10 - 3. Go Diet
Tubuh berisi bukan berarti membuat pemiliknya tidak bahagia.
Justru semestinya merasa bangga,
karena punya lemak cerdas yang tahu di mana mereka seharusnya berada.
~Sammy Chen~
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆
Sudah hampir satu jam Ludy tidak beranjak dari tempatnya berdiri. Ia menunduk sambil memain-mainkan kakinya. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam hodie coklat tua, berusaha menghalangi dingin malam menyentuh kulitnya. Ia baru menghentikan aktivitas saat sebuah mobil hitam menepi di depannya.
“Masuklah!” kata Sam sambil membuka pintu belakang mobil.
Tanpa berkata apa pun, Ludy bergegas masuk dan duduk di samping Sam. Tepat saat itu pula, pintu gerbang terbuka, dan sopir membawa mereka hingga ke pintu utama. Halaman rumah Sam lumayan luas. Wajar, jika Sam memilih untuk memintanya naik ke mobil daripada mengajaknya jalan kaki. Terlebih, Sam cukup lelah dengan perjalanan jauh yang baru ia lakukan sebulan terakhir ini.
“Lama, ya, nunggunya?” tanya Sam sesaat setelah merebahkan diri di sofa kamar.
Sam tersenyum, lalu tangannya menepuk-nepuk sofa, meminta gadis bermasker itu duduk di sebelahnya. Namun, Ludy lebih memilih tempat yang berseberangan. Ia menunduk, tidak ingin melihat kembali kamar yang pernah menjadi saksi sebuah dosa manis telah terjadi.
Sam berpindah tempat ke sebelah Ludy, kemudian menyingkap tudung serta maskernya. Berpura tidak menyadari ketidaknyamanan Ludy, Sam beberapa kali mengoyak rambut wanita di sampingnya itu.
“Aku tadi ketemu teman sebentar sebelum sampai sini.”
Ludy tidak menjawab. Sam hendak bertemu siapa, itu sudah bukan urusannya.
“Kau kangen banget, ya? Sampai nggak sabar nunggu besok,” tambah Sam.
Ludy menepis tangan Sam. “Berikan aku kodenya sekarang!”
Sam tergelak, lalu berkata, “Kau baru ngelakuin dua syarat. Masih ada delapan lagi yang harus kau sele–”
“Kalau gitu, cepat kasih tahu syarat yang ketiga!” pinta Ludy memutus perkataan Sam.
Sam mendesah, lalu bangkit berdiri dengan lemah. “Kita bicarakan itu besok pagi. Aku sangat capek hari ini. Kau, menginap aja di sini,” kata Sam. Ia lalu menyodorkan sebuah bingkisan kepada Ludy. “Untukmu. Ini coklat, oleh-oleh dari Tiongkok.”
Meski ragu, Ludy akhirnya menerimanya buah tangan yang tidak wajar itu. Sam tersenyum, lalu meraih kepala Ludy dan mencium ubun-ubunnya.
“Good nite,” kata Sam.
Ia kemudian berlalu, kembali ke kamar pribadi yang sangat ia rindukan.
***
“Astaga!” pekik Sam saat mendapati Ludy sudah berdiri di depan pintu kamarnya. Rasa kaget membuat wajah putih pucat itu memerah, seolah baru saja teraliri darah.
“Katakan apa syarat ketiganya!”
“Kau bener-bener nggak sabaran, ya?” jawab Sam sambil merangkul pundak Ludy lalu mengarahkannya menuju dapur.
Seorang asisten rumah tangga yang baru saja membersihkan ruang makan bergegas pergi saat mereka tiba. Sam mendudukkan Ludy, lalu memandanginya lekat-lekat.
“Memangnya kau sudah naik berapa kilo sampai minta syarat ketiga?”
“Sudah lebih dari sepuluh kilo,” jawab Ludy dusta. Ia tidak bisa mengatakan bahwa berat badannya hanya berhasil naik sampai lima kilo dalam sebulan ini. “Puas?”
Sam mengerutkan kening. “Kau sekarang jadi kelihatan lebih gemesin, menarik, dan sexy.”
“Jangan membual! Semua orang sepakat bahwa menarik itu identik dengan tubuh langsing.”
“Itu hanya kesepakatan kalian para wanita. Bagi pria, mereka lebih suka mendekap wanita yang sedikit berisi,” jawab Sam sambil meremas bokong Ludy. Namun, dengan cepat Ludy menepis dan menggeser posisi duduknya menjauh dari Sam.
“Tahu Meghan Trainor? Let’s Marvin Gaye and get it on,” senandung Sam menirukan lagu yang pernah dinyanyikan oleh wanita cantik bertubuh gempal. “Apa ada yang nggak setuju kalau Meghan itu nggak menarik?"
Ludy diam. Ia sama sekali tak berhasrat berdebat dengan Sam.
“Dia punya lemak yang luar biasa. Para lemak itu tahu di mana seharusnya mereka berada,” tambah Sam sambil mengarahkan tangannya ke dada Ludy, tapi dengan cepat ditangkis sebelum berhasil menyentuh apa yang diinginkannya.
“Oke, aku nggak masalahin lagi berat badan. Sekarang, beritahu aku syarat ketiganya.”
“Diet.”
“Apa?”
“Iya, diet. Syarat ketiga adalah diet.”
Ludy mengatupkan kedua rahangnya dengan kuat, berusaha menstabilkan napas yang dangkal karena marah. “Kamu, mainin aku? Kamu sengaja minta aku nambah berat badan, lalu nyuruh aku diet?”
“A–”
“Kalau kamu sengaja ngelakuin ini hanya untuk kepuasanmu semata ... kamu egois!” seru Ludy sambil menudingkan telunjuknya kepada Sam.
Setelahnya, dengan langkah cepat ia bergegas pergi meninggalkannya.
Seperti normalnya pria, Sam pun mengejar dan menghentikannya. Namun, Ludy yang memang sudah terlanjur marah itu pun mengabaikannya. Hingga, Sam terpaksa menggendongnya untuk membawanya kembali ke ruang makan.
Rontaan Ludy membuat Sam menyerah. Ia pun melepaskan gendongannya. “Gila! Kau jauh lebih berat daripada masalahku,” kata Sam sambil terengah-engah. “Ayo, kita turunin sedikit lagi. Kasihan orang-orang yang bakal ngangkat peti matimu ke pemakaman nanti.”
Ludy menghela napas kembali. Ia tidak punya sesuatu yang bisa dikatakan. Ia tidak punya alasan untuk membantah alasan konyol itu. Baginya, percuma berdebat dengan Sam. Pada akhirnya, ia tetap harus mengalah. Ia butuh kunci, sementara Sam hanya butuh mainan. Dirinya menyerah, Sam bisa cepat dapat ganti.
“Aku bakalan temenin kau diet.”
“Kamu sudah kurus, buat apa diet?”
“Karena aku nggak ingin kau sendirian.”
Ludy tidak menjawab. Ia lebih memilih diam daripada menanggapi perkataan Sam yang akan terus bersambung dengan gombalan yang lain lagi. Sementara di mata Sam, sikap tenangnya merupakan bentuk persetujuan.
“Kalau gitu, sekarang kita susun rencana diet. Pertama, kita hitung kebutuhan kalori minimal yang kau butuhkan perhari. Kau kan dokter, jadi itu tugasmu. Sementara aku, akan nyusun kegiatan yang akan kita lakukan.”
“Aku bukan ahli gizi.”
“Tapi seenggaknya kau ngerti.”
“Nggak perlu pakai teori. Tinggal kita kurangi makanan nanti kurus sendiri. Syukur-syukur kalau bisa sampai mati.”
“Iya, itu kalau kau mau menderita berminggu-minggu dengan tubuh gemetaran. Dan juga, aku ini pebisnis. Aku nggak akan melakukan sesuatu dengan coba-coba. Harus ada rencana yang matang, baru dilaksanakan.”
“Oke, untuk kalori, aku akan makan nasi putih ditambah telur rebus. Masalah kalori ... clear!”
Sam mengeryitkan dahi, “Nggak bisa gitu. Komposisinya kurang. Nggak sehat itu. Bikin muka kusut dan jelek.”
“Buat apa sehat dan cantik, toh sebentar lagi juga mati. Saat jadi bangkai juga bakal jelek sendiri.”
“Mati urusan belakangan. Demi kesehatan mataku, selama kau masih muncul di hadapanku, kau harus cantik."
"Maksudmu, sekarang aku jelek?"
“Lupakan. Sini, biar aku aja yang ngitung. Berapa beratmu sekarang?” tanya Sam sambil mengambil selembar tisu makan lalu menarik bolpoin dari kemeja yang ia pakai sejak kemarin.
Dengan kesal, akhirnya Ludy menjawab, “Enam tiga.”
“Oke, tinggi 166 cm dengan berat badan 63 kilo, artinya kau harus menurunkan berat badanmu minimal empat kilo.
“Kebutuhan kalori harianmu kalau begitu 655,1 + (9,6 x 63) + (1,9 x 166) – (4,7 x 24) = 1.462,5.”
“Lalu dikali 1,55. Jadi, kalori yang kau butuhkan perhari kurang lebih sekitar 2.267.
“Jadi, untuk diet ekstrim pengurangan satu kilo per minggu, seenggaknya kau harus konsumsi kalori perhari 1.300. Ah tidak, 1.500 saja biar kau nggak sampai mengalami starvation mode.
“Lalu kita buat rancangan menu supaya semua kebutuhan makronutrien dan mikronutrien terpenuhi. Tiga kali makan utama masing-masing 400 kalori, dua kali selingan masing-masing 150 kalori.
“Jadi, untuk sarapan pagi, karbohidratnya pakai nasi 100 gram, sama dengan 175 kalori. Proteinnya ayam kecil plus tempe goreng jadi 150 kalori. Sayur sawi 30 kalori, dan sepotong apel merah 90 kalori.
“Kok kebanyakan, ya? Tapi nggak apa-apalah, sip! Nanti yang dikurangin porsi makan malamnya.
“Lalu, untuk makanan selingannya ...,” Sam menghentikan perkataaan sekaligus aktivitasnya saat menyadari Ludy yang melongo kepadanya sedari tadi. “Apa?”
“Kamu ... sejak kapan belajar ilmu gizi?”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top