14 - 4. Go travel alone
Tiap bulir air mata yang terjatuh itu tidak gratis. Harus ada yang membayarnya.
~Christian Sammy Chen~
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆
Ludy membuka matanya. Ia mengerjap dan menyadari hari telah berganti. Ia meneguk berkali-kali demi menyesuaikan diri dengan ketidaknyamanan karena selang yang menancap dari hidung hingga tembus ke lambungnya. Ia kemudian menoleh dan melihat Sam sedang sibuk dengan laptopnya. Kedua telinganya di sumpal dengan headset sambil kepalanya bergerak-gerak. Jelas sekali ia sedang menikmati lagu yang sedang ia dengarkan.
Sam mengalihkan pandangan saat melihat Ludy bergerak –berusaha duduk– dengan tidak nyaman. Ia melepas headset dan menghampirinya. Tidak lupa, ia menyambar dua buah apel dan menyodorkan salah satunya kepada Ludy.
“Sudah bangun?” tanya Sam sambil sambil mengggigit apelnya.
Ludy hanya mendesah pelan, lalu meraih buah yang disodorkan untuknya. Namun, saat tangan itu hampir sampai, Sam dengan cepat menariknya kembali.
“Sayang sekali, kau harus puasa,” ujar Sam sambil tekekeh.
Ludy merasa dongkol. Ia pun beralih menata bantal di punggung untuk menyamankan kepalanya yang masih terasa pening. Namun, belum sempat ia bergerak, Sam sudah memutar tuas, menyebabkan ranjang Ludy naik hingga 45 derajat. Kesesalannya makin memuncak tatkala Sam mengedipkan sebelah matanya, seolah mengejek dirinya. Ia pun memilih mengalihkan pandangan menjauhi Sam.
Sam mendekat kembali ke arah Ludy, lalu menjentikkan jari ke keningnya. “Gimana? Enak, nggak?”
Ludy tidak menjawab. Percuma, apa pun jawaban yang ia berikan hanya akan memuaskan lawan bicaranya itu.
“Kau, sih, nggak sabaran,” ledek Sam.
“Kalau begitu, cepat katakan apa misi keempatnya!”
Sam tersenyum renyah. “Cepatlah sembuh, dan pergilah liburan! Sendirian!”
“Itu misi keempatnya?”
Sam mengangguk mengiyakan.
Ludy menyeringai, “Apa untungnya buat kamu kalau aku pergi liburan? Apa kamu akan terhibur kalau aku menjauh darimu? Kalau iya, biarkan aja aku tinggal di kos-kosan sampai mood-mu kembali.”
Sam menunduk, lalu menjawab dengan pelan, “Targetku kali ini bukan kamu, tapi ... mantanmu.”
“Terus apa hubungannya sama aku pergi liburan?”
Sam menatap tajam pada Ludy, lalu berkata, “IQ-mu berapa, sih? Masa kayak ginian juga harus aku jelasin?”
Ludy menghela napas dalam. Baginya Sam sudah kelewatan. Sam tidak puas hanya mempermainkan dirinya, kini juga menargetkan mantannya. Bisa jadi, besok Sam akan mengincar teman dan keluarganya. Namun, tidak berselang lama, Ludy menyeringai. Keluarga dan teman apanya? Ia sudah tidak punya.
“Aku nggak peduli kau pura-pura atau beneran, tapi kau harus tunjukkan bahwa kau benar-benar bahagia setelah putus dari dia.”
“Apa pentingnya berpura-pura untuk dia?”
“Penting! Mantanmu itu tahu benar teori hukum cinta. Yang lebih banyak mencintai, yang lebih banyak mengalah. Jadi, saat tahu kau seperti ini, dia akan bangga. Sangat bangga karena merasa dirinya begitu berarti buatmu. Dia akan bebas narik-ulur perasaanmu karena merasa kau nggak bisa hidup tanpa dia.
“Karena itulah, kau harus balik keadaan ini. Buat dia berada di posisimu. Buat dia terpuruk dan menyesali keputusannya. Dan saat ingin memperbaiki semuanya,” jelas Sam sambil menjentikkan jarinya. “Tunjukkan padanya bahwa kesempatan itu sudah nggak ada.
“Kau ingin membungkam mulut mereka dengan rasa malu dan penyesalan, bukan?”
