu merah ke sembarang arah. Sampai kapan pun Anin tidak akan sudi jika namanya nanti berakhir di daftar anggota fanclub Ronaldonistik.

Anin pun berakhir merajuk seraya menarik lengan kemeja Joy. "Joy, bantuin gue ngehujat tampang busuknya Aldo."

Joy bergumam sebagai tanggapannya selagi dia mengetikkan beberapa kata di gawai. Anin yang penasaran, lamat-lamat membaca tulisan yang diketik oleh Joy. "Ronaldo Ferda Wiryamanta kelas XI MIPA 3."

Butuh waktu sepersekian detik hingga akhirnya Anin tertawa lepas sambil menatap Aldo yang mengerutkan dahi. "Mampus lo. Kinder Joy-ku juga anggota kedisiplinan tau."

Sekilas mata hitam legam cowok itu membulat. Tetapi buru-buru ia tutupi keterkejutannya dengan senyuman lebar. Dalam keadaan apa pun dan di situasi apa pun, Aldo tetap akan berupaya menjaga image cool-nya.

Ia mendekati Joy, berniat merebut HP pembawa pesan kematian itu. Sayangnya, Anin lebih dulu mengamankan HP itu di kantung roknya. Sambil tersenyum mengejek, cewek itu tetap setia merengkuh lengan Joy sebagai tameng jika sewaktu-waktu Aldo berniat memukulnya.

"Tunggu. Gue punya alibi."

Lantas seusai mengatakan itu, Aldo berjalan ke luar gudang. Dari balik sana, ia membawa sebuah kardus cokelat. Joy dan Anin melongokkan kepalanya ke dalam kardus.

"Gue tadi disuruh Bu Jelita buat kembaliin alat-alat praktikum fisika karena gak ada yang mau praktik di lab fisika yang deket sama gudang bekas kelas XI bahasa yang katanya berhantu." Di sela-sela omongannya, Aldo membuat peace sign yang menganggut.

"Karena denger sesuatu dari arah sini, gue jadi penasaran. Bener nggak sih gudang ini ada hantunya? Dan setelah gue lihat ternyata emang ada dua Neng Kuntilanak yang cekikikan."

"Beneran ada?"

"Itu satire, Anin," timpal Joy.

Anin dan Aldo sama-sama mengerutkan dahi. Namun Aldo segera tidak memusingkan hal tersebut. Terlebih lagi ini bukan pertama kalinya Joy menggunakan kata serumit hitungan aljabar.

"Selain itu, gue juga mau bilang kalau rapat bulanan WDA— Wamsakarta Discipline Association ditunda minggu depan."

Mulut Joy membulat, sementara Anin masih menatap Aldo dengan sebal.

"Sekarang udah jelas, 'kan? Hapus nama dan kelas gue di HP-lo. Lagian selama ini lo juga gak pernah ngelaporin satu pun pelanggaran murid Wamsakarta," pinta Aldo seraya berkacak pinggang.

Sebelum Joy melontarkan jawaban, bel pulang sekolah berdenging lewat beberapa speaker yang dipasang di sudut-sudut gedung sekolah. Anin langsung menarik lengan Joy untuk kembali ke kelas. Akan tetapi, Aldo menarik pergelangan tangan Joy juga. Jadilah mereka seperti dua orang bocah yang saling berebut mainan eksklusif.

Joy yang menjadi objek perseteruan mereka, sampai-sampai dapat merasakan bahwa tubuhnya sebentar lagi terbelah menjadi dua bagian sama masing seperti spons kuning dalam serial kartun favoritnya. Kendatipun begitu, Joy hanya melipat bibirnya ke dalam demi menahan perih yang mulai terasa.

"Pilih gue, Joy. Gue mau diskusi hal penting sama lo."

"Gak bisa. Joy sama gue itu udah sepaket. Enggak boleh dipisah," sembur Anin.

"Terus kalau Joy mau buang hajat, dia juga kudu sama lo, gitu?"

"IYA."

Tubuh Joy yang sejak tadi bergoyang ke kanan dan kiri akibat kutub yang saling tarik-menarik, mendadak berhenti. Joy mencekal masing-masing pergelangan tangan dua insan itu demi menarik mereka dari pembicaraan tidak berfaedah.

