1 - Give up
Jantung itu hebat. Ia berdetak terus tanpa istirahat.
~Priskilla Ludysvheni~
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆
Lagu subeme la radio menghentak saat Sam memasuki ruangan yang sudah lama tidak disambanginya. Permainan musik oleh seorang disc jockey mampu menghipnotis semua tamu untuk mengangguk-anggukkan kepala, seolah tak ingin melepas pengakuan bahwa manusia dibalik mesin itu pastilah seorang profesional. Ia mampu menciptakan irama untuk membangkitkan semangat siapa pun yang mendengarnya.
Sam melangkahkan kaki menuju counter dan berhenti di depan bartender langganannya. Ia tersenyum sekilas sebelum akhirnya duduk di kursi setinggi pinggangnya itu.
“Lama nggak kelihatan, Bos,” sapa bartender berbadan kurus sambil sibuk meracik berbagai jenis minuman dan menuangnya ke dalam gelas martini.
“Ya,” jawab Sam setengah berteriak. “Rame ya.”
Bartender itu tersenyum mengiyakan, lalu bertanya, “Seperti biasa?”
Sam mengangguk sambil mengacungkan jempolnya. Memang, suara musik yang kencang luar biasa membuat manusia didalamnya seolah tuli. Namun, untuk orang yang malas berteriak, gerakan tubuh bisa menjadi solusi.
“Sial*n! Lu pikir gue mabuk?”
Suara yang lumayan familier menggoda Sam untuk mengalihkan perhatian. Seorang gadis muda bergaun setengah terbuka sedang berteriak pada seorang waitress yang mengantarkan bir untuknya.
Ludy, wanita berusia 24 tahun yang baru pertama kali merasakan bir menuding pegawai berseragam putih hitam itu menipunya.
“Gue nggak mabuk, Anj*ng! Gue minta bir, yang bisa bikin orang mabok! Bukan minuman pahit kayak ini!” teriak Ludy kencang mencoba mengalahkan suara alunan musik.
“Lu nipu gue, ya?” tambah Ludy sambil menodongkan botol kosong kepada waitress di depannya. Berkali-kali ia memindah-mindahkan posisi kaki untuk menyeimbangkan tubuh yang mulai sempoyongan. Stilletto tujuh cm seolah mempersulit usahanya. Beberapa kali ia terjatuh hingga akhirnya terpaksa melepas sandal tingginya itu.
“Mbak sudah mabuk!”
“Gue belum mabuk, Gobl*k! Nih, gue masih bisa minum,” jawab Ludy sambil mengambil segelas penuh bir lalu meneguknya hingga tak bersisa. Lidahnya seolah sudah bisa menyesuaikan dengan rasa pahit minuman beralkohol itu.
Waitress itu menggeleng. “Tunggu sebentar, kami akan menghubungi nomor telepon keluarga yang Mbak tinggalkan.”
“Bangs*t!" maki Ludy. "Gue nggak punya keluarga! Gue sendirian,” imbuhnya sambil marah dan menangis dalam waktu yang bersamaan. Meski begitu, tidak ada air mata yang keluar dari sudut indra penglihatnya itu.
“Gadis gila.”
Ludy menoleh ke arah sumber suara. Seorang wanita tengah berbisik dengan sesamanya.
“Ngomong apa, Lu?” tanya Ludy sambil menatap tajam, membuat keduanya terdiam. “Lu yang gila!” teriak Ludy sambil menjambak rambut mereka, membuat keduanya menjerit sambil menyumpah satu sama lain.
Dua orang satpam bergegas datang ke lokasi keributan, memisahkan keduanya.
“Dia sama gue, Pak,” kata seorang pria paruh baya sambil menggandeng perut Ludy.
Ludy mendelik ke arahnya. “Dasar tua bangka! Lu siapa? Nggak usah ngaku-ngaku. Gue kagak kenal.”
Alih-alih marah, pria berkepala botak itu justru tersenyum penuh gairah. Ludy yang merasakan tatapan menjijikkan itu bergegas melayangkan botol kosong yang sedari tadi ia pegang ke kepala yang menurutnya mirip lampu taman.
Ludy tertawa kencang saat pecahan botol itu berhamburan jatuh ke lantai. Kedua satpam bergegas memegang lengan Ludy sambil menyeretnya keluar bar. Meski begitu, ia masih sempat berteriak, “Ternyata lampu taman lebih kuat daripada botol. Nggak pecah, bahkan nggak berdarah.”
Sam mengeryitkan dahi. Ia tidak ingin mempercayai bahwa orang yang dilihatnya itu adalah Ludy. Orang yang kegiatan setiap harinya adalah belajar, makan, dan tidur. Orang yang tempat favoritnya adalah kampus dan perpus. Orang yang selalu tersenyum dan berkata lembut. Orang yang membenci pakaian ketat dan terbuka. Serta, orang yang pernah dipacarinya 3 tahun yang lalu, yang ia putuskan demi lari dari rasa bersalahnya.
Ah sudahlah. Dia Ludy atau bukan, itu bukan urusanku! Kalau sudah putus ya sudah. Nggak ada alasan untuk saling peduli lagi.
Sam meminum cocktail di hadapannya dalam sekali teguk. Ia ingin melupakan kejadian yang baru saja ia lihat. Namun tidak bisa. Perubahan drastis Ludy membuatnya tidak bisa berdiam diri. Ia memutar badan, dan melihat gadis itu tengah beradu mulut dengan dua satpam yang meminta gelang identitasnya. Itu adalah gelang yang didapat sebagai tiket untuk masuk, dan harus dilepas saat meninggalkan bar. Namun, Ludy yang memang tidak dalam kondisi sadar sepenuhnya merasa security itu ingin mencuri perhiasannya.
Pria berkepala botak yang sebelumnya terkena pukulan botol itu berjalan menyusul Ludy dengan senyum mencurigakan. Sam tidak bisa mengabaikannya. Ia merasa, mungkin inilah satu-satunya kesempatan ia menebus rasa bersalahnya karena menyakiti Ludy beberapa tahun yang lalu. Ia harus melindunginya.
Sam bangkit berdiri dan menghentikan langkah pria itu sebelum berhasil menyusul Ludy. Ia mendekatkan bibir ke telinganya.
“Dia milikku,” kata Sam sambil berlalu.
Pria itu tersenyum sinis, lalu berbalik kembali ke mejanya. Ia lebih memilih melepaskan wanita yang menurutnya murahan, daripada terlibat pertengkaran dengan sesama pebisnis yang cukup berpengaruh. Sebagai seorang pengusaha yang sukses, Sam memang sangat disegani oleh sesamanya.
Ludy berjalan tertatih, menyeimbangkan tubuhnya agar tidak terjatuh. Tas slempang kecilnya ikut bergerak menyesuaikan raga yang sempoyongan. Sesekali rantai tas itu bertubrukan dengan pagar pembatas jembatan, menimbulkan suara dentangan menyaingi suara mobil yang berlalu lalang.
Kondisi Ludy yang tengah mabuk membuatnya tidak sadar bahwa dirinya sedang dibuntuti Sam beberapa langkah di belakang. Sam sendiri, ia memang sengaja tidak menyapa Ludy. Tujuannya saat ini hanya satu. Memastikan wanita itu sampai di rumah dengan selamat. Setelah itu, ia akan pergi, dan tidak akan datang ke bar itu supaya tidak bertemu dengannya lagi.
Ludy mengarahkan stilletto yang dibawanya ke udara, menunjuk bulan yang bersinar sempurna.
“Hei, bulan! Siapa yang menyuruh lu bercahaya? Mau ngehina gue, ya?”
Sam melirik jam yang melingkar di tangan kanannya. Sudah jam satu dini hari. Sejujurnya, ia ingin membungkam mulut Ludy agar tidak berteriak lagi. Tapi ia urungkan. Ia tidak boleh menampakkan diri dan membuat Ludy menyadari keberadaannya.
“Lu juga, oksigen! Kenapa lu tega ndekatin gue, masuk ke kehidupan gue, lalu beberapa menit kemudian keluar lagi sambil menggandeng C di depan O-lu. Lu nggak setia! Lu tukang selingkuh!
“Apa lu nggak bisa bertahan sedikit lebih lama? Apa lu nggak kasian sama jantung yang harus terus-terusan berdetak karena lu?
“Kenapa lu tega?
“Kenapa semua tega?”
Tubuh Ludy terjatuh, terduduk di sisi jembatan. Salah satu sandalnya terlepas dari tangan dan menyatu dengan aliran sungai yang suara gemuruhnya tidak terdengar. Ketenangannya menunjukkan bahwa sungai itu mempunyai kedalaman yang lumayan.
Ludy melonggok ke dalam sungai, seraya berkata, “Hei, jantung, gue lelah. Lu gimana? Aku harap kita sama.”
Sebuah senyum melengkung di bibir Ludy. Ia kemudian merayap ke sisi jembatan, lalu bergumam, “Ayo, kita istirahat.”
Ludy menutup mata, lalu membiarkan tubuhnya melemas, terjatuh dari tempatnya berpijak.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top