15 - 5. Try an extreme sport
Vodka itu sayur. Titik!
~Christian Sammy Chen~
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆
“Kenapa kamu nggak bilang kalau mau datang?” tanya Ludy sambil berbalik.
Sam menutup pintu, lalu mengekori Ludy yang kembali memasukkan baju-bajunya ke dalam koper. Jalannya sempoyongan, membuat Ludy cukup yakin Sam sudah minum banyak terlebih dahulu sebelum menemuinya.
“Apa ada yang beda kalau aku bilang sama enggak?” jawab Sam sambil naik ke atas ranjang. Tangan kanannya terjulur, menawarkan minuman beralkohol kepadanya.
Ludy menggeleng, sementara tangannya masih sibuk memasukkan baju terakhir ke dalam koper. “Aku lagi diet.”
Sam terkekeh. “Ayolah. Nggak ada larangan orang diet nggak boleh minum sayur.”
“Maksudnya?”
“Ini vodka.”
“Lalu?” tanya Ludy sambil mendorong kopernya ke tepi.
“Vodka itu berasal dari kentang. Kentang itu sayuran. Jadi, vodka adalah sayur.”
Ludy melongo. Tak berselang lama, tawanya pecah. Ia terbahak-bahak sampai wajahnya memerah. Ia tidak menyangka Sam bisa menyimpulkan kandungan vodka dengan cara yang sangat sederhana.
“Tetap saja,” jawab Ludy sambil menyeka air matanya. Tawanya belum sepenuhnya hilang. “Vodka sudah terolah.”
“Apa bedanya? Bayam juga sudah terolah dan masih disebut sayur.”
Ludy menggeleng beberapa kali, sementara tangannya masih menutup mulutnya. Ia sedang berusaha berhenti tertawa. “Maaf, Sam. Aku nggak ingin minum malam ini. Pesawatku berangkat besok pagi.”
“Jangan berangkat. Tinggallah di sini beberapa hari lagi. Temani aku,” kata Sam dengan tatapan sendunya.
Tawa Ludy sepenuhnya hilang. Ekspresi yang tersirat dari wajah Sam membuat hatinya bergetar. Terlihat jelas pria di depannya itu tengah menanggung beban berat yang membuatnya harus melarikan diri kepada minuman setan itu.
“Tapi aku nggak mau minum, ya. Aku nggak mau mabuk.”
Sam terkekeh. “Ayolah. Dalam hidup, jangan cuma minum kopi, tapi juga harus konsumsi ini.”
Ludy mengeryitkan dahi sambil mengangkat kedua bahu. “Kopi dan vodka? Apa hubungannya?”
“Biar kau ngerti, hidup itu bukan cuma pahit, tapi juga pusing.”
Ludy kembali terkekeh, lalu menerima botol minuman itu. Percuma ia menolak. Sam punya berjuta alasan untuk membantahnya. Sam menaikkan botolnya, dan denting keduanya seolah menjadi aba-aba dimulainya tegukan pertama secara resmi.
Sam merentangkan tangannya. Ludy yang menangkap maksud itu pun tersenyum, lalu duduk di sebelahnya. Jarak yang sangat dekat membuat Ludy bisa mencium dengan jelas aroma alkohol dari tubuh pria yang merangkulnya.
“Kenapa?”
“Papa pulang dari Tiongkok.”
“Lalu?”
Sam menyeringai, lalu meneguk minumannya lagi dan lagi. Hingga tidak ada cairan yang tersisa, ia pun meletakkan botol itu secara sembarangan.
“Dua pria dewasa, bertemu dalam satu ruangan untuk membahas hal yang penting, kadang memang nggak selalu sejalan. Kadang, terjadi selisih pendapat yang menimbulkan pertengkaran.”
“Lalu?”
Sam mengalihkan pandangan. Bibirnya tersenyum demi melihat ekspresi Ludy yang begitu serius mendengarkan curahan hatinya.
“Aku menemuimu untuk melupakannya, bukan mengingatnya,” jawab Sam sambil merebut botol Ludy dan meletakkannya di meja tidur.
Sam memindahkan tangannya ke tengkuk Ludy, lalu menariknya mendekat. Jarak keduanya membuat desahan napas terasa satu sama lain. Entah siapa yang memulai, bibir keduanya bertemu. Mereka saling menjelajah, meluapkan perasaan aneh yang berkecamuk di dada pemiliknya. Mata keduanya tertutup, memberikan kesempatan hati untuk saling melihat dengan rasa.
“Sam,” kata Ludy saat bibir Sam terlepas untuk mengambil napas.
Sam tidak menanggapi. Sebagai jawaban, ia justru mengunci bibirnya dengan lumatan. Ludy tidak punya pilihan lain selain menikmatinya. Jantungnya pun kembali berdesir setelah sekian lama. Ada guratan aneh yang tidak bisa ia ungkapkan dalam kata.
Lidah keduanya saling menyapa. Tangan Sam menelusup di balik kemeja, menelusuri lekuk punggung hingga sampailah pada apa yang dicarinya. Dengan sekali sentak, terlepaslah kaitan benda yang melingkar ketat di dada wanita itu.
“Sam.”
Sam kembali membungkam Ludy dengan cara yang sama. Tangan kirinya memeluk semakin erat, seolah ingin menyatukan dua tubuh yang berbeda itu. Tangan kanannya mengarahkan tangan Ludy untuk menjamah barang pribadi yang telah menegang keras sedari tadi. Barang yang sudah lama tidak pernah tersentuh tangan seorang wanita. Setelahnya, ia kembali bergerilya pada kumpulan lemak yang menonjol di dada Ludy.
Tidak mudah untuk Ludy lepas dari dekapan Sam. Hingga bibir pria itu turun ke lehernya, ia berhasil mendorong tubuh pria mabuk itu menjauh.
“Sam!” seru Ludy sambil memegang kuat kedua pipi Sam. “Buka matamu! Kamu menangis!”
Aktivitas Sam terhenti. Ia tidak menyangka caranya bersembunyi telah terbaca oleh Ludy dengan begitu mudah. Wanita itu bisa melihat dengan jelas air mata yang susah payah ia samarkan sebagai keringatnya.
Sam semakin menunduk. Gerakan punggungnya yang naik turun menunjukkan bahwa ia telah terisak. Dalam gerakan cepat, tangannya memeluk tubuh Ludy erat. Ia menenggelamkan diri dalam dada wanita itu.
“Aku merindukanmu.”
“Sam ....”
“Jangan membuatku terlalu lama menunggu.”
“Sam ....”
“Bawalah aku bersamamu.”
Ludy membalas pelukan pria di depannya itu. Dengan lembut, ia mengusap rambut dan punggung Sam untuk menenangkannya. Meski ia tahu, Sam tidak menyadarinya. Sam, telah benar-benar mabuk.
***
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaa ...!” teriak Ludy saat parasut mulai menerbangkan dirinya bersama pilot paralayang yang mendampinginya.
Seperti kesepakatan, Ludy membatalkan kepulangannya. Ia menemani Sam menghabiskan liburannya di Bali, sampai perasaan pria itu kembali membaik. Beserta itu, ia mendapatkan misi kelima.
Melakukan olahraga ekstrim.
Imbasnya, dalam dua hari terakhir, kegiatan mereka penuh dengan aktivitas penguji adrenalin. Banyak tempat wisata yang mereka kunjungi dan coba wahananya. Mulai dari olahraga air seperti canyoning di air terjun Gitgit, bermain dengan gajah di taman safari setelah sebelumnya menaiki ATV ride di medan off road menelusuri keindahan desa Taro, Ubud. Ada juga kegiatan diving di Manta Point, Nusa Penida dan flyboarding serta wake boarding di Tanjung Benoa, lalu melanjutkan surfing sungguhan di pantai Kuta.
“Halo semua, sekarang kita lagi di ketinggian ...,” kata Ludy sambil melambaikan tangannya ke kamera. “Berapa, Pak?”
“Tujuh ratus meter,” jawab pilot paralayang di belakangnya. Tangannya dengan sibuk mengarahkan tali untuk mempertahankan arah parasutnya.
“Ya. Kita sedang ada di ketinggian tujuh ratus meter dari permukaan laut. Pemandangan dari atas sini indah banget pemirsa .... Nih, lihat,” kata Ludy sambil mengarahkan kameranya berkeliling, memamerkan panorama pantai dan keeksotisan alam perbukitan Timbis.
“This is paradise! Kalian nggak akan pernah dapat kegiatan menyenangkan selain melihat alam dari atas sini dengan mata kepala sendiri,” tambah Ludy sambil memamerkan jempol di siaran langsungnya.
Ia mengalihkan pandangannya ke arah Sam. “Tuh Liat, yang di sana sedang berteriak-teriak kayak orang gila.”
Ludy terkekeh melihat kelakuan Sam, meski ia tidak bisa mendengar apa pun dari teriakan pria yang berjarak sekitar lima ratus meter darinya itu. Ia merasa sangat bersyukur. Kegiatan semacam ini bisa membuatnya berteriak dengan bebas. Ia juga telah melupakan masalahnya untuk sesaat.
“Whuuuooo ... i can fly like a bird ...!” teriak Ludy sambil merentangkan kedua tangannya.
Bersamaan dengan itu pula, pusaran angin menerpa, memutarnya beberapa kali sebelum akhirnya menariknya turun dalam waktu singkat. Ludy bisa dengan jelas merasakan tubuhnya membentur tebing, membuat tongkat narsisnya terlepas sebelum terjatuh di jalanan beraspal di pinggir pantai. Bau amis darah pun dengan cepat memenuhi indra penciuman sebelum akhirnya parasut itu terjatuh menyelimutinya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top