Lima
"Kamu hanya bisa berdoa kepada Tuhan, semoga di balik semua kesusahan ada kebahagiaan."
____________________
Empat hari penderitaan telah berlalu, tinggal satu hari lagi untuk esok yang merasakan sebuah tekanan batin. Aku menghampiri kedua orang tuaku yang sedang menikmati teh dimalam hari.
Aku mengambil tempat diantara keduanya, lalu memeluk manja bunda dengan sangat erat. "Kenapa dek?" tanya ayah yang merasa terganggu karena aku terus menyenggol lengan ayah yang sedang meminum teh.
"Kesel," jawabku dengan manja.
Bagaimana tidak kesal, jika kamu memiliki kedua kakak yang tidak bisa membantuku, jangan membantu mengajak bicara saja tidak, lebih parahnya lagi, keduanya setiap dipanggil pasti hanya menjawab 'Hemm' atau hanya melirik saja.
Kesal hamba memiliki kakak yang sama-sama orang penting di kampus. Mau nanya untuk tugas jawabnya. "Itu tugas kamu."
"Kerjain sendiri."
Kan makanya nanya juga, tidak bisa mengerjakanya. "Udah 4 hari Dava, Kenan enggak mau ngomong sama adek."
Sentilan dari bunda terasa begitu nyelekit, aku hanya bisa meringis setelah sadar jika memanggil kedua kakakku dengan nama tidak ada embel-embel. "Mereka punya alasan sayang, kan ada bunda sama ayah yang ngajak kamu ngobrol," ucap ayah yang mengusap punggung ku.
"Adek bukan cuma mau ngobrol doang bun, adek mau cerita kalau adek ginilah gitulah."
"Bunda mau tanya sama kamu, emang abang sama kakak bakal peduli sama cerita kamu?"
Aku menggeleng. "Nah, kamu tau sendirikan kalau kakak kamu itu suka dengerin cerita kamu tapi tanggapannya kamu tau sendiri apa, terus abang kamu, orangnya enggak pedulian sama cerita kamu emang setiap kamu cerita abang suka dengerin?"
Aku kembali menggeleng, jangankan mendengarkan baru mengatakan 'Bang adek mau cerita' pasti Kenan sudah tertidur lelap. Cara menolak dengan halus kata ayah.
Tak lama suara pintu terbuka, menampilkan mahluk yang sedang dibicarakan. "Bang," panggil ku.
Kenan sepertinya harus benar-benar dibawa ke THT. Kenan terus berjalan bahkan hanya menyalami ayah dan bunda saja, dan seperti tidak menganggap ku ada, padahal jelas-jelas aku ada di ketiak bunda.
Setelah Kenan masuk kamar, pintu kembali terbuka dan kali ini Dava dengan wajah lelahnya. Aku melakukan hal yang sama memanggil kakakku, tapi tetap tidak ada respon, postif thinking aja dulu mungkin keduanya kemasukan angin saat diperjalanan jadi telinganya memiliki gangguan.
"Bun liatkan?" rengekku.
"Tidur aja dek, jangan dipikirin. Besok hari terakhir kamu kan? Ayo semangat ayah enggak sabar liat adek ngerengek minta temenin ayah buat ikut bergadang nemenin adek kerjain tugas. Biar kaya abang sama kakak kamu, awal-awal minta ayah buat ikut nemenin."
Aku bahagia memiliki ayah semanis ini. Aku mencium pipi ayah lalu pipi bunda dan pamit pergi tidur.
***
Hari ini benar-benar menjadi hari paling berat. Ketika nama orang lain yang tidak dipanggil mereka pergi ke lantai atas entah di gedung sebelah mana, sedangkan nama yang dipanggil diam ditempat lalu mengikuti instruksi yang diperintah kakak tingkat yang ada disana.
Kami diam, lalu aku mengangkat tangan untuk bertanya. "Izin bertanya kak."
Mereka hanya menganggukan kepala mereka saja. "Saya ingin bertanya, itu Muara yang mana ya kak? Soalnya nama Maura ada 3 kak."
Mereka berbisik-bisik lalu bertanya nama kepanjangan Maura- Maura yang lain.
"Izin menjawab kak, Saya Maura anindia," ucap salah satu yang berkumpul bersamanya.
"Saya Maura Amelia Putri."
"Saya Maura Putri Anastasia Mahendra," semuanya yang berada disana terdiam saat mendengar namaku, apa ada yang salah?
Ah, bodoh. Kenapa aku baru ingat, nama belakang ku kan nama keramat. Pasti mereka tahu siapa aku sekarang, mati aja kamu Maura.
Mereka menatapku aneh, lalu berbisi-bisik. Please ya kakak-kakak, Selena Gomes enggak suka di bisik-bisik kaya gitu.
"Kalian ikut Kak Aldi, kecuali kamu Maura Putri."
Apalagi ini, kenapa aku dikurung sendirian disini, abang kakak tolong adik cantikmu ini, aku di lihat pedofil ganteng enggak kuat dede bang.
Setelah yang lain pergi. Aku hanya di tatap intens oleh yang lain lalu tak lama Dava datang dengan atribut lengkapnya, mengerut kening dalam.
"Ada apa?" tanya Dava.
Aku hanya bisa menunduk tak berani menatap. "Ini adik lo?" tanya seseorang disana.
Dava diam tidak menjawab seperti biasanya jika ia mengklaim adiknya. "Bukan," jawabnya dingin.
Menyesakan rasanya saat kakak sendiri tidak mengakui adiknya dihadapan teman-temannya. Dan bodohnya aku, aku pernah mengatakan pada mereka jika aku berkuliah ditempat yang sama jangan terlalu mengakui bahwa aku adiknya. Tapi bukan seperti itu caranya.
"Ouh, soalnya nama belakang sama kaya nama lo juga sih," ucapnya bingung.
"Banyak nama yang mirip, terus itu semua adik gue gitu?"
"Iya enggak gitu juga Dav, bawa Maura keatas." Aku yang sedang di sidak sendirian harus mengikuti langkah kak Aldi ke lantai tiga dengan berlari keatas.
Setelah hampir sampai di tangga terakhir, aku mendengar suara teriakan dari setiap ruang kelas. Perasaannya sudah tidak enak.
Setelah mendekati ruangan dekat kamar mandi, Kak Aldi menyuruhku masuk dengan ucapan dinginnya. Setelah aku masuk ruangan, kalian tahu apa yang terjadi?
Mata mereka memerah menahan marah dan para maba memerah karena menahan tangis. Mereka menatapku berang. Mungkin sekarang aku sedang jadi mangsa mereka yang sedang kalut.
"Kenapa telat!" Teriakan itu menggema membuatku menunduk dan memejamkan mata dengan sangat rapat.
"Tadi ditahan di bawah sama Kak Aldi," ucapku membela.
"Ouh, sekarang nyalahin orang lain? IYA!"
Ini suara cewek kok gede banget ya, sabar Maura sabar, kamu sering di Bentak-bentak sama si Kenan.
Aku harus menghibur diri sendiri kalau begini caranya.
Aku di bawa ke barisan cewe yang menghadap belakang. Hanya ada tiga orang. Lalu yang aku tahu namanya, Melinda. Aku sempat melirik baju hima yang tertera namanya itu. Ia galak sumpah, galaknya nyaingin kegalakan ibu-ibu rebutin cogan ini.
"Kalian tahu salah kalian apa?!" tanyanya tegas. Kami hanya diam karena bingung mau jawab takut tidak jawab malah dikira sombong. "Ouh, maba sekarang sombong, enggak mau jawab, IYA!"
Kan bener, salah Baim apa. Aduh sakit hati Baim di giniin.
"Kamu lihat di depan!" Ka Melinda menunjukan papan tulis yang sudah ditempeli seperti chating kami di grup. Mampus ini namanya, untung tidak pernah ikut nimbrung. "Apa salah kalian?! Jawab!!"
Kak Melinda menunjuk kearahku, "jawab kamu," Suaranya sedikit melunak, mungkin kekurangan oksigen atau tenggorokannya kering.
Butuh aqua?
"Saya tidak memiliki salah kak," jawabku tenang. Karena Bang Kenan pernah berceramah kalau api jangan dibalas dengan api tapi harus air. Dan bodohnya aku malah memberi kayu bakar. Poor my life.
"Ouh, serasa sempurna ya sampai enggak punya salah. Hey kalian dengerin ini maba bilang di enggak punya salah, kasih tepuk tangan dong sama ini maba."
Salah lagi kan, apa ini sebabnya Raisa menciptakan lagu serba salah, terimakasih Kak Raisa, aku padamu.
"Bukan gitu kak, kalau yang didepan itu bukan aku, aku Maura Putri Anastasia bukan Maura AP di nama kontaknya." Belaku, ini memang bukan salah ku kan, makanya aku berani membela kalau ini memang salah aku ya aku tidak akan berkilah seperti sekarang ini.
Kak Melinda terdiam sesaat, mungkin dia malu salah sasaran. Lalu di lanjut ke teman sebelahku bahkan tidak menjawab hingga ia menangis dengan kencang karena terus-terusan dibentak. Karena sudah muak sepertinya Kak Melinda pergi meninggalkan kami bertiga hingga Kak Ilham datang dengan wajah tegasnya, tapi aku tahu jika Kak Ilham ini sedang bersandiwara. Bukankah mereka seperti itu untuk membuat kami tegas? Ah mungkin sebagian, tapi entahlah.
"Kamu kenapa?" tanya Kak Ilham lembut, tapi ini cewek disebelah tidak mengeluarkan suara sama sekali masih saja menangis dengan kencang.
Kak Ilham terus bertanya tapi tidak pernah di respon olehnya. "Saya tanya sekali lagi! Kamu kenapa?!" Suara nya mulai mengeras.
Ia kembali menangis dengan kencang hingga beberapa HIMA menghampiri kami. Kak Ilham melirik ku, "Dia kenapa?" Tanyanya yang kembali melembut.
Adudududu, jadi baper kan kalau diginiin. Ingat Maura kamu lagi ada di kandang Singa.
"Izin menjawab kak, dia nangis gara-gara di bentak," jawabku dengan pelan bahkan tak pernah melepaskan pandangan dari manik indah Kak Ilham yang sangat teduh itu.
Kan kan, baper lagi.
"Siapa yang bentak?" Masih dengan notasi yang tenang.
"Eum Kak Melinda kalau enggak salah," jawabku yang tak bisa berkedip melihat mata indah itu.
Subhanallah, nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan.
"Kamu nangis gara-gara dibentak aja!" Aku terperangah mendengar suara lain yang membentak, bukan Kak Ilham, entah siapa namanya yang jelas dia lebih menggoda dengan rambut tipis yang tumbuh di rahang tegasnya, pipi mulusnya bahkan dagu lancip nya.
Astaghfirullah, ini sih namanya cuci mata. Tidak apa, jika dimarahi dengan penyegar seperti ini. Hihihi.
Masih terdengar isakan dari sebelah. "Aku enggak pernah dibentak sama orang, kata mama, mama enggak mau nanti anaknya di bentak sama orang lain." Akhirnya dia menjawab ya walau tersedat-sedat karena menangis.
Kamu salah menjawab sayang, aduh kalau gini makin berang ini kakak brewok. Siap-siap tarik nafas lalu keluarkan.
"Cengeng, gitu aja nangis. Emang orang tua kamu emang enggak mau anaknya di bentak orang lain, tapi kalau gini itu artinya kamu enggak diajarkan tegas sama keluarga kamu!"
Kan benar, suaranya kembali menggelegar. "Terus kenapa kamu enggak ikutan nangis juga!"
Jleb
Itu mata natapnya benar-benar tajam, setajam tikungan yang keduluan sama selingkuhan. Dia menunjukku, aku hanya menunduk dan berdecak kesal dalam hatihati dan kumat-kamit ku pun bangkit.
"Ngapain nangis, udah biasa di bentak sama Abang Kenan jadi udah kebal, enggak ngaruh bentakan situ mon maap ya," batinku terus bergumam mengejek.
"Kenapa diam!"
"Saya tidak menangis karena saya... Saya...," Aduh bingung jawabnya takut salah lagi. "Saya...,"
"Enggak usah dilanjutin saya tahu kamu pasti sering di bentak kan!"
Aku membesarkan mataku, "Terlihat dari wajah kecut itu," tunjuk nya.
Mati lu mati, ya ampun salah deh Isyana puji-puji ini kakak tingkat, mana benar lagi. Makin kesal.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top