6 - Harapan terakhir
Apa artinya sebuah gabungan nama, kalau pada kenyataannya kalian tidak bisa bersama?
~Priskilla Ludysvheni~
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆
Ludy memandang jam di pergelangan tangannya sekali lagi. Jarum pendeknya sudah mulai menunjuk ke arah angka sepuluh. Tinggal satu stasiun lagi ia akan sampai di tempat yang sangat dirindukannya. Tempat yang menjadi harapan terakhir menenangkan perasaannya yang membuncah saat ini.
Ia beralih memandang bulan yang kebetulan sedang menampakkan sabitnya. Ia teringat kembali bayangan dekan yang sehari lalu ia temui, yang justru membuatnya semakin terpuruk. Niat awal ingin cuti beberapa bulan, mengobati hatinya yang sedang terluka nyatanya berbanding terbalik dengan yang ia harapkan.
Seolah berpura tidak mengerti, mereka justru menyayangkan keputusannya. Ada juga paparan ceramah yang mereka sebut motivasi yang sebenarnya tidak Ludy butuhkan. Hingga terjadilah debat-mendebat serta tawar-menawar demi izin cuti itu keluar.
Bukan berarti Ludy lega. Rasa bersalah karena memaksakan kehendak kepada para dekan membuatnya menyesal. Bukan hanya itu, rasa malu tak terhingga kepada teman-teman dan dr. Abe membuatnya tidak lagi punya muka. Ia tidak ingin, ia tidak siap, dan ia tidak sanggup bertemu mereka di suatu hari nanti.
Tapi bagaimana mungkin? Jika ia tetap melanjutkan tekad menjadi dokter, entah di mana dan kapan, mereka pasti akan bertemu lagi. Dan, saat masa cutinya habis, ia pasti akan tetap bertemu dengan dr. Abe. Dan saat itu tiba, beliau pasti akan menandainya.
"Apa aku menyerah saja menjadi dokter? Toh gelar sarjana kedokteran saja sudah bisa untuk melamar kerja," gumam Ludy.
Meski belum menyandang gelar dokter di depan namanya, bukan berarti Ludy tidak bisa bekerja. Ijazah bisa ia gunakan untuk melamar jadi pengajar atau pekerjaan apa pun selama tidak menyentuh pasien secara langsung.
Ludy mendecih. Itu bukan pilihan. Ada banyak tekanan yang harus ia perhitungkan. Tanggapan para tetangga dan keluarga yang seolah menyepelekan cita-citanya, orang tua yang berjuang keras mendukungnya, serta pihak-pihak pemberi beasiswa yang telah membantu meringankan sedikit biaya kuliahnya.
Ludy merasa penat. Ia ingin dunia berhenti.
***
Halaman itu masih sama seperti saat ia terakhir pulang. Tidak ada tanda-tanda perbaikan yang pernah dilakukan. Bahkan warna biru tembok itu sudah memudar, seolah menunjukkan bahwa penghuninya tidak menganggarkan pengeluaran untuk memperbarui cat rumahnya.
Dipandangnya sekali lagi teras kosong di samping rumah. Dulu, di situ ada sebuah mobil tua yang beberapa tahun yang lalu telah dijual untuk menambah biaya kuliahnya. Itu adalah kendaraan yang sering membawa mereka sekeluarga pergi kemana-mana. Itu adalah saat di mana mereka merasa hidup seperti itu sudah cukup, tidak perlu yang lainnya. Mereka sudah bahagia. Itu, saat Ludy masih SMA, belum menyita pegeluaran sebegitu banyaknya.
Ludy tidak ingin lebih dalam mengingat hal itu. Ia mempercepat langkah menuju pintu. Namun, belum sempat ia menyentuh gagangnya, suara pertengkaran dari dalam membuatnya diam terpaku.
"Itu semua nggak cukup, Pa!"
"Aku tahu! Ta-"
"Kalau Papa tahu harusnya bisa mikir. Biaya kuliah Ludy itu bukan cuma hitungan ribu, tapi ratusan juta. Mana cukup kalau cuma ngandelin gaji PNS Papa!"
"Tapi bukan dengan menjual diri!"
"Memangnya Papa lihat cara la-"
Suara tamparan dan benda berjatuhan membuat air mata Ludy menetes. Tangannya bergetar hebat sambil meremas surat izin cuti yang baru tadi siang diterimanya.
"Papa tahu apa?"
"Apapun alasan kamu, kamu sudah berkhianat!"
"Kita butuh uang, Pa!"
"Terserah! Lont* kotor! Tunggu saja surat cerainya!"
Ludy semakin dalam menunduk. Ia meratapi dirinya sendiri. Dulu, orangtua memberinya nama bukan tanpa arti. Prikilla Ludysvheni. Priskilla (Priska) adalah nama istri dari Aquila (Akwila). Mereka berkeliling bersama Rasul Paulus mengabarkan Injil. Keduanya sangat disegani dan dihormati. Seperti itu pulalah do'a untuknya.
Namun, lihatlah sekarang. Nama itu seolah menyindirnya. Alih-alih menjadi seperti mereka, ia justru berbanding sebaliknya. Ia tidak bisa berbuat apa-apa, dan keberadaannya pun seolah tak nyata.
Ludysvheni, merupakan gabungan nama Ludya dan kedua orang tuanya. Stefanus dan Leni. Namun hari ini, ia mendapati kenyataan bahwa ayahnya ingin bercerai? Lalu, untuk apa menyatukan nama pada Ludy dan adiknya, kalau kenyataannya mereka tidak bisa bersama.
"Nggak, Pa!"
"Aku nggak bisa hidup dengan wanita kotor dan pengkhianat seperti kamu!"
Suara benda pecah membuat Ludy terjingkat. Lalu bersambung dengan tangis ibunya yang terdengar semakin nyaring memecah keheningan malam. beruntung, rumah tetangga jaraknya berjauhan. Andai tidak, pertengkaran meraka akan menjadi tontonan gratis untuk warga.
Ludy tidak mampu lagi berdiri di situ. Ia tidak bisa memperparah keadaan dengan kondisi dirinya. Ia berbalik, hendak lari kembali ke indekosnya. Namun, langkahnya terhenti demi melihat adiknya yang baru pulang. Dari baju yang dikenakannya, Ludy tahu itu adalah seragam minimarket yang sudah terkenal di seluruh Indonesia.
"Kenapa kakak datang?!" jerit Anne. Tidak berselang lama, matanya basah oleh tangisan.
Ludy terbelalak. Ia tidak percaya dengan apa yang tengah dilihatnya. Ia masih ingat betul satu bulan yang lalu, Anne dengan semangat meneleponnya dan memberitahu bahwa ia masuk sepuluh besar nilai UN tertinggi se-provinsi Jawa Barat. Ia dengan antusias bercerita tentang rencananya ikut SBM, mengambil jurusan teknik fisika, kemudian mengambil S2 dan S3 di Jepang, lalu menjadi dosen di universitas-universitas ternama. Atau, mengambil jurusan kedokteran seperti dirinya, lalu membangun rumah sakit bersama.
Tidak sampai di situ, Anne juga menyombongkan undangan dari beberapa universitas swasta yang ditolaknya. Wajar, prestasi Anne yang membanggakan membuat banyak perguruan tinggi tergoda melamarnya.
"Gara-gara kakak, aku jadi nggak bisa kuliah tahun ini!"
Kini, Ludy tahu alasan Anne menghindarinya belakangan ini. Ludy tidak menjawab. Tidak, lebih tepatnya, Ludy butuh waktu lebih untuk mencerna apa yang tengah terjadi.
Mendengar jeritan Anne, orangtua Ludy keluar. Mereka tercengung kaget demi mendapati kedatangan Ludy tanpa pemberitahuan.
Ludy bergegas berlari, meninggalkan papanya yang masih berdiam, serta adiknya yang meneriakinya dengan sumpah serapah.
Tanpa harus dikatakan pun, Ludy sadar, dirinya memang tidak berguna. Dirinya hanyalah beban. Dan dirinyalah penyebab semua kekacauan yang belakangan ini terjadi.
***
"Begitulah. Aku kembali ke sini, mengurung diri berhari-hari, dan berakhir di sini," kata Ludy sambil menyeka air matanya.
"Lalu, mereka nggak ngejar?" tanya Sam.
"Nggak. Aku sudah ngirim mereka pesan buat nggak ngawatirin aku."
"Lalu, rencana kau ke depannya apa?"
"Aku ... tetap. Aku akan mati."
Sam mengela nafas panjang, tapi bagi Ludy itu terkesan seperti meremehkan. Ludy tersenyum sinis seraya melanjutkan perkataannya, "Kenapa dengan tingkahmu?
"Kamu nyepelein aku?
"Kamu nggak pernah, kan, ngerasain hidup seolah berada di neraka?! Merasa lelah dengan masalah yang nggak bisa kamu cegah ... memikul beban yang nggak bisa kamu selesaikan ... bahkan, kemana pun kamu pergi, selalu ada duri yang menancap di kaki?
"Jika kamu sama seperti mereka ... yang bisanya hanya berkata tanpa bisa merasa, sebaiknya kamu pergi saja! Aku sudah capek. Aku nggak ingin mendengar dan memahami cara berpikir kalian.
"Jika kamu datang dengan menyamar menjadi pendeta dengan segala ayat sucinya ... sebaiknya kamu enyah saja. Aku nggak mau percaya.
"Jangan juga kamu menakutiku dengan hukuman alam baka. Jika neraka itu ada, maka aku akan sampai lebih dulu di sana. Lalu, aku belajar banyak tentang bagaimana cara hidup dengan bahagia. Dan aku, akan memandu saat kamu tiba. Kita berdua sama bejatnya. Baik kamu dan aku, mana berhak mencicipi surga?
"Lagi pula, hidup manusia itu nggak ada yang abadi. Baik berjuang sampai akhir atau menyerah sekarang, ending-nya akan sama saja, mati.
"Umur manusia juga pendek. Meninggalkan dunia sedikit lebih cepat beberapa tahun nggak akan membuat bumi menjadi sepi.
"Aku bukan siapa-siapa. Keberadaanku di sini juga nggak ada pengaruhnya. Aku pergi pun, nggak akan ada yang terluka.
"Aku juga sudah nggak berguna. Aku nggak bisa melakukan apa-apa. Aku juga nggak bisa lagi memberikan manfaat. Aku bukan ladang berkat yang dimaksud dalam Alkitab.
"Jangan kira keputusanku menyerah ini perkara mudah. Kamu hanya nggak tahu bagaimana beratnya aku berjuang melawan rasa bersalah. Kamu juga nggak tahu seberapa keras aku mencoba berdamai dengan penyesalan ini.
"Tapi, terima kasih atas niat baikmu. Aku menghargainya.
"Dan--"
"Kau terlalu cerewet untuk ukuran orang yang mau mati," ucap Sam memotong perkataan Ludy. "Ingin mati itu urusanmu. Namun, kalau kau mau percaya padaku, aku akan membantumu mati dengan cara berkesan ... dan menyenangkan."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top