"Walaupun aku sepaket sama Anin, aku gak bakalan mau kalau Anin ada di sampingku saat aku buang hajat." Kepala Joy kemudian menoleh ke Anin. "Kamu duluan ke kelas aja, nanti aku nyusul."

"Ta-tapi ...."

Anin menggeram pelan ketika ia melihat senyum kebanggaan Aldo. Padahal semenit yang lalu, Anin yakin bahwa Joy akan lebih memilih kembali ke kelas bersamanya ketimbang harus berduaan dengan kadal buntung macam Aldo.

Tangan Aldo terkibas-kibas. Setelah itu dia merangkul tulang selangka Joy. "Hush hush sana. Gue mau ngomong hal penting sama Kinder Joy."

Melihat perlakuan Aldo, mata Joy dan Anin melebar sempurna. Anin yang telah dilanda kepasrahan akhirnya meninggalkan Joy dan Aldo. Setelah memastikan Anin telah benar-benar hilang dari jarak pandang mereka, Aldo melepas rengkuhannya. Cowok itu bergerak menepi ke sudut koridor lantai tiga dan diikuti oleh Joy setelah dia mengunci gudang.

"Gue udah nemuin lakon utamanya." Aldo lalu memajukan wajahnya ke telinga Joy. Disana ia mulai berbisik, "Pandita Munawwir, putri Pandawa Munawwir."

"Apa buktinya?"

"Dia anak dari salah satu komite sekolah ini."

Joy bergumam paham. Dia lantas memandang ke bawah, mengamati para murid yang bergegas pulang. Dari ketinggian itu, Joy dapat melihat perbedaan yang cukup signifikan dari beberapa murid pelanggar dan murid yang patuh aturan.

"Lo pernah bilang ke gue kalau Ketua WDA adalah salah satu murid di sini. Dan jika itu bener, gak menutup kemungkinan kalau dia pastinya anak dari orang paling berpengaruh di sekolah ini. Mengingat, Ketua WDA sampai bisa ngeluarin murid di sini," sambung Aldo demi menuntaskan perkataannya barusan.

"Pasal 1 ayat 1 tentang seragam sekolah. Peraturan nomor enam, siswa dilarang mengeluarkan baju seragamnya kecuali yang dianjurkan oleh sekolah. Peraturan nomor delapan, siswa wajib memakai sepatu berwarna hitam selain saat berolahraga. Pasal 1 ayat 2 tentang kerapian rambut. Peraturan nomor tiga, rambut tidak menutup alis, daun telinga, dan tidak menyentuh kerah baju."

Aldo membeku di tempatnya. Mata cewek bermanik cokelat terang itu kini menatapnya dengan tatapan sendu. Rambut sebahunya melambai hingga menutupi sebagian wajahnya.

"Percuma saja. Walaupun aku anggota kedisiplinan, tapi jika sistem kasta tetap berlaku di masyarakat, suaraku tetap seakan teredam di hadapan orang berkasta tinggi."

Mulut Aldo menganga lebar. Kali ini ia benar-benar tidak mampu menutupi keterkejutannya. Bukan karena tatapan sendu itu tapi lebih karena perkataan Joy barusan yang mengingatkannya dengan orang itu. Walaupun cara bicara mereka berbeda, Aldo masih ingat betul makna yang coba disampaikannya waktu itu.

"Mereka berdua benar. Untuk apa gue jadi penegak keadilan, jika gue selalu menutup mata pada seseorang yang berkedudukan lebih tinggi dari gue," batin Aldo.

Fiyuhh akhirnya selesai juga.
Entahlah kisah ini akan dibawa menjadi seperti apa atau akan menjadi bagaimana.

Yang terpenting, El akan update cerita ini setiap harinya. Hurrayy ....

So, stay tune di lapak aku yang satu ini dan jangan lupa beri apresiasi dengan vote dan krisarnya ya ....

Saranghaeyo ~ Gomawoyo~

*btw, banner di akhir bab itu adalah lambang dari WDA*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top