02. Gray

•Author POV•


"Ngeselin ya lo jadi cowok!"

"Iya, gue tahu."

"Najis banget Nata mau deket sama lo!"

"Ya terserah Nata dong."

"Gue juga sebagai sahabat Nata nggak rela dia deket sama lo!"

"Dih, kemarin aja lo sok-sok an deketin kita."

"Ya itukan kemarin, sekarang beda lagi!"

Nata yang baru turun ke ruang tamu pun menggeleng-gelengkan kepalanya, dari semenjak ia bersiap-siap hingga selesai ternyata 2 anak berbeda jenis kelamin yang duduk berjauhan itu masih berdebat. Heran sekali Nata ini, kenapa 2 anak itu terkadang bisa akur dan terkadang juga mendebatkan masalah kecil.

"Belum selesai juga acara debatnya?" Tanya Nata seraya duduk di sofa tengah.

"Belom! Salahin tuh cowok lo yang nggak tahu diri! Udah tahu lo lagi nikmatin liburan sama gue eh malah mau ngajak lo pergi!" Bentak Zoey tak terima masih dengan menatap lelaki disebrang nya tajam.

"Loh? Justru gue ini bener dengan ngajak Nata jalan-jalan, karena kalo di rumah terus sama lo bisa-bisa dia tertekan karena harus punya temen kayak lo!" Balas Septihan tak mau kalah.

"Apa maksud lo?! Emangnya gue temen kayak gimana hah?!"

"Lo tuh.."

Perdebatan pun kembali berlangsung dengan Nata yang melamun, ada dua kata yang tiba-tiba membuat tubuh Nata diam membeku.

'Cowok lo.'

Kata itu terus terngiang di kepalanya, entah Zoey sadar mengatakan hal itu atau tidak lalu apakah Septihan juga menyadarinya atau tidak. Yang pasti hati Nata berdebar tak beraturan hanya 2 kata itu.

"Udahlah terserah lo, yang penting gue mau ajak cewek gue jalan-jalan dulu wleee." Ucap Septihan seraya menarik lengan Nata untuk keluar dari rumah tersebut. Meninggalkan Zoey yang mencak-mencak tak terima, karena rencana girl time nya bersama Nata harus rusak karena lelaki yang meledeknya dengan menjulurkan lidahnya itu.

Setelah 'Cowok lo' kini ada kalimat yang lebih mematikan, 'Cewek gue' yang membuat pikiran Nata benar-benar berhenti berfungsi. Apa maksudnya ini? Apakah Tuhan sedang ingin mempermainkan nya pagi-pagi begini? Pikir Nata dengan kepala yang mendadak kosong.

Dengan tawa yang masih tersisa Septihan pun menaiki motor sport nya yang terparkir di depan rumah Nata, ia memasang helm seraya tersenyum kepada Nata yang masih diam.

"Untung kamu─" Ucapan Septihan terhenti setelah sadar bahwa Nata tengah melamun. Septihan menarik lengan Nata agar lebih dekat dengannya, lalu ia mendekatkan wajahnya memastikan Nata baik-baik saja.

"Nata, kamu gak apa-apa?" Tanya Septihan khawatir dengan intens memandang wajah Nata.

"Nata? Nat─"

Nata tersadar dari lamunannya, "Eh iya kenapa?" Tetapi setelahnya ia langsung melotot dengan kepala refleks mundur ke belakang.

Kenapa wajahnya dengan wajah Septihan bisa sedekat itu?! Sialan, masih pagi ia sudah di suruh senam jantung.

Septihan terkekeh melihat tingkah Nata yang menggemaskan, "Kamu kenapa ngelamun gitu? Nggak jadi jalan-jalan hm?"

Nata langsung menggelengkan kepalanya kuat, "Nggak! Jalan-jalan nya jadi kok, aku barusan cuman tiba-tiba kepikiran aja gitu kenapa Paus hidupnya di laut, kenapa nggak di darat terus terbang gitu." Ucap Nata tidak sadar dengan apa yang ia bicarakan, hingga melihat Septihan yang menatapnya tak percaya membuat Nata mengulang dalam hati apa yang tadi ia bicarakan. Hingga Nata membulatkan matanya setelah menyadarinya apa yang ia bicarakan.

"Ehh?" Gumam Nata.

Hingga di detik berikutnya tawa Septihan pecah bersamaan dengan wajah Nata yang memerah seperti tomat. Nata menunduk malu, kenapa harus hal se random itu yang ada di kepalanya sih?!

Tetapi mendengar Septihan yang masih tertawa membuat Nata mendongak dan menatap kagum Septihan yang terlihat berkali-kali lipat lebih tampan daripada biasanya, hanya karena senyum manis dan tawa merdu yang yang lelaki itu miliki namun jarang ia tunjukan. Tetapi kali ini, tepat didepan mata Nata sendiri. Ia melihat orang yang ia kagumi tertawa lepas karena hal random yang ia ucapkan, Nata merasa ada kupu-kupu berterbangan di perutnya.

"Nata Nata, aku hahaha aku beneran gak nyangka sama isi kepala kamu. Kenapa bisa se random itu sih? Gemesin banget, bikin gue pengen karungin lo aja." Ucap Septihan seraya mencubit kedua pipi chubby Nata dengan gemas.

Nata tersenyum malu dengan wajah yang masih memerah.

'It's okay, karungin aku aja Gray.'

Ingin sekali Nata mengucapkan hal itu><.

***

Setelah sarapan bersama di Cafe samping sekolah, Septihan pun membