Dua

"Cinta pertama ku telah pergi dan digantikan dengan cinta pertamaku yang lain."

Aku terbangun setelah mendengar ketukan tak bersahabat dari luar, melirik jam dinding yang sudah menunjukan pukul 04:30 waktu setempat. Sebenarnya masih mengantuk namun apa daya saat mendengar ketukan lagi yang lebih keras dari sebelumnya.

Ya, aku tahu siapa pelaku pengetuk pintu dengan keji itu jika bukan Kenan pelaku satu-satunya.

Setelah aku mengatakan jika aku sudah terbangun, tak lama suara motor terdengar dari garasi dan suara itu menghilang dengan membawa manusia yang selalu membuatku harus lebih bersabar.

Aku berniat kembali tidur namun sebuah note beserta harnet yang berada di meja belajarku membuatku penasaran dengan tulisan yang digores oleh manusia kulkasku yang paling tampan itu.

Jangan tidur lagi!  Masuk paling telat jam 5. Kalau adek telat, abang enggak akan kenal adek disana!  Enggak akan bantuin adek kalau kena hukum!

Aku membuang nafas kasar. Oke, waktunya mandi lalu go away buat ketemu masa depan, huhuhu...

Setelah berpakaian rapi, aku keluar kamar dan melihat bunda sedang menyiapkan sarapan untukku. Aku mencium pipi bunda sebelum mengambil roti yang sudah diolesi selai coklat kesukaanku.

"Bun, kakak mana?" tanyaku saat tak melihat sosok kakak yang selalu ribut dimeja makan.

"Kak Dava enggak pulang." Aku terus mengunyah roti dan berpikir berarti abang rela pulang ninggalin kepentingan disana hanya buat ngasih harnet doang? Uwuuu sosweet nya abang aku itu, makin cinta deh.

Tanpa sadar aku tersenyum-senyum sendiri saat membayangkan Kenan yang lebih mementingkan adiknya dari pada apapun.

Kalau orang Korea sih bilang saranghae oppa.

"Kenapa kamu? Jangan aneh-aneh dulu ah, masih maba juga. Kalau udah semester akhir bunda maklumin kalau kaya gitu," ucap bunda.

Aku diam. Maksud bunda setres gitu? 

"Ih bundaaa...  Aku enggak setres kok bun, aku tuh kaya gini gara-gara abang."

"Abang kamu ngapain emang?"

"Bang Kenan itu sweet banget bun." Aku menempelkan kedua telapak tanganku di pipi dengan mata terpejam dan bibir yang kembali tersenyum.

"Abang emang gitu, suka bikin baper anak orang tapi enggak pernah mau tanggung jawab kalau udah banyak korban kena kebaperan abang kamu."

"Pantesan aja setiap ke kondangan ngajaknya adek terus, biar pada enggak deketin abang."

Ayah datang dari arah kamar mengajakku untuk berangkat, aku pergi bersama ayah. Ayah ku ini bukan ayah kandungku, ayahku sudah meninggal saat aku masih berusia 6 bulan, yang baru bisa menggulingkan badan, tengkurap, memindahkan barang dari satu tempat ke tempat lain, dan duduk semakin baik. Itu yang aku tahu saat bayi baru berusia 6 bulan.

Bunda pernah bercerita saat itu aku sangat aktif aku selalu mengatakan 'Yah' aku sering main bersama ayah dan itu yang sering aku dengar setiap bunda menceritakan ku dengan ayah. Aku juga tahu dari cerita bunda jika ayah meninggal saat ayah bertugas di negara orang. Ayahku seorang dokter yang sedang menjadi relawan di Pakistan, ayah meninggal jatuh dari pesawat saat mereka akan pulang ke Indonesia. Dan aku sering memanggil nama ayah yang membuat bunda selalu menangis saat melihatku yang masih kecil saat itu.

Aku merindukan ayah.

Aku tersenyum ke arah ayahku saat ini. "Ayo yah, adek enggak mau terlambat nanti abang enggak mau bantu adek lagi." Aku berjalan mendahului ayah yang selalu tersenyum kepadaku sangat manis. Ayah sangat mencintaiku seperti anaknya sendiri.

