5 - Lelah

Gelar itu bukan kebanggaan, tapi tekanan. Semakin tinggi gelar yang kamu terima, semakin besar pula tanggung jawab yang harus kamu bawa.

~dr. Abe~

☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Satu minggu setelah pertengkaran Ludy dan teman satu kelompoknya ... .

"Ny. Y, ini nama aslinya siapa?" tanya dr. Abe sambil menunjukkan laporan yang ditulis Ludy.

"Nyonya Yasmin, Dok."

"Anamnese-nya ini kapan?"

"Kemarin malam, Dok."

"Residen yang bimbing kamu siapa?"

"Dokter Rasti, Dok."

"Kamu konsulkan pasien ini sama siapa?" tanya dr. Abe tanpa memandang Ludy. Ia mengangguk beberapa kali sambil tangannya sibuk memainkan ponsel.

"Dokter Ardhi, Dok. Kemarin yang bertugas beliau."

Dokter Abe mengerutkan kening, lalu berkata, "Kamu ada buat rekam medis bayangannya?"

"Ada, Dok. Ini," jawab Ludy sambil menyerahkan bukunya.

Dokter Abe tersenyum. Ia meletakkan ponsel lalu membuka catatan Ludy lembar demi lembar. Beberapa detik kemudian, ia menutup buku itu lalu dihempaskan dengan keras di depan Ludy.

"Kemarin itu, saya yang menggantikan dr. Ardhy."

Ludy terdiam. Tidak ada jawaban yang keluar dari mulutnya. Ia sadar dirinya telah tertangkap basah. Ia benar telah jaga malam, tapi teman-temannya seolah tak pernah memberinya kesempatan. Consult pasien yang biasanya bergilir nyatanya ia selalu terlewatkan. Tidak ada yang memberitahu tentang pergantian dokter supervisor. Terlebih, tidak ada bantuan Wahyu dalam penyusunan laporan kasus membuatnya semakin kewalahan.

"Dan tidak ada yang consult tentang pasien dengan RBBB," jelas dr. Abe sambil menunjukkan ponselnya kepada Ludy. Di layarnya, tertulis pesan balasan dari dr. Rasti yang mengatakan tidak ada pasien dengan diagnosis semacam itu semalam.

Ludy semakin menunduk. Keringatnya mengalir deras meski tengah berada di ruangan ber-AC. Berkali-kali ia meremas tangannya sendiri, berusaha mencari ketenangan.

"Tapi, saya terkesan atas presentasimu di forum tadi."

Ludy menutup mata, berusaha menghalangi tangisnya agar tidak tumpah di depan dokter itu. Meski ia mendapat pujian, tetaplah itu bukan hal yang bagus dan membanggakan.

"Bagaimana saya mau evaluasi kalau case report-mu datanya siluman semua?

"Mau minta nilai berapa kalau begini?"

Hening. Ludy semakin menunduk dan merapatkan kedua matanya. Nasibnya seolah jelas. Ia tidak mungkin lulus di evaluasi stase kali ini, bahkan dengan nilai minimum sekali pun.

Dokter Abe menghela napas panjang, lalu berkata, "Saya sudah tanya sama kampusmu. Saya kira kamu memang bermasalah sejak sebelum koas, tapi ternyata mereka memberikan respon yang positif tentang kamu. Saya akan memaafkan kali ini, asal kamu janji tidak akan mengulangi lagi."

"Iya, Dok, saya janji," jawab Ludy dalam tunduknya.

"Jadi ini bagaimana? Kamu mau mengulang minggu depan dengan dr. Ardhy, atau saya beri kamu kasus mudah, jawab sekarang, lalu buat case report, dan kumpulkan ke saya besok pagi?"

"Menjawab kasus dari Dokter saja."

Tidak ada pilihan. Meski belum pasti menguasai kasus yang akan diberikan dr. Abe, tapi itu lebih baik daripada harus menghadapi dr. Ardhy yang berada di level 'sangat killer' itu.

"Oke, dengar baik-baik. Ny. A, berusia 25 tahun datang dengan keluhan nyeri dada di subtermal, menjalar ke pundak kiri dan punggung. Nyeri tidak bertambah berat dengan aktifitas fisik dan berkurang dengan istirahat. Namun, kadang terasa semakin nyeri saat digunakan untuk berbaring. Tidak ada sesak napas, tidak ada edema tungkai, tidak ada riwayat penyakit sebelumnya, dan tidak mempunyai riwayat pengobatan sebelumnya.

"Pada pemeriksaan fisik, vital sign dalam batas normal, paru dalam batas normal, suara jantung S1 dan S2 dalam batas normal. Tapi, suara jantung meninggi paling jelas di batas parasternal kiri. Dilakukan EKG, dan diperoleh hasil seperti ini," kata dr. Abe sambil menyerahkan elektokardiogram di depan Ludy.

"Apa diagnosisnya?"

Ludy mengambil kertas itu, lalu memandangnya lekat-lekat. Ia terdiam ketakutan. Berapa kali pun mencoba, ia tetap tidak bisa menebak elektrokardiogram itu dengan yakin. Pertanyaan dr. Abe seolah tidak memberinya pilihan. Baik dengan jawaban yang salah, atau pun mengakui ketidakmampuannya, keduanya mempunyai akhir yang sama.

"Diagnosisnya ... unstable angina, Dok," jawab Ludy. Sejujurnya ia tidak yakin. Namun, ia merasa itu lebih baik daripada hanya diam mengakui ketidakmampuan. Setidaknya, masih ada kemungkinan jawabannya benar, kan?

"Apa alasannya?"

"Dari gejalanya, Dok. Dada terasa nyeri, dan tidak berkurang saat istirahat. Vital sign, auskultasi paru dan jantung dalam batas normal."

"Lalu, dari hasil elektrokardiogram? Apa nggak kamu pertimbangkan? Kamu kira pasien bayar mahal buat tes EKG hanya untuk hiasan di rekam medis?" tanya dr. Abe dengan nada meninggi.

Ludy menarik napas dalam, lalu berkata, "Maaf, Dok, saya gagal membacanya. Saya masih harus banyak belajar dan mengikuti berbagai pelatihan EKG."

Dokter Abe menghela napas. "Baiklah, saya coba jelaskan. Tapi selebihnya, nanti kamu belajar sendiri, ya."

Ludy mengangguk. Inilah alasan mengapa dr. Abe mendapat julukan sebagai dokter 'agak killer'. Berbeda dengan dokter lain, yang selalu menjawab pertanyaan dengan pertanyaan, sehingga membuat mahasiswa berpikir sendiri serta sakit kepala demi referensi, dr. Abe justru sebaliknya. Ia tidak segan menjelaskan sedetail mungkin sampai si penanya mengerti.

"Perhatikan setrip ini," jelas dr. Abe sambil tangannya menuding gambar. "Hampir semua lead ada ST elevasi diffuse-nya. Kalau yang di lead inferior ini, depresi dari segmen PR. Elevasi segmen PR dan depresi segmen ST di lead aVR, dan subtle spodick sign."

Ludy mengangguk beberapa kali. Bukan karena mengerti, tapi karena memang ia bingung luar biasa dan tidak tahu harus bertanya apa. Ia ingin evaluasi ini segera diakhiri, tidak peduli berapa nilai yang ia dapat.

"Tunggu, kamu sudah bisa dasar membaca EKG, kan?"

Ludy mengangguk mengiyakan.

Dokter Abe merobek kertas EKG, lalu menyerahkannya kepada Ludy. "Coba gambar QRS, QR, QS, dan RS."

Ludy dengan hati-hati menorehkan tinta penanya di atas kertas merah muda itu. Namun, saat ia baru mencoret satu grafik, dr. Abe sudah menggebrak meja, mengagetkan Ludy.

"Kamu selama ini belajar apa?

"Bodohmu itu nggak ketulungan! Dari P ke QRS itu nggak ada slurred kayak gini. Delta wave ini namanya," kata dr. Abe sambil mencoret karya Ludy. "Kalau kayak gini kamu bilang normal, pasienmu sudah banyak yang plus (mati) diam-diam.

"Mau jadi dokter apa, kamu?

"Keterampilan wajib dokter umum saja nggak bisa!"

Ludy semakin dalam menunduk, menyembunyikan air mata yang terjatuh seperti hujan lebat. Inilah alasan kenapa seorang dokter mendapat julukan 'tidak killer', bukan 'baik hati'. Karena saat ia marah, 'tidak'-nya menghilang, dan yang tersisa hanyalah 'killer'-nya saja.

"Kampusmu itu harusnya di gusur saja! Nyetak calon dokter kok kayak gini. Malpraktek semua nanti. Panggil masuk teman kamu yang namanya ...," kata Dokter Abe sambil membaca nama yang tertulis di tumpukan paling atas sendiri. "Wahyu Astha Prihandoko."

Ludy pun bangkit berdiri. Ia menyeka air mata sebelum akhirnya kembali masuk bersama Wahyu.

"Selamat siang, Dok," sapa Wahyu Sambil duduk di depan dr. Abe.

Dokter Abe menunjukkan elektrokardiogram dan memberikan pertanyaan yang sama. Wahyu melirik ke arah Ludy yang menunduk dengan wajah sembab. Ada perasaan tidak enak yang menghinggapinya. Namun, ia tidak bisa menolongnya saat ini.

"Perikarditis, Dok."

"Alasannya?"

"Dilihat dari gejala ada nyeri dada, dan ada pericardial friction rub, ditambah data penunjang yang menunjukkan hasil EKG ST elevasi difusse."

"Lalu terapinya?"

"Karena perikarditis nyeri sekali, maka diberikan Nsaid. Biasanya indometasin 3 x 75 mg dan kolkisin 2 x 0,6 mg untuk mencegah perikarditis ulang, serta mengurangi nyeri secara signifikan. Jika tidak membaik, maka pemberian kortikosteroid dapat dipertimbangkan."

Dokter Abe mengalihkan pandangan ke arah Ludy. "Kamu bisa menjawab seperti temanmu itu?

"Teman kamu saja bisa. Berarti bukan kampusmu yang nggak kompeten!

"Baru kali ini saya lihat ada dokter muda yang gobloknya luar biasa!

"Dokter muda rasa tamatan SMA. Ditanya sesuai kompetensi nggak ada yang bisa. Gelar itu bukan kebanggaan, tapi tekanan. Semakin tinggi gelar yang kamu terima, semakin besar pula tanggung jawab yang harus kamu bawa!"

"Lepas saja snelli-mu itu! Kamu belum siap menggunakannya."

Air mata Ludy kembali terjatuh. Ia terisak dalam tunduknya.

"Kamu saya kasih nilai G!

"Nilai E dan F terlalu bagus untuk kamu.

"Kayak gini mau jadi dokter apa?!" kata Dokter Abe sambil menorehkan huruf G besar di lembar penilaian refleksi kasus milik Ludy, lalu menghempaskan dengan kencang di depannya.

"Kamu itu nggak pantas jadi dokter!

"Dokter kok bermental tahu! Diagnosis ngawur. Dibentak sedikit patah. Orang-orang nggak kompeten macam ini yang mencoreng nama suci ilmu kedokteran.

"Keluar sana!" kata Dokter Abe sambil melemparkan case report Ludy ke tempat sampah.

"Terima kasih, Dok," kata Ludy sesaat sebelum berlalu dari hadapan dr. Abe. Ia berlari keluar dari rumah sakit meski belum waktunya pulang. Bukan ke indekos, tapi ke kampusnya, menemui penanggung jawab kepaniteraannya.

Sementara di ruang dr. Abe, Wahyu menjawab setiap pertanyaan dengan lancar. Hanya Ludy yang tidak tahu, kasus yang diajukan kepadanya adalah case report milik Wahyu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top