Hening. Ludy membutuhkan waktu untuk mencerna perkataan Sam. Ia tidak benar-benar sedendam itu kepada mereka. Ia hanya sakit hati, dan tidak bisa menyembuhkan diri. Masalahnya adalah pada dirinya, bukan mereka. Membalas pun, rasanya percuma. Lagi pula, mana mungkin hatinya tega menyakiti orang yang dicintainya?
“Lalu, kenapa kamu sangat membencinya? Apa masalahmu sebenarnya sama dia?”
Sam tersenyum, lalu mengarahkan tangannya ke pipi Ludy. “Karena dia, pernah membuat air mata ini terjatuh. Dia harus tahu itu semua nggak gratis, dan dia harus membayarnya.”
***
Untuk kedua kalinya, Ludy menjejakkan kaki di pulau Dewata. Sebenarnya banyak pilihan tempat wisata yang ditawarkan. Namun, Ludy lebih memilih Bali dengan berbagai alasan. Salah satunya karena kenangannya di masa lalu.
Saat masih SMP, ia dan keluarga pernah berkunjung sekali. Itu adalah saat di mana tidak ada persoalan hidup yang rumit seperti ini. Mereka tertawa, mereka berbahagia, dan benar-benar menikmati liburannya. Itu adalah saat yang benar-benar ia rindukan, dan ia ingin merasakannya kembali hingga masalah ini terjadi.
Di hadapannya telah membentang pantai sebening kristal, Nusa Penida. Untuk orang yang keadaannya baik-baik saja, berada di sana pasti akan terasa seperti surga. Pasir lembut, gemuruh ombak, serta sinar matahari yang hangat, rasanya sudah cukup untuk melepaskan segala penat.
Namun tidak bagi Ludy. Lokasi itu terasa biasa. Andai bisa, ia akan lebih memilih berada di kamarnya saja. Tempat ia bisa menangis, menumpahkan segala kesedihan tanpa ada yang ikut campur.
Ludy memeriksa jam di pergelangan tangan. “Sudah lima menit, sebaiknya segera balik ke hotel,” gumamnya pada diri sendiri.
Begitulah Ludy. Ia pergi ke berbagai tempat wisata hanya untuk formalitas. Datang, lalu mencari spot yang pas, kemudian berfoto dengan berbagai angle. Tidak lupa, ia memasang senyum palsu untuk menunjukkan pada dunia bahwa ia benar-benar bahagia. Setelahnya, langsung pulang. Tidak heran, dalam waktu tiga hari, sudah puluhan destinasi wisata yang ia kunjungi.
Saat sampai di hotel, seperti biasa ia meng-upload foto selfinya. Tidak ada yang menarik hingga ia membaca sebuah pemberitahuan bahwa Anne, –adiknya– telah menyukai hampir semua postingannya.
Ludy terdiam, ada perasaan getir tersendiri saat melihatnya. Ia ingat benar pertengkaran terakhir mereka. Ironis memang, saat adiknya berjuang demi biaya kuliah, ia justru menghamburkannya.
“Maafin kakak, Ann. Setelah ini, kakak nggak akan lagi menghalangi keinginanmu buat kuliah. Sabarlah, nggak akan lama lagi,” gumam Ludy dalam isaknya.
Dari pulau yang berbeda, ada sepasang mata dengan cermat memperhatikan tiap postingan di akun media sosial Ludy. Ia meletakkan bolpoinnya di atas meja kaca, sementara tangan kirinya dengan hati-hati menggeser tiap fotonya. Sebuah senyum tulus terukir dari bibir tipisnya.
***
Sudah hari ketujuh Ludy berada di Bali. Ia tengah berberes menyiapkan kepergiannya esok hari. Pesawatnya akan berangkat pukul tujuh pagi. Jika tidak bersiap dari sekarang, bisa saja ia akan tertinggal. Untuk ukuran orang dengan tabungan tipis, membeli tiket baru bisa membuatnya semakin menangis.
kegiatannya terhenti saat ia mendengar ketukan di pintu kamarnya. Ia mengehela napas malas sebelum memutuskan untuk membukanya.
Seseorang yang berdiri di balik pintu membuatnya terkejut. Sam, tersenyum sambil tangan kirinya mengangkat dua botol minuman beralkohol.
“Dari mana kamu tahu aku nginap di hotel ini?”
Sam tersenyum, lalu menjawab, “Dari postinganmu. Kau ... selalu mencantumkan tempat.”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top