Setelah berada di dalam mobil. Aku selalu bercerita kepada ayah tentang hal yang terjadi pada diriku akhir-akhir ini. "Ayah kapan nyampe?"

Ayah melirik ku sekilas, "Tadi jam 3."

Aku terkejut, ayah belum istirahat dan ayah langsung mengantarku.  Ayah memang cinta pertama ku. I love you ayah.

"Untuk seminggu kedepan ayah libur, dan ayah akan menjadi pilot untuk putri ayah yang cantik ini selama libur, apa tuan putri bersedia?"

Tentu saja aku bersedia, siapa sih yang tidak ingin bersama ayah, ayah ku yang tampan ini akan menjadi kekasihku selama seminggu, seperti itulah yang sering bunda katakan jika ayah sedang tidak bertugas menerbangkan burung besar di langit.

Aku mengangguk dengan antusias membuat ayah tertawa. "Putri ayah benar-benar sudah besar sekarang," ucapnya dengan mengelus rambutku.

Selama ini aku tidak pernah bertanya kepada ayah kenapa tidak ingin memiliki anak dari bunda, selama ini aku terlalu takut untuk memiliki adik kembali, takut kasih sayang bunda kepadaku berkurang dan bunda tidak akan memperhatikanku lagi jika aku memiliki adik kembali. Tapi itu pemikiran ku saat aku masih kecil, pemikiran bodoh yang pernah terjadi di kepalaku. Saat ini aku harus bertanya kepada ayah alasan ayah tidak memiliki anak dari bunda dan ayah juga bukan seorang duda yang meninggalkan seorang anak, ayah hanya seorang duda yang ditinggal istri yang memilih pria lain karena sama suaminya sering tidak ada dirumah.

"Ayah...," Panggilku pelan. Ayah hanya bergumam menjawab panggilan ku. Aku menghembuskan nafasku dengan keras. Aku harus berani bertanya. "Ayah, kenapa ayah tidak memiliki anak dari bunda? Apa ayah tidak ingin keturunan? Adek pernah dengar kalau seorang lelaki akan sempurna jika mereka memiliki istri dan juga anak, tapi... Ayah... Ayah tidak."

Aku menunduk, tidak menduga dengan apa yang baru saja aku ucapkan, dengan apa yang aku pertanyaankan, dengan apa yang akan aku dengar sebuah jawaban yang mungkin akan membuatku sakit hati dan kecewa mendengar jawaban tersebut. Apalagi ayah cukup lama terdiam untuk menjawab pertanyaanku, yang mungkin lebih rumit untuk mendapatkan sebuah jawaban yang tepat.

"Adek, ayah bahagia memiliki adek, abang, juga kakak. Ayah memang menginginkan sebuah keturunan ayah sendiri. Tapi ayah tahu, umur bunda bukan lagi umur untuk bisa melahirkan seorang anak lagi, ayah juga jarang dirumah. Ayah bahagia, kalian anak ayah, kalian keturunan ayah, jangan pernah menganggap ayah sebagai orang lain dihati kalian, ayah akan selalu menjaga dan melindungi kalian. Kalian anak ayah selalu menjadi anak ayah."

Aku menangis mendengar jawaban ayah yang selalu menjadi penenang, aku memeluk ayah dari samping dan membuat kaus yang dipakainya basah karena tangisanku. Aku benar-benar mengagumi sosok pria yang menjadi ayahku ini, bunda dimana dirimu menemukan sosok pria yang begitu aku cintai ini bunda, aku ingin tahu bagaimana cara bunda mendapatkan ayah siapa tahu aku bisa mendapatkan jodoh yang seperti ayah ini bunda.

***

Selamat hari ayah buat kemarin dan sampai kapanpun ayah selalu berada dihati para anak-anaknya.

Ayah Abraham Irfan Arsenio.

Bunda Naura Ratnasari.

Maura Putri Anastasia Mahendra.

Kenan Putra Mahendra.

Madava Mahendra.

Sekian dari Dada. Tolong vote komennya jangan lupa ya hihiw...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top