9 - 2. Eat all you want to eat
Ke depannya, aku mungkin akan membenci air mata. Karena ia telah menyembunyikan kecantikan bidadari yang kusuka.
~Sammy Chen~
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆
“Kau gila, ya, Lud?!” protes Sam sambil melepas masker dan topi orang di hadapannya dengan kasar, membuat rambut coklat kemerahan itu menyembul keluar menampakkan diri.
Menyadari bahwa bosnya mengenal benar orang yang dibekuknya, satpam itu pun melepaskan cengkeramannya. Ludy menggeliat, sambil tangannya memegangi ulu hati. Jelas sekali ia merasa kesakitan.
“Ini juga apa?!” tambah Sam sambil melepas paksa kacamata. “Kenapa tiba-tiba nyerang?!”
“Aku nggak nyerang. Aku cuma ingin narik kamu ke tepi,” jawabnya sambil meringis.
Sam menatap Ludy dengan seksama. Rambut sebahu warna coklat kemerahan dengan bagian luarnya di-curly membentuk huruf S, lengkap dengan poni tipis setinggi alis, benar-benar telah mengubah penampilan seorang Ludy yang selama ini ia lihat. Sam merasa menang telah berhasil membuat gadis itu melakukan hal yang sangat dihindarinya. Ia menutup mulut dengan tangan, berusaha menahan tawa bahagianya. Namun di mata Ludy, Sam sedang terbahak mengejeknya.
Ludy yang merasa tersinggung atas tanggapan Sam pun mendelik, mempertunjukkan rasa kesalnya. Namun, Sam yang memang matanya selalu tertutup saat tergelak tidak bisa melihat itu. Merasa sia-sia, Ludy memilih pergi. Saat tawa Sam berhenti, ia bergegas mengejar Ludy yang telah menghilang dari hadapannya.
“Ikut aku,” kata Sam sambil meraih tangan Ludy, lalu berbalik masuk ke sebuah resto yang berada tepat di samping kantor. “Duduk sini,” tambah Sam sambil menarikkan sebuah kursi.
“Aku minta kodenya sekarang, aku udah nggak tahan,” jawab Ludy sesaat setelah ia duduk.
Sam memandang Ludy tanpa bersuara. Matanya menelisik tiap celah lekuk wajahnya. Namun, sepertinya Ludy tidak mengizinkannya. Ia menunduk, menutup rapat mukanya dengan dua telapak tangan. Ia tidak ingin menunjukkannya pada Sam.
Sam menarik tangan Ludy, memisahkannya dengan wajah. “Ayolah, buka saja.”
Berapa kali pun Sam membujuk, Ludy tetap keras kepala. Ia tidak siap ditertawakan untuk kedua kalinya. Sam pun menyerah.
"Terserahlah, tapi kau sangat cantik dengan penampilan barumu.”
“Kamu tadi tertawa.”
“Aku tertawa lihat tindakan bodohmu itu!”
“Nggak usah ngelak, percuma. Aku tahu di matamu aku seperti bola. Pipiku kayak ikan buntal, tumpah kemana-mana. Kamu kira aku senang? Apa kamu sudah puas sekarang?” protes Ludy sambil mengangkat wajah memandang Sam. Namun, hanya kekesalan yang ia dapat.
Alih-alih mendengarkan Ludy, Sam lebih memilih memperhatikan seorang gadis yang sedang mengekori seorang karyawan resto itu. Ia merengek sambil sesekali menarik menarik tangannya berkali-kali. Sam mengenalnya sebagai salah satu pegawai di sana.
“Please, tolongin gue, Bal,” mohon gadis itu dengan pandangan memelas.
“Fe, gue ....”
“Please ...,” pinta gadis itu sambil menyatukan telapak tangan, dan diacungkan berkali-kali mengharap iba seorang pria yang menggaruk kepalanya –yang tidak gatal– seolah ingin menunjukkan kebingungan dalam menanggapi permohonannya.
“Oh, namanya Fe,” gumam Sam.
Ludy mengehela napas dalam. Kekesalannya semakin memuncak. Seharusnya ia tahu memang sikap Sam seperti itu. Mengharapkan perhatian Sam sama saja dengan memohon hujan di musim kemarau. Bisa, tapi sangat kecil kemungkinan berhasilnya.
“Berikan aku kodenya!” teriak Ludy sambil menggebrak meja, menyebabkan Sam, gadis yang bernama Fe, dan semua orang yang ada terjingkat karenanya. Bahkan waiter yang sedang termanggu pun ikut terkaget, lalu tiba-tiba latah menjawab ‘Ya!', membuat sosok di depannya bersorak gembira. Sam pun mengalihkan perhatian pada Ludy, mencoba menenangkannya.
“Berikan aku kodenya!”
Sam menempelkan telunjuknya ke bibir, memintanya berhenti. Namun, alih-alih menurut, Ludy justru makin terisak. Ia tersengguk beberapa kali menyesuaikan napas yang tersenggal-senggal.
“Haish,” desis Sam. “Jangan nangis. Orang yang nggak tahu apa-apa bakal salah paham.”
“Tolong,” pinta Ludy sambil memelas. Isaknya makin terdengar jelas. “Katakan kodenya.”
"Pelankan suaramu. Lihat, ada yang keganggu gegara teriakanmu," ucap Sam sambil mengarahkan lirikan pada pria yang sedari tadi duduk tenang bermain ponsel di sebelahnya, telah berpindah tempat, menjauh dari mereka berdua.
Ada kegetiran sendiri saat Sam melihat wajah sendu wanita di depannya itu. Mata yang memerah dan sembab oleh air mata membuat Sam tidak sampai hati menolak permintaannya. Namun tidak, Sam harus bertahan.
“Tolong, kasihanilah aku.”
Sam menempelkan punggungnya pada sandaran kursi. Tangannya dilipat di depan dada, sementara sudut bibirnya menyeringai ke arah Ludy. Tak ia pedulikan lagi tatapan sinis orang-orang di sekitarnya. Percuma, terlepas dari benar atau salah, saat seorang wanita menangis, tetaplah si pria yang menjadi tersangka. “Kalau kau beneran pengen kode itu, penuhin dulu sepuluh persyaratanku.
“Kalau nggak mau, silakan mundur, dan matilah dengan mengenaskan, dengan mayat yang tampak mengerikan, dan menjadi hantu yang menyeramkan."
Ludy meremas tangannya sendiri. Tidak ada yang bisa ia katakan. Sejak awal ia tahu, ia memang tidak punya pilihan.
Sam mengarahkan tangannya ke pipi Ludy, lalu menyeka air mata yang keluar dengan jempolnya.
Dingin.
“Ke depannya aku mungkin akan membenci air mata.”
Ludy menatap Sam, dan Sam membalasnya dengan senyum, lalu melanjutkan, “Karena air mata, telah menyembuyikan keindahan yang seharusnya bisa aku lihat hari ini.”
Ludy menepis tangan Sam. “Katakan apa syarat keduanya.”
“Kau mau makan apa?”
Ludy tersenyum sinis, lalu menjawab, “Nggak usah basa-basi. Cepatlah katakan apa syarat keduanya!”
“Ya ini. Syarat kedua, makanlah semua yang ingin kau makan.”
“Aku nggak ingin makan apa pun.”
“Ayolah, dari dulu kau belum pernah sekali pun mau makan dengan bebas. Kau seolah membatasi jumlah kalori yang kau konsumsi.”
Ludy bergeming. Dulu, ia adalah gadis ceria, tidak mau mengalah, selalu membalas dan memperdebatkan tanggapan orang lain akan keputusannya. Namun sekarang, hasrat tersebut telah menghilang, bersamaan dengan kebahagiaan yang pernah ia rasakan.
“Kau nanti kalau sudah mati, nggak bisa lagi menikmati makanan seperti ini.”
“Tapi seenggaknya, saat mati aku nggak gendut. Orang lain nggak akan nyinyirin jasadku.”
Sam terkekeh. “Jangan bodoh. Siapa yang akan peduli akan penampilanmu. Saat kau mati, orang hanya akan ngelihat kau sebentar, lalu kau akan ditutup ke dalam peti. Alih-alih memuji betapa cantiknya kau, mereka akan lebih menyayangkan betapa pendek umur yang kau punya.”
“Terserahlah, yang pasti, saat ini aku nggak bernafsu makan apa pun.”
“Kalau gitu ... makan apa pun yang belum pernah kau makan.”
“Aku coffe latte saja,” jawab Ludy sambil memandang daftar menu di atas meja.
“Aku bilang makan, bukan minum. Biar aku saja yang isi."
Tidak berselang lama, pesanan mereka pun datang. Ada banyak macam, mulai dari main-course seperti steak combo, mushroom soup chicken, smoke salmon steak, spare rib steak, thai chicken salad, big lobster oyster sauce, dan berbagai minuman serta dessert manis yang menggoda selera.
Ludy menatap heran, semua serba hewan.
"Ayo, bantu aku makan. Kita nggak akan pulang kalau ini nggak habis."
"Nggak mau. Kamu habisin aja sendiri. Aku akan tunggu selama apa pun itu."
“Baguslah. Aku betah di sini soalnya," kata Sam sambil menarik smoke salmonnya. "Waitress di sini sangat cantik. Biasanya dia duduk termenung berjam-jam di sana,” tambah Sam sambil menunjuk ke arah counter minuman.
Ludy memaksakan senyum. Namun, pandangannya tidak mengikuti arah tangan Sam. Ia tidak ingin melihat gadis yang Sam maksud, dan ia berusaha untuk tidak penasaran. Atas alasan apa pun, ia tetap tidak baik-saja saat mantan membicarakan orang lain saat bersamanya, meski perasaan cinta di antara mereka sudah tidak ada. Ia ingin masa bodoh, atau lebih tepatnya, Ludy sudah kehilangan ketertarikannya –hasrat hidupnya.
“Tapi hari ini aku sengaja bawa kau ke sini, supaya gadis itu tahu, ada orang yang bisa mengalahkan kecantikannya.”
Ludy menunduk, menyembunyikan pipi yang merona kemerahan. Gombalan itu membuatnya merasa senang, meski ia tahu itu hanyalah bualan. Berulang kali ia merapal mantra pertahanan untuk tidak tergoda oleh mulut manis Sam. Ia tahu mantannya seoarang play boy, dan ia harus tetap ingat itu.
Ia pun dengan malas mengambil sup jamur untuk mengalihkan perhatian. Ia mengaduk mangkoknya berkali-kali, seolah ingin menunjukkan bahwa dirinya tidak tertarik memakannya.
“Ganti supmu sama ini,” kata Sam sambil menggeser smoke salmon steak ke depan Ludy.
“Aku udah pernah makan itu. Hanya sup jamur ini yang belum.”
“Kau alergi jamur. Kau bisa, kan, bedain mana yang belum pernah kau makan, dan apa yang nggak boleh kau makan?”
Ludy terdiam sebentar. Ia tersentuh oleh Sam yang masih mengingat tentangnya. Ia lalu menarik piring yang disodorkan untuknya, tapi hanya dipandangnya saja. Sam yang tidak sabaran pun bergegas meraih pisau, memotongnya, dan menusuknya dengan garpu, lalu menyodorkannya kepada Ludy. “Buka mulutmu!”
Ludy menggeleng.
“Atau aku akan begini terus sampai kau buka mulut.”
Ludy dengan malas membuka mulutnya, lalu menerima suapan dari Sam. Hal itu terus berulang. Saat Ludy sudah menghabiskan porsinya, Sam akan kembali menyuapinya. Bahkan meski sudah mengatakan kenyang, Sam tetap memaksanya. Ia baru berhenti saat Ludy hendak mengeluarkan isi lambungnya.
“Besok, sampai satu bulan ke depan, aku ada perjalanan bisnis ke Tiongkok,” kata Sam sambil menyodorkan minum kepada Ludy. “Saat aku kembali, pastikan berat badanmu sudah naik minimal sepuluh kilo.”
Ludy pun tersedak. Ia terbatuk beberapa kali, berusaha membenarkan arah air minum yang telah salah masuk ke dalam paru-paru sebelum akhirnya menjawab, “Kamu gila?”
##########
Siapa ya Fe itu? Terus, bantuan apa yang ia minta dari Iqbal --karyawan resto langganan Sam?
Dan, secantik apa sih, si Fe ini? Sampai Sam betah berada di sana?
Kalau ingin tahu, yuk baca Selenophile : Who Love the Moon-nya jodohku, HanniMaharani
😄😄😄
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top