20 - 8. One day without a smartphone
Jangan terlalu mempercayai perasaan sendiri saat sedang dikuasai emosi. Tanpa bukti, kau hanya akan menyiksa diri.
~Christian Sammy Chen~
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆
"Biasanya kau muncul di dapur sebelum aku bangun. Tumben hari ini masih tiduran," kata Sam sambil menyodorkan semangkok bubur ayam.
Ludy bangkit dari tidur, lalu meletakkan ponselnya di sisi ranjang. Ia tersenyum lalu meletakkan bubur itu di pangkuan. Sebuah denting pemberitahuan media sosial kembali menyita perhatiannya.
"Kenapa?" tambah Sam.
Ludy menoleh. "Apa?"
"Apa yang terjadi kemarin?"
Ekpresi Ludy berubah dan wajahnya kembali murung. Meski begitu, tangannya masih tetap ceria membalas setiap pesan yang ada. Kegiatan dan kejadian yang membuat tangannya tersangga itu telah melejitkan namanya dengan cepat.
"Kalau kau nggak ingin bicara, aku pergi," ancam Sam sambil bangkit berdiri.
Ludy menoleh. Dengan tatapan memelas ia berkata, "Sam, aku ...."
Sam kembali duduk. "Kenapa?"
"Aku ...."
Sam merebut bubur dari pangkuan Ludy, lalu berkata, "Kau gendut!"
"Hah?" Ludy melongo mempertanyakan maksud pernyataan Sam. Bersamaan dengan itu, sebuah suapan bubur melenggang masuk ke dalam mulutnya yang terbuka.
"Curhat juga butuh tenaga. Jadi, makanlah dulu, baru cerita," jelas Sam sambil melayangkan satu suapan lagi. Sikapnya terkesan memaksa mengingat mulut Ludy yang masih penuh dengan bubur.
Sam tersenyum. Jelas sekali ia sangat menikmati kegiatannya. Ekspresi Ludy yang tengah berjuang menelan semua suapan, serta wajah yang seolah ingin menolak, tapi tidak bisa, telah menjadi hiburan tersendiri untuk Sam.
"Jadi, ada apa?" tanya Sam sesaat setelah meletakkan gelas kosong ke meja di samping tempat tidur.
"Aku ... aku ngerasa nggak berguna. Aku ... aku nyia-nyiain kesempatan yang ada."
"Maksudnya?"
"Moment di mana aku seharusnya bisa memperbaiki hubunganku dengan teman-teman, aku justru menghancurkannya."
"Memangnya apa yang terjadi?"
Ludy menatap tajam pada Sam. Mulutnya terbuka, seolah ingin berkata, tapi jelas ia merasa ragu. Namun, ekspresi Sam yang terlihat menunggu membuatnya tidak bisa mundur.
"Kamu sama Wahyu ... apa sebenarnya hubungan kalian?"
Sam mengeryitkan dahi. "Kau amnesia? Kau butuh obat? Atau kau mau nambah buburnya?"
Ludy menghela napas dalam. Hatinya berdesir menahan kecemburuan. Perilakunya seolah memberinya pertanda buruk. Saat seseorang menghindari sebuah pertanyaan, jelas ada sesuatu yang mereka sembunyikan.
"Apa sebenarnya hubungan kalian?" Suara Ludy bergetar menahan emosinya.
Sam terkekeh. "Kau ini kenapa, sih? Kau dari dulu kan sudah tahu kalau kami berteman."
"Teman seperti apa?" tegas Ludy.
Sam menghela napas dalam. Jelas ia jengah kepada Ludy. "Teman seperti ayam! Bersama dari kecil, lalu berkembang biak, kemudian berpisah saat dia mengerami telurnya."
Ludy terdiam. Hanya air mata yang terjatuh yang dapat mengekspresikan perasaannya.
"To the point aja! Sebenarnya apa yang ingin kau katakan?" tambah Sam.
Ludy menunduk. Air matanya kini terjatuh semakin deras. Tanpa jawaban tegas pun, ia merasa sudah melihat kebenarannya. Ada cinta di antara mereka. Dan ia dengan bodohnya bercerita tentang perasaannya di depan Wahyu.
"Apa kalian saling mencintai?"
Tawa Sam pecah. Ia tergelak mendapati pertanyaan konyol Ludy. "Bagaimana bisa kau menyimpulkan hubungan kami seperti itu? Kau pernah lihat kami ciuman? Atau jalan berduaan?"
Ludy terbungkam. Jangankan melihat, menyadari saja tidak. Namun, tidak menutup kemungkinan, kan? Wahyu seorang wanita sempurna yang pernah mengaku mencintai seseorang, tapi dirahasiakan. Dan Sam, seorang pria mapan yang diidamkan semua perempuan. Sangat serasi, bukan?
"Tapi ...." Ludy memaksakan senyum. "Gimana kalau Wahyu ternyata cinta sama kamu?"
"Kenapa kau bisa ngira kayak gitu?"
Ludy tersengguk, lalu menjawab, "Tadi malam, dia kabur begitu saja saat aku cerita tentang kamu."
"Lalu apa dia bilang kalau dia mencintaiku?"
Ludy menggeleng.
Sam kembali terkekeh. "Jangan terlalu mempercayai perasaanmu sendiri, saat kau dikuasai emosi. Tanpa bukti, kau hanya menyiksa diri."
"Lalu, kalau dia beneran cinta sama kamu gimana?"
Sam tersenyum, lalu memindah duduknya di samping Ludy. Tangannya merangkul, merengkuh kepala gadis itu dalam pelukan. "Kau cemburu? Ayolah, kita kenal benar Wahyu itu orangnya kayak apa. Kalau dia sampai berbuat seperti itu, mungkin karena alasan lain. Coba ingat-ingat apa yang terjadi sebelum itu."
Sebuah denting ponsel mengalihkan perhatian Ludy. Ia dengan cepat meraihnya, lalu terhanyut dalam benda persegi itu. Ia baru tersadar saat tangan jahil Sam menekan layar ponselnya secara sembarangan, menciptakan sebuah lambang hati bertebaran.
"Apa, sih?" protes Ludy di sela isaknya.
"Apa yang terjadi sebelum Wahyu pergi?"
"Nggak ada! Sungguh! Kami berempat karaokean, lalu aku bercerita tentang kamu sama dia, dan dia tiba-tiba kabur tanpa penjelasan apa pun."
"Berempat?"
"Ya, ada aku, Bima, Ryan, sama Wahyu."
"Lalu, bagaimana dengan Bima dan Ryan setelah Wahyu pergi."
"Mereka nyusul Wahyu, tentu saja."
"Tanpa mengatakan apa-apa?"
Ludy meneguk ludah. Ia tidak ingin mengingatnya kembali. Tindakan Wahyu yang begitu mengejutkan itu masih belum lepas dari ingatannya, kini ditambah dengan kenangan akan kekecewaan Bima dan Ryan.
"Sebelum pergi, Ryan bilang mereka mau ikut karena Wahyu yang minta. Dan Bima bilang, aku harus bisa mengendalikan diri, dan menghargai teman. Memangnya apa yang aku lakukan sampai mereka menganggapku seperti itu? Aku merasa curhatku biasa saja, karena dulu-dulu, Wahyu nggak pernah protes saat aku melakukan hal serupa."
Sam mengerutkan kening, lalu bertanya, "Apa kau selalu seperti ini saat bersama mereka kemarin?"
"Maksudnya?"
"Kau tetap bermain ponsel saat berada di tengah-tengah mereka?"
Ludy terdiam. Ia memang lalai, tapi menurutnya itu tidak keterlaluan. Sam tersenyum, lalu merebut ponsel Ludy dari tangannya.
"Di sini," jawab Sam sambil menggoyang ponsel Ludy beberapa kali. "Bagimu mungkin biasa, tapi bagi mereka kau dianggap tidak menghargainya. Dan juga, benda ini telah melarutkanmu dalam dunia maya. Kau bahkan lupa saat ini kau masih hidup di dunia nyata. Jadi ... untuk satu hari saja, benda ini aku sita."
Mulut Ludy menganga. Ia menolak untuk percaya dengan apa yang baru didengarnya.
"Kamu sehat?"
"Amat sangat sehat."
"Kalau sehat, kembalikan hapeku!"
"Nope! Ini misi nomor delapan, hidup satu hari saja tanpa ponsel pintar."
Ludy mendecih. "Kamu bilang karena benda itu aku tidak menghargai mereka? Lalu bagaimana dengan mereka sendiri? Apa mereka juga ngehargain aku? Apa mereka peduli sama aku? Kalau hanya aku yang mikirin perasaan mereka, siapa yang akan mikirin perasaanku?
"Cuma benda itu satu-satunya penghiburku. Dengannya aku bisa lari dari dunia yang nggak aku ingini. Aku bisa menjadi apa saja, aku bisa bicara apa saja, dan aku bisa mendapatkan apa yang nggak aku punya di dunia nyata.
"Orang-orang mau berteman denganku tanpa memandang bagaimana aku. Mereka bilang aku hebat, mereka memujiku cantik, mereka menyemangatiku saat aku mulai terpuruk. Hal yang-" Perkataan Ludy terputus. Tangisnya telah tumpah, mengalir membentuk saluran bening hingga ke pipinya. Sesekali ia terisak, sambil tangannya menyeka air mata beberapa kali.
"Kamu nggak pernah tahu. Cuma kamu dan benda itu yang aku punya. Kamu nggak pernah ngerti betapa sepinya aku saat kamu nggak ada. Dan kamu sekarang mengambilnya?
"Kamu ingin aku di sini sampai kamu pulang larut malam, menunggu sambil meringkuk kebosanan dan sendirian?
"Kamu ingin menyiksaku?"
Ludy memandang Sam yang menatapnya sedari tadi. Tidak adanya reaksi atau jawaban membuatnya harus menambahkan, "Kamu ingin aku berharap waktu cepat berhenti?" Ludy mendecih. "Percuma. Kamu nggak akan ngerti. Kamu nggak tahu gimana rasanya berjuang tiap detik hanya untuk mengalihkan keinginan mati. Kamu nggak pernah ngalamin sendiri.
"Dan sekarang, kamu bertindak seolah kamu tahu segalanya?" tambah Ludy sesaat sebelum ia menyeringai. "Bullshit! Nggak ada satu orang pun yang paham sama apa yang aku rasakan."
"Udah?" tanya Sam pada akhirnya.
Ludy mengangkat alisnya. Pandangannya mengisyaratkan ketidakpercayaan. Ia tidak menyangka Sam mengabaikannya. Satu detik kemudian, ia terkekeh renyah menertawakan kebodohannya sendiri. Curhatannya terasa sia-sia. Mungkin lebih baik jika ia berbicara dengan benda mati, daripada pada manusia yang bisa mendengar, tapi tidak bisa mengerti dan tidak punya empati. Benar, tidak ada orang lain yang bisa memahaminya.
"Udah ngocehnya?" tambah Sam.
"Apa? Kamu sebut a-"
"Aku nggak bilang kau harus nunggu di sini seharian. Kalau kau takut bosan, kau boleh ikut aku."
"Apa?"
"Aku tiap minggu ada kebaktian. Gerejaku satu jam perjalanan dari sini. Kalau kau punya yang lebih dekat, kita pergi ke gereja yang biasa kau datangi saja."
"Apa?"
"Apa? Apa cerita panjang lebarmu itu udah ngabisin perbendaharan katamu sampai kau nggak punya kalimat lain yang bisa kau ucapkan selain 'apa'?"
"Hah?"
"Bersiaplah! Setengah jam lagi aku kembali," kata Sam sambil mengacak rambut Ludy. Setelahnya, ia tersenyum lalu keluar, meninggalkan Ludy yang masih terdiam menerjemahkan keadaan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top