16 - Kenapa bukan aku?

Duka tidak harus selalu dibalut dengan air mata. Semua tergantung dari bagaimana kau menyikapinya.

~Christian Sammy Chen~

☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Sam membungkuk di dekat pohon, lalu memuntahkan semua isi lambung yang sudah berteriak minta kebebasan sejak mereka masih di perjalanan. Setelahnya, ia mengambil beberapa pil antimual, lalu meminumnya.

“Kamu masih sama ya, masih payah kalau diajak naik kendaraan,” kata Ludy sambil menyodorkan minyak kayu putih dan tisu kepada Sam.

Ludy masih ingat benar dengan kebiasaan Sam yang satu itu. Dulu, saat mereka berkencan, obat antimual tidak pernah ketinggalan di kantong. Saat berada di ketinggian, saat udara dingin, saat udara panas, naik kendaraan, belum makan, kekenyangan, bahkan melihat sesuatu yang kurang disukainya saja ia pasti muntah.

“Nggak mau makein sekalian?” goda Sam.

“Kamu kan punya tangan. Nih, pakai sendiri,” jawab Ludy sambil meletakkan tisu dan minyak kayu putih di tangan Sam. “Ngomong-ngomong, kita ngapain ke sini?”

“Kita akan paragliding,” kata Sam sambil menyeka mulutnya dengan tisu. “Di sini.”

Ludy mengerutkan kening. “Kamu yakin? Kamu akan muntah lagi saat baru terbang.”

“Kau ngremehin aku, ya? Isi lambungku sudah terkuras habis. Aku nggak akan muntah lagi.”

Ludy tergelak menanggapinya. “Kalau cuma paragliding, kenapa kita harus repot-repot datang ke sini? Tempat yang kita kunjungi kemarin juga ada paragliding-nya.”

Sam merangkul pundak Ludy sambil berkata, “Paragliding di semua tempat memang sama. Terbang pakai parasut. Yang beda hanyalah view-nya. Di sini, kita bisa terbang dengan lebih leluasa karena radius soaring-nya lebih panjang.

“Panorama di sini juga sangat luar biasa. Dari ketinggian, kita nanti bakal bisa lihat keindahan alam dan eksotisme kebudayaan dalam waktu yang sama.

“Pasir putih, yang tergradasi dengan birunya laut, perbukitan curam, serta hamparan hijau pepohonan bisa kau nikmati dalam satu bingkai panorama.

“Dan juga, lokasi pendaratan luas yang berupa pasir pantai menjadi pilihan lebih untuk menghindari kejadian yang nggak diinginkan.

“Lalu saat kita sudah mendarat, kita akan menikmati sisa sunset di sana,” jelas Sam sambil menunjuk ke tempat yang dimaksud.

“Kamu sudah pernah ke sini?”

“Sudah. Karena itulah kau kuajak kemari. Kau nggak akan puas kalau ke sini cuma satu kali. Ayo,” jawab Sam sambil menarik Ludy mendekati sekelompok pilot paralayang.

Setelah menjelaskan berbagai prosedur dan peraturan, Ludy mulai naik di depan pilot itu. Saat datang angin berembus, Ludy terdorong melompat tebing. Ia menjerit keras mengira dirinya akan jatuh ke dasar. Ia baru tersenyum bahagia saat ia sudah berada di udara dengan kecepatan angin yang stabil. Tidak ada kekhawatiran mengingat semua pendamping di sana ter-certified.

Tak lama berselang, Sam pun menyusul. Ia yang juga tandem dengan seorang pilot pun mengudara menikmati panorama alam dari ketinggian. Berbeda dengan Ludy yang lebih eksis di media sosial, Sam lebih memilih meninggalkan perangkat elektroniknya di dalam tas. Sam ingin mengabadikan semua moment hanya di otaknya saja.

Sekitar lima menit mengudara, Sam dikejutkan dengan gerakan pilotnya yang tiba-tiba mengubah arah paralayang menghadap ke kejadian mengerikan yang dialami teman sepekerjanya. Ia ternganga demi melihat penumpang yang dibawanya.

Pusaran angin yang datang tiba-tiba membuat parasut yang ditumpangi Ludy terlipat di sisi kanan. Dalam hitungan kurang dari satu detik, keduanya pun terjatuh.

“Pak,” kata Sam dalam kepanikannya.

“Iya, kita akan segera turun,” jawab pilot berusia empat puluh tahunan itu.

Pilot itu mengerti. Korban adalah teman penumpangnya. Ia dengan cepat mengarahkan paralayang mendekati titik pendaratan. Selama itu, Sam hanya bisa memandang lokasi Ludy terjatuh yang mulai menjauh darinya.

Perasaannya tidak tenang saat menyadari keterbatasannya. Ia ingin berbuat sesuatu, tapi tidak mampu. Melompat dan menangkap Ludy pun rasanya percuma. Mendarat di titik Ludy terjatuh pun juga tidak bisa. Tidak ada yang bisa dilakukannya selain berharap dan berdo’a.

Saat pendaratan berhasil dilakukan, Sam bergegas berlari ke lokasi kejadian. Di sana, sudah ada sebuah ambulance dan beberapa orang telah selesai melepaskan ikatan parasut di badan keduanya. Dengan gerakan cepat, mereka segera dilarikan ke rumah sakit terdekat. Sam dan beberapa anggota klub pun menyusul dengan menaiki mobil secara terpisah.

“Lud,” kata Sam saat mereka sudah sampai di IGD.

“Dia nggak apa-apa. Hanya syok saja,” jelas dokter kepada Sam. “Tapi untuk memastikannya, kami harus melakukan pemeriksaan menyeluruh.”

Sam mengangguk. “Lalu, bagaimana dengan korban yang satunya, Dok?”

“Kami masih berusaha,” jawab dokter itu sambil undur diri.

“Syukurlah, dia nggak kenapa-napa,” ujar pilot yang menemani Sam. “Mohon maaf atas musibah ini. Ini ... baru pertama kali terjadi, dan ... benar-benar di luar prediksi.”

Sam tidak menjawab. Ia hanya bisa tersenyum sebagai gantinya. Mereka pun lalu bergabung dengan kawanan pilot lain, yang sedang berdo’a dan berharap demi keselamatan teman seprofesinya.

Pilot itu terbaring dengan dikerubungi beberapa orang berseragam putih. Salah seorang terus-menerus membersihkan jaringan berwarna putih yang keluar dari lubang telinga bercampur darah. Satu perawat pria menekan dadanya sambil berhitung cepat. Perawat yang lain lagi memencet sungkup besar saat hitungannya terhenti. Setelah itu, perawat wanita menggantikannya. Ia naik ke atas ranjang dan melakukan hal yang sama. Mereka baru berhenti saat dokter menggeleng beberapa kali dan membacakan waktu kematiannya.

“Kami, turut menyesal,” kata dokter sambil berlalu dari ruang tindakan.

Semua terdiam. Hanya air mata dan kesedihan yang dapat mewakilinya.

“Saya turut menyesal,” kata Sam membuka pembicaraan.

Pilot disampingnya tersenyum nanar. “Ini memang sudah resiko pekerjaan kami. Setiap kali kami melompat, setiap kali itu pula kami meletakkan nyawa kami di sana.

“Tapi, dalam kematiannya, dia pasti bangga. Penumpangnya berhasil selamat,” tambah pria itu sambil menyeka air matanya. “Kami akan dihantui perasaan menyesal seumur hidup andai keadaannya terbalik.”

Tubuh pasien itu telah tertutup kain hijau seluruh tubuhnya. Lalu, seorang perawat mendorongnya keluar dari ruang gawat darurat. Beberapa teman mengikutinya dari belakang.

