13 - Untuk kesekian kalinya

Saat kau ingin bicara, tapi mulut tidak bisa berkata ....
Saat kau ingin melihat, tapi mata tidak bisa terbuka ....
Saat kau ingin bergerak, tapi raga tidak bisa bekerja sama ....

Saat itulah semua keinginan akan terganti.
Entah dengan mati, atau hidup lagi.

~Priskilla Ludysvheni~

☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

“Lud...!” teriak Sam sambil menggedor-gedor pintu kamar Ludy. Namun, tidak ada jawaban.

“Mungkin orangnya lagi keluar, Mas,” jawab pria berkemeja kusut yang baru sampai.

Sam mengerutkan kening. Tanggapan pria itu kurang bisa diterima oleh akalnya. Ludy tidak pernah keluar. Kalaupun iya, itu hanya untuk menemui dirinya.

Pria itu kemudian mengetuk pintu kamar indekosnya, lalu keluarlah seorang wanita berjilbab dengan bayi di gedongan. Jelas sekali itu adalah istrinya.

Indekos ini memang bukan khusus mahasiswa saja. Isinya campuran, mulai dari pria, wanita, mahasiswa, karyawan, bahkan yang sudah berumah tangga.

“Mungkin orangnya lagi di rumah sakit, Mas. Itu Mbaknya dokter, kok,” jawab wanita itu.

Sam mengeryitkan dahi. Ia tidak menyangka tetangga kamarnya tidak tahu bahwa Ludy sudah cuti dari kegiatan perkuliahan sejak tiga bulan yang lalu.

“Coba aja telepon dia, Mas,” usul pria itu.

Sam meraih ponselnya, lalu menekan kontak Ludy. Sebuah nada dering terdengar dari kamar di belakangnya.

Last night i lay in bed so blue, cause i reallized the truth they can’t love me like you~
I tried to find somebody new, baby they ain’t got a clue can’t love me like you~

Sam mematikan panggilan, lalu diulanginya sekali lagi. Nada dering yang sama pun terdengar kembali.

“Lud!” teriak Sam sambil menekan handle pintu berkali-kali.

“Minta kunci cadangan sama ibu kos!” perintah Sam pada pria di seberangnya.

Kedua pasangan itu hanya saling pandang. Mereka tidak paham dengan keadaan di hadapannya. Mereka juga tidak mengerti alasan dibalik kepanikan Sam yang terkesan tiba-tiba. Namun, melihat tindakan Sam yang terus berteriak memanggil-manggil nama tetangga kamarnya, mereka pun akhirnya menarik sebuah kesimpulan, pasti sedang terjadi sesuatu yang buruk.

Tidak berselang lama, sang istri pun bergegas pergi ke rumah ibu indekos. Sam yang tidak sabar menunggu sampai wanita itu kembali lebih memilih untuk mendobrak pintunya. “Tolong bantu saya!” pinta Sam dengan bahasa formalnya.

“Ada apa sebenarnya?”

“Saya punya firasat buruk. Tolong bantu saya saja. Masalah kerusakan, saya akan bertanggung jawab.”

Mereka berdua pun bekerja sama untuk mendobraknya. Namun, kekuatannya tidak sebanding dengan kokohnya pintu itu. Tidak kehilangan akal, Sam memecah kaca jendela, kemudian menyibak tirainya.

Sam mendelik demi melihat tubuh Ludy yang terbujur miring dengan mulut berbusa. Ia bergegas memecah semua sisa kaca untuk ia lewati.

“Lud ...,” kata Sam sambil menepuk pipi Ludy beberapa kali. Namun sial, gadis itu tidak merespon.

***

Ludy mendengar gedoran di pintu kamarnya. Ia tahu benar suara familier itu milik Sam. Ia sangat bersyukur pria itu datang di saat yang tepat. Ia ingin menjawab, tapi tidak mampu. Ia membuka mulutnya, tapi alih-alih suara yang keluar, malah cairan lambungnya yang minta dibebaskan.

Tidak berselang lama, ia mendengar teleponnya berdering. Tangannya hendak meraih, tapi nyatanya hanya diam di tempat. Jangankan untuk bergerak, membuka mata saja ia tak sanggup. Setelah itu, semuanya kosong. Telinganya tidak lagi menangkap suara apa pun.

“Lud!”

Ia merasa sebuah tangan menamparnya beberapa kali. Ia tersadar, tapi tetap saja ia tidak berdaya. Ia tidak bisa melakukan apa pun. Matanya terasa perih karena keringat yang merembes masuk, dan ia tidak mampu menyekanya.

Ia merasa sebuah tangan memboyongnya. Dengan nafas pendek-pendeknya, ia bisa mencium wewangian yang biasa digunakan oleh si maniak parfum. Ia tahu langkah Sam bergerak keluar, ia bisa merasakan dingin malam menyapa kulitnya. Setelahnya, semuanya kembali kosong.

Ia kembali tersadar saat telah berbaring di tempat yang empuk. Ia mendengar derap langkah cepat dan berganti-ganti. Ludy merasa bersyukur saat sebuah tangan membuka paksa matanya. Namun, belum sempat ia memandang sekeliling, cahaya silau telah membutakan penglihatannya. Harapannya untuk melihat situasi, berakhir percuma saat ia sadar itu adalah ulah seorang dokter yang memeriksa reaksi pupil menggunakan sebuah penlight.

Sepasang tangan bergegas memasangkan sungkup dan mengalirkan udara segar untuknya. Ia bersyukur mendapat banyak pasokan oksigen tanpa harus susah payah menghirupnya. Sepasang tangan yang lain lagi, mengusapkan kapas dingin di tangan kanannya. Tidak lama, ia merasa sebuah gigitan semut menembus kulit. Sebagai orang yang pernah bertugas di IGD, ia tahu itu adalah ulah perawat yang sedang mengambil darah sekaligus memasangkan infus padanya. Sementara di lengan kiri, ia merasakan ada kain yang menjeratnya kuat, lalu melonggar. Dan hal itu berulang sekali lagi.

“90/50, Dok.”

“154, Dok.”

Ludy mencoba menerka-nerka suara siapa gerangan. Namun, tidak ada satu sosok pun yang muncul di bayangan. Belum sempat ia memperkirakan nama lain, sebuah tangan tiba-tiba melepas kancing kemejanya dengan cepat, lengkap beserta baju dalamnya. Kemudian menempelkan sekitar enam electroda dan membentuk garis lengkung di sekitar payudara, serta jepitan pada kedua pergelangan tangan dan kakinya. Tidak berselang lama, suara mesim perekam jantung mulai bekerja.

Sepasang tangan ber-handscone menengadahkan kepalanya  dan melepas sungkup oksigen. Sebagai ganti, sebuah selang ditekan masuk melalui hidung kirinya.

“Telan.”

Ludy tidak mengenal suara yang menyuruhnya. Namun, ia tidak punya pilihan lain selain menurut. Tidak ada yang tahu, tegukan yang membuat selang itu masuk, ataukah masuknya selang itu yang membuatnya meneguk.

Tidak berselang lama, suara gemericik air terdengar. Aroma yang seharusnya tertinggal di kamar indekos kembali tercium. Lalu, ia merasakan air mengalir kembali memenuhi lambung, lalu menghilang. Hal itu terjadi berulang kali sebelum akhirnya berhenti.

Suasana kembali hening. Tidak ada lagi keributan yang terdengar seperti sebelumnya. Namun Ludy tahu, masih ada satu orang yang tinggal di sana. Mengotak-atik selang infus, lalu menyuntikkan sesuatu ke dalamnya. Setelah itu, suasana kembali tenang.

Sebuah dekapan hangat menyentuh tangannya, lalu mengarahkan mendekat ke sebuah bibir. Ludy bisa merasakan dengan jelas embusan napas menyapu kulitnya. Bersamaan dengan itu, beberapa tetesan air terjatuh di punggung tangannya. Meski begitu, ia tidak bisa membedakan, itu air mata ataukah keringat.

Sam?

Belum sempat ia menerka lebih dalam, reaksi obat lebih dulu melumpuhkannya. Badannya seolah melayang. Pusing, sesak, sakit, jantung berdebar pun menghilang. Ia merasa sangat mengantuk, dan detik berikutnya ia benar-benar terlelap.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top