2 - Hidup itu untuk ... mati

Banyak hal telah berubah, tapi kenangan bersamamu masih terasa nyata dan sama.

~Priskilla Ludysvheni~

☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Melihat Ludy yang mulai merangkak melintasi pembatas jembatan membuat Sam khawatir. Ia berjalan mendekat, mengabaikan tekad awal untuk tidak menampakkan diri di hadapannya.

Namun, belum sempat sapaan itu keluar dari mulut Sam, Ludy sudah terlebih dahulu menerjunkan dirinya. Beruntung, Sam berhasil meraih tangan kiri Ludy tepat waktu, membuat tubuhnya bergelantungan di sisi jembatan.

Ludy menatap Sam, tapi tidak bisa mengenalinya. Alkohol memang telah mengaburkan pandangannya.

Dengan susah payah, Sam menarik Ludy. Ia hampir berhasil. Sayangnya, tubuh yang bergoyang ke sana kemari membuat beban itu terasa semakin berat. Ditambah, keringat bercucuran yang seolah tidak mau bekerja sama membuat pegangan keduanya menjadi licin. Ludy pun terlepas sementara. Untungnya, Sam berhasil melompat meraihnya. Meski konsekuensi yang diperolehnya cukup pahit. Keduanya bergelantungan di sisi jembatan.

Wajah Sam memerah. Ia sangat kelelahan mengangkat beban dirinya dan Ludy dengan satu tangan. Ia hampir menyerah saat seorang gadis berambut sebahu tiba-tiba meraih lengannya, dengan kaki yang ia lipat pada besi pembatas jembatan.

"Cepat naik!"

Dalam samar cahaya lampu jalan, Sam tahu wajah gadis itu sama memerahnya. Jelas ia juga kepayahan mengeluarkan seluruh energi untuk menolongnya.

'Gadis bodoh,' pikir Sam.

Dilihat dari bentuk fisik, jelas tindakannya akan berakhir percuma. Bagaimana pun juga kekuatannya tidak sebanding dengan beban yang ia tahan, tapi yeah, setidaknya ia berusaha.

Tanpa membuang waktu lebih lama, dengan tenaga yang tersisa, Sam menghentak menaikkan salah satu kakinya ke sisi jembatan. Namun, tentu itu tak mudah. Jangkauannya terlalu jauh, belum lagi gravitasi bumi yang terasa semakin kuat menarik mereka ke bawah. Setelah beberapa kali mencoba, Sam akhirnya menyerah. Energinya habis dan napasnya terengah-engah. Tangannya pun benar-benar terlepas dari jembatan, dan mempercayakan hidupnya pada pegangan gadis rapuh itu.

"Lepaskan," kata Sam lirih.

Gadis itu tidak menanggapi. Jelas ia tak ingin membuang tenaga untuk berbicara. Ia lebih memilih fokus menarik keduanya ... atau lebih tepatnya, menahan keduanya.

'Kenapa? Kenapa dia begitu kekeh menyelamatkan kami?' pikir Sam.

Sam pasrah. Gadis itu jelas tak bisa diharapkan. Ia dan Ludy tetap bergelantungan tanpa kemajuan meski satu milimeter pun. Ia berpikir, dalam hitungan ke sepuluh, remaja itu akan melepaskan tangannya.

Namun, siapa yang mengira. Tindakannya ternyata menarik perhatian para pengguna jalan. Beberapa mobil berhenti, dan dalam waktu singkat, orang-orang berkerumun, menolong sekaligus menonton adegan menegangkan itu secara live.

Tak berselang lama, keduanya sudah naik ke sisi jembatan. Sam terengah-engah dan mengatur pernapasan, sementara Ludy tak sadarkan diri. Seseorang menyodorinya air mineral, ada juga yang menawarinya ke rumah sakit, dan yang lainnya menanyainya penasaran. Sam tak bisa berbuat banyak. Semua yang bisa ia lakukan hanyalah dengan kesal menunjuk ke arah gadis yang tergeletak di sampingnya, yang memancarkan aroma alkohol dari seluruh tubuhnya.

Seolah mendapatkan jawaban, kerumunan itu pun bergumam tak jelas, lalu membubarkan diri satu per satu, dan melanjutkan aktivitas masing-masing.

"Terima kasih," ucap Sam setelah suasana kembali sepi.

***

Ludy terbangun dari tidur. Matanya mengerjap berkali-kali mencoba mengenali kamar yang ia yakin bukan miliknya. Begitu pun dengan baju yang ia kenakan. Jelas, seseorang telah menggantikan pakaiannya semalam.

Ludy mencoba bangkit duduk. Ia meringis saat merasakan perih di sekujur tubuhnya. Wajar, karena saat bergelantungan semalam, ia menabrak sisi jembatan berkali-kali dan menimbulkan bekas lebam di beberapa bagian. Begitu pula saat Sam menariknya. Kulit tanpa pelindung yang bergesekan dengan keras beton telah menghadiahinya banyak goresan.

"Sudah bangun?"

Ludy menoleh. Suara serak-serak basah dan dalam telah mengingatkannya pada satu orang. "Sam?"

Pria itu tersenyum, lalu duduk di samping Ludy. "Minumlah," kata Sam sambil menyerahkan segelas teh hangat kepadanya.

Ludy memejamkan mata membayangkan adegan saat Sam melepas semua gaunnya. Ia merasa tidak lagi punya muka di depan pria bermata sipit itu. Ia sudah tidak punya harga diri lagi.

Namun, tidak berselang lama ia tersenyum sinis. Harga diri apanya? Harga dirinya sudah hancur saat ia dengan senang hati bertelanjang bulat di gagahi Sam beberapa tahun yang lalu.

"Aku nggak nyangka kau masih mengenaliku," imbuh Sam.

Ludy bergeming. Tangannya memainkan mug, menikmati kehangatan yang dialirkan oleh permukaannya.

Dalam diam, ia kembali menyeringai. Melupakan Sam? Bagaimana bisa? Christian Sammy Chen, pria tampan berdarah Tionghoa, berkulit sebening porselen yang bahkan tidak bisa dibedakan dengan warna pucat, adalah orang yang membuat hidupnya berubah drastis. Ia adalah orang yang menjadi pengalaman pertamanya menjalin hubungan secara dewasa. Dan, orang yang meninggalkannya tanpa pernah memberitahu kesalahannya.

"Apa kabar?" tanya Sam lagi.

Ludy masih menunduk. Namun, kali ini dengan air mata yang mengurai jatuh. Dari sekian banyaknya pertanyaan, kenapa harus itu? Bagaimana ia harus menjawabnya?

"Baik."

Sam tersenyum getir. Bukan itu jawaban yang ia inginkan. Wajah layu, tatapan sendu, tubuh lemah dan tidak bersemangat, sudah menjadi cukup bukti bahwa Ludy tidak sedang baik-baik saja.

"Mau sarapan apa pagi ini? Aku sekarang bisa masak, loh." Sam mengalihkan topik pembicaan. Ia tahu, tidak semudah itu Ludy akan mau terbuka kepadanya -- kepada orang yang pernah menyakitinya.

"A-aku mau pulang," jawab Ludy sambil menyibak selimutnya.

Sam meraih tangan Ludy, menghentikan aktivitasnya. "Nanti aku antar ... setelah kita sarapan. Kau ... tunggu di sini, ya."

Sam melepaskan tangan Ludy, lalu beranjak turun, meninggalkannya yang masih tertunduk tanpa jawaban.

Sepeninggal Sam, Ludy mendongak. Pandangannya terpaku pada sumber cahaya di ujung ruangan. Ia berjalan mendekat, membuka tirai dan merasakan kehangatan oleh sinar mentari yang membuai kulitnya.

Sebenarnya tidak ada yang menarik dari balkon sempit itu. Hanya dua buah tempat duduk dan beberapa tanaman dalam pot gantung yang menari-nari kecil dimainkan angin. Namun bagi Ludy, zygocactus itu punya kenangan tersendiri. Itu adalah bunga yang pernah ia beli saat mereka masih berpacaran dulu.

"Aku nggak nyangka dia masih memelihara bunga ini," gumam Ludy sambil menyentuh bunga berwarna merah muda yang menggantung di ujung daun.

Ludy menoleh ke belakang, melihat kembali pintu kaca yang baru ia lewati. Dulu, di sana bertengger sebuah lonceng angin yang mereka buat berdua. Namun sepertinya, Sam sudah menyingkirkannya. Di belakangnya, adalah kamar tempat ia pertama kalinya merasakan apa yang orang dewasa sebut cinta.

Ludy kembali menangis, menyesali kekhilafannya di masa lalu. Banyak hal telah berubah, tapi kenangan itu masih terasa nyata dan sama. Ludy menyentuh pagar besi pembatas balkon. Catnya masih terlihat baru, seolah ingin menyembunyikan fakta bahwa ia telah menua termakan usia.

Ludy melonggok ke bawah. Ia tersenyum saat melihat kolam renang yang dulu sangat disukainya masih belum berubah. Lengkungan bibirnya bertambah semakin lebar demi melihat lantai batu di kiri dan kanan kolam.

"Sepertinya bisa," kata Ludy sambil melangkahi pagar pembatas.

***

Sam yang baru keluar dari kamar berdiam sejenak di depan pintu. Beberapa kali ia menoleh, merasa ragu meninggalkan Ludy sendirian di kamarnya. Tangannya meraih ponsel, lalu menelepon seseorang. Ia menarik napas dalam tatkala orang yang dimaksud mengabaikan panggilannya.

"Sepertinya nggak apa-apa," gumam Sam sambil memandang pintu kamar sekali lagi.

Sam memaksa senyum, lalu beranjak menjauh dari kamar itu. Namun, belum ada sepuluh langkah, ia kembali. Tanpa ragu, ia membuka pintu dan mendapati Ludy mulai menaiki pagar.

Sam berlari, lalu menarik pinggang Ludy hingga mereka berdua bersimpuh di lantai. Tanpa menunggu persetujuan, Sam meraihnya dalam pelukan.

"Lepas!" ronta Ludy.

Alih-alih menurut, Sam justru semakin mengeratkan pelukannya, berbanding lurus dengan rontaan Ludy.

"Lepas! Lepaskan aku!"

"Maaf," kata Sam sambil meremas rambut Ludy.

Ludy sudah mulai berhenti meronta. Sebagai gantinya, isaknya mulai terdengar memecah kesunyian pagi itu.

"Jangan halangi aku!"

"Maaf."

"Kamu nggak tahu apa yang sudah aku lalui selama ini."

"Maaf."

"Aku benci kamu," kata Ludy sambil meremas punggung Sam, membalas pelukannya.

Sebelumnya, Sam menganggap aksi percobaan bunuh diri semalam karena pengaruh alkohol. Namun, insiden yang baru saja dilihatnya telah membantah anggapan itu. Panggilan lu gue yang tidak lagi ia dengar dari bibir mungil itu menunjukkan bahwa kesadaran Ludy telah kembali. Ia tidak sedang mabuk. Ludy, memang benar-benar sudah lelah dengan hidupnya.

##########

a/n (amoeba note) :

Beruntung sekali amoeba dapat jodoh yang sangat jeli. Andai enggak, mungkin plothole bertebaran di sini. Tanpa koreksimu Kak HanniMaharani, aku nggak akan bisa percaya diri..

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top