“Tolong, jangan pergi dulu sampai kami bertanggung jawab penuh atas insiden ini,” kata pilot itu sambil berlalu pergi, bergabung dengan teman-teman menuju ruang pemulasaran jenazah.

Ada alasan utama kenapa paralayang disebut sebagai olahraga ekstrim. Selain menguji adrenalin, kecelakaan yang mungkin terjadi juga bisa berakibat hilangnya nyawa. Tidak ada yang tahu apakah mereka memang dilatih untuk menjadi tameng para penumpang saat kecelakaan terjadi, ataukah memang campur tangan Tuhan yang ingin memberikan Ludy kesempatan hidup lagi.

Ludy yang berada di depan bisa selamat karena terhalang tubuh pilot itu saat membentur tebing. Tidak ada yang tahu pasti alasan parasut daruratnya tidak berfungsi, serta di mana tepatnya lokasi terjal yang membuat tulang pinggang pilot itu patah, meski sudah terlindungi oleh berbagai peralatan paralayang dan body protector. Saat jatuh pun, tubuh pilot yang berukuran dua kali lipat tubuh Ludy berada di bawah. Ia seolah berkorban agar Ludy agar tidak bersentuhan langsung dengan jalanan. Kerasnya hempasan membuat helm yang dipakainya hancur berantakan dan memecahkan kepala sang pilot.

***

“Sudah sadar?” tanya Sam saat melihat Ludy mengerjap beberapa kali. Ia pun melepas earphone yang menancap di telinganya.

“Di mana ini?”

“Di ruang observasi IGD. Kau ingat aku?”

“Sam?”

Sam terkekeh. “Kirain kau gegar otak, lalu hilang ingatan.”

“Bagaimana dengan pilotnya?”

Sam terdiam. Sangat tidak mungkin ia mengatakan bahwa pilot itu telah mati saat melindungi Ludy. Untuk ukuran orang depresi, alih-alih merasa terharu, ia justru akan menyalahkan diri sendiri. “Dia sudah bahagia.”

Ludy menunduk, lalu terisak. Ia tahu ‘bahagia’ di situ adalah arti kiasan untuk menggantikan kata yang tidak bisa diucapkan. “Kenapa harus dia? Kenapa bukan aku?”

Sam memeluknya. “Husst ...,” desis Sam sambil mengacak rambutnya beberapa kali.

“Aku yang ingin, kenapa dia yang dapat.”

“Berarti Tuhan masih mengharuskan kau hidup. Kau masih punya tugas yang belum selesai. Selesaikan dulu, baru mati.”

Ludy menyerigai. “Tugas? Kau bukan Tuhan. Misi darimu nggak masuk hitungannya.”

“Beda. Mungkin tugas Tuhan yang belum kau lakukan adalah ....”

Ludy memandang Sam dengan tatapan serius, berharap ia menyelesaikan perkataannya. “Apa?”

“Mungkin, tugas Tuhan yang belum kau lakukan adalah ... bahagiain aku. Dan untuk mewujudkannya, kau harus bahagia dulu.”

“Sam, ini bukan waktunya bercanda!” protes Ludy di sela isaknya.

Sam tersenyum, lalu berkata, “Aku nggak bercanda. Kesedihan nggak harus selalu dibungkus dengan air mata. Dengarlah,” kata Sam sambil memasangkan earphone-nya pada telinga Ludy.

Lagu please don’t yang dibawakan K-Will menggema di pendengaran Ludy. Sebuah lagu sedih pun, jika dibawakan dengan semangat akan menenangkan siapa pun yang mendengarnya.

Ireojima jebal, tteona jima jebal. Dorawa, dorawa~
Niga tteonagan bin jari wien chagaun hyang giman nama~
Ireojima jebal tteona jima jebal. Dorowa, dorawa~
Nameun hyang giman ango isseulge dorawa ni jariro~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top