25 - Home

Tidak ada orang tua yang mengeluh saat menjadi pijakan anak-anaknya. Kenapa? Karena ada 'cinta' yang sudah membayar lunas semua penderitaan yang dirasakannya.

~Mama Ludy~

☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Bibir gadis berambut sebahu itu tersenyum, sementara matanya berkaca-kaca. Dalam satu gerakan ia lingkarkan tangannya pada tubuh kakaknya itu.

“Kakak,” sapa Anne dengan suara parau.

Tidak ada yang mengerti berapa banyak kerinduan yang bersemayam di hati Anne. Tidak ada yang tahu betapa menyesalnya ia setelah melampiaskan kemarahannya malam itu. Ludy hanya tahu, saat ini adik kesayangan menangis tersedu dalam pelukannya, menumpahkan segala sesak di dadanya. Air mata yang keluar seolah hujan deras yang memberi kesejukan pada dirinya yang lama gersang.

“Maafin Kakak,” balas Ludy sambil mengelus rambut Anne.

Anne menggeleng, membuat leher Ludy terasa geli karena gerakan bulu matanya yang lentik. “Anne yang salah. Anne yang egois. Anne yang nggak bisa dewasa. Anne yang nggak pernah mikirin perasaan kakak. Anne yang–”

Belum sempat menyelesaikan perkataannya, Ludy menjauhkan tubuh dan meletakkan telunjuk di bibir adiknya itu.

Hust ...!”

Dipandanginya wajah Anne lekat-lekat. Matanya sembab dan hidungnya memerah. Tidak berselang lama, seorang wanita paruh baya keluar. Ia terkejut mendapati kejadian yang tidak diduganya.

“Ludy ... anak Mama ...!” serunya sambil menghambur memeluk kedua anaknya.

Dari dalam mobil, Sam tersenyum. Ia mengarahkan ponselnya pada pemandangan mengharukan itu, lalu diabadikannya dalam sebuah gambar. Ia memandang foto itu sekilas, sebelum akhirnya menidurkan kursinya. Lagu namidairo yang dinyanyikan Yui menggema dan menenangkan Sam melalui perangkat headset-nya.

***

“Tanganmu masih sakit?” tanya Mama Ludy saat ketiganya duduk di ruang tamu.

Tanpa menunggu jawaban Ludy, Mamanya telah melesak masuk ke dalam kamar, lalu keluar membawa bantal dan meletakkannya di bawah gendongan Ludy.

“Gimana? Nyaman?”

“Ma, nggak perlu.”

“Bentar,” ucap Mama Ludy sambil melesak pergi ke arah dapur.

Setelah mamanya tidak terlihat lagi, Anne mulai membuka pembicaraan, “Kak, Mama taunya Kakak kecelakaan pas waktu wisata ke Bali. Mama nggak tahu kalau Kakak pernah nyoba bunuh diri. Jadi, tolong Kakak jangan cerita apa pun tentang kejadian malam itu.”

Ludy mengerutkan dahi. “Malam, apa?”

“Aku lihat Kakak malam itu di bar.”

Ludy menautkan alis tanda tidak percaya. “Kamu di sana?”

Anne mengangguk. “Setelah kepergian Kakak, aku ngrasa bersalah. Aku nggak seharusnya bicara seperti itu sama Kakak. Lalu pas aku libur kerja, aku datang ke kontrakan Kakak. Aku ingin minta maaf.

“Tapi yang aku lihat, Kakak udah berubah. Penampilan Kakak membuatku ngerasa Kakak bukanlah orang yang aku kenal. Aku ingin menyapa, tapi aku takut Kakak masih marah. Lalu aku ikuti Kakak sampai masuk ke dalam Bar. Sayangnya aku hanya bisa sampai di situ. Penjaga bilang, bajuku nggak sesuai untuk bisa masuk ke dalam. Aku hanya duduk, nunggu sampai Kakak keluar.

“Lalu, nggak seberapa lama Kakak keluar sambil menenteng sandal Kakak. Aku ingin menyapa, tapi seorang pria yang membuntuti Kakak membuatku merasa takut kembali. Aku hanya bisa menguntit di belakang kalian, dengan kayu di tangan. Aku ingin gunain itu kalau Kak Sam sampai berniat jahat sama Kakak.”

Ludy mengeryitkan kening sekali lagi. “Sam?” ulang Ludy. Ia sungguh tidak percaya Anne mengenal pria itu.

“Iya, Kak Sam. Namun, kecurigaanku terhenti saat Kak Sam menyelamatkan Kakak.” Anne tersenyum, matanya menerawang membayangkan kejadian yang masih sangat jelas dalam ingatannya itu.

“Lalu Kak Sam ngajak aku ke rumahnya. Rumahnya besar dan bagus, kayak istana. Dia juga baik, nawarin aku nginep kalau mau. Tapi aku nggak bisa. Setelah gantiin baju basah Kakak, aku pergi. Aku belum siap mendengar umpatan dari Kakak.”

Air mata Anne kembali menetes, dan dengan cepat ia seka. “Sebenarnya aku sangat bodoh. Berani sekali aku ninggalin Kakak bersama orang yang baru aku kenal beberapa jam sebelumnya. Tapi, ngelihat Kak Sam yang mau mempertaruhkan nyawanya untuk menolong Kakak, sudah sukses membuatku percaya bahwa dia nggak akan nyakitin Kakak.”

Ludy terdiam. Pikirannya kembali membayangkan kejadian saat ia terbangun di kamar rumah Sam. Ia begitu kesal mengira Sam yang telah melucuti pakaiannya nyatanya hanya kesalahpahaman. Ia menunduk, malu atas prasangka buruknya terhadap Sam waktu itu.

“Terlebih, saat Kak Sam menepati janji untuk selalu mengirimkan kabar terbaru dari Kakak, membuatku benar-benar merasa tenang.”

“Kabarku?”

Anne mengangguk. “Iya. Dia selalu menceritakan kabar Kakak setiap harinya, ngirimin foto paparazzi kegiatan Kakak, bahkan kondisi Kakak saat mencoba bunuh diri dengan racun serangga.”

“Apa? Kalian tahu kejadian itu?”

Anne mengangguk. “Iya, aku tahu, Kak. Aku ingin menjenguk, tapi masih takut. Hingga suatu ketika, aku punya keberanian buat menyukai postingan kakak. Tapi, kakak sama sekali nggak nanggepin aku. Aku mikir, Kakak masih marah sama aku.”

Ludy menggeleng. Air matanya menetes merasakan keharuan, kesalahpahaman serta miskomunikasi dengan adiknya itu. “Kakak nggak marah. Justru Kakak–” kata Ludy terputus oleh isakan. “Kakak ngira kamu masih marah sama Kakak. Jadi Kakak nggak berani nyapa kamu duluan.”

Dalam tangis, Anne tertawa. Ia menyesal mengapa tidak dari dulu ia menanyakannya. Ia lalu merebahkan dirinya dalam pelukan Ludy.

“Mama tahu juga?” tanya Ludy.

Anne menggeleng. “Mama tahu hanya sebagian. Sejak kejadian itu, Ayah pergi. Mama jadi sering frustasi dan sakit kepala. Pas diperiksakan, ternyata tekanan darahnya sangat tinggi sekali. Dokter bilang, Mama nggak boleh stres.”

Keharuan keduanya dikejutkan oleh kedatangan Mama Ludy. Ia berjalan tergesa-gesa. Ditangannya tergenggam segelas susu dan disodorkannya kepada Ludy.

“Minumlah, ini hangat. Kata Dokter, susu punya kalsium tinggi dan baik untuk kesehatan tulang.”

“Ma,” jawab Ludy sesaat setelah susu itu berpindah tangan. Namun, belum sempat Ludy melanjutkan perkataannya, Mamanya sudah kembali melesak ke dalam dapur. Tidak berselang lama, ia muncul dengan menghidangkan beberapa makanan.

“Makanlah yang banyak. Kata Dokter, brokoli dan ikan salmon bagus untuk tulang,” kata Mama Ludy sambil mengambilkan nasi banyak-banyak untuk Ludy. Setelahnya, ia berganti melayani Anne. “Kamu juga.”

Memang, saat periksa, alih-alih menanyakan tentang kondisi dirinya, wanita  paruh baya itu justru menggali informasi berbagai macam makanan yang baik untuk anaknya yang baru saja kecelakaan.

“Ma! Kak Ludy juga dokter. Dan kalau kami makan sebanyak ini, kami bisa gendut mendadak!” seru Anne mencoba bergurau.

Namun, terasa garing saat senggukan Ludy terdengar lebih keras daripada teriakannya. Keduanya menoleh.

“Ma, Ludy minta maaf.”

Mata wanita paruh baya itu berkaca-kaca, lalu mengangkat wajah Ludy dengan kedua tangannya.

“Dengerin Mama. Kamu nggak salah. Semua orang tua pasti melakukan hal yang sama. Mereka pasti ingin menyekolahkan anaknya tinggi-tinggi, agar bisa mandiri. Mereka bisa bertahan hidup meski orang tua telah pergi.”

“Ma!”

“Mama akan melakukan apa pun, supaya kamu dan adikmu bisa menjadi orang. Mama akan menjadi pijakan kalian menapak masa depan. Nanti, saat kamu jadi orangtua, kamu akan merasakannya sendiri. Apa itu kasih sayang, perjuangan, dan pengorbanan demi anaknya.”

Tangis Ludy makin pecah. Senggukannya terdengar semakin jelas. Begitu pun dengan Mamanya. Dalam sekejap, direngkuhnya anak bungsu itu ke dalam pelukan. Tidak berselang lama, Anne menggabungkan diri ke dalamnya.

“Jangan pernah menyalahkan diri kalian sendiri untuk apa yang Mama lakukan. Jangan kalian merasa terbebani, karena memang Mama yang menginginkan ini. Mama tidak keberatan, dan Mama senang mengorbankan apa pun yang Mama punya. Tidak ada anak yang minta dilahirkan oleh orangtua, yang ada orang tualah yang minta melahirkan anak. Jadi, biarkan Mama memikul tanggung jawab atas kalian. Ini pilihan Mama.”

“Papa ... Papa gimana, Ma?”

Wanita itu memaksakan senyum. “Jangan khawatir, dia akan segera kembali,” jawabnya dusta.

Tidak ada yang tahu di mana keberadaan Papa Ludy. Tidak ada yang tahu pula kapan ia akan kembali. Kedua gadis itu pun mengerti. Karenanyalah mereka memilih untuk tetap tersenyum, saling menguatkan. Mereka tidak ingin membahas pria yang belum siap mereka ingat.

“Kak, tahu nggak? Mama tiap hari selalu masak kayak gini, berjaga-jaga kalau Kakak pulang sewaktu-waktu,” celoteh Anne sambil memasukkan nasi ke dalam mulutnya.

“Kalaupun Kakakmu nggak datang, kamu juga harus konsumsi makanan penuh gizi seperti ini,” sanggah Mamanya.

“Kak, tahu juga, nggak? Pas Kakak kecelakaan itu, Mama heboh pengen terbang ke Bali. Tapi Mama sangat penakut.”

Mama Ludy mendelik, lalu berkata, “Kayak kamu enggak?!” Lalu, mengalihkan perhatiannya kepada Ludy dan tersenyum. “Untung ada Sam. Mama jadi tenang meski hanya melihatmu dari jauh. Kapan-kapan, ajaklah dia main ke sini.”

Ludy hampir tersedak mendengar permintaan mamanya. “Sebenarnya, hari ini Ludy pulang ... diantar sama Sam, Ma.”

Mamanya terkesiap, lalu dengan semangat ia berkata, “Kenapa nggak bilang dari tadi? Suruh dia masuk, ajak dia makan. Mama ambil piring lagi.”

Ludy bergegas keluar, ke tempat mobil Sam berada. Sayangnya, ia hanya mendapati jalanan kosong. Sam tidak lagi berada di tempatnya. Ia pun membuka ponsel, lalu tersenyum mendapati ada pesan singkat dari orang yang dicarinya.

Sam :

Menginaplah di sana malam ini. Aku akan jemput kau besok pagi.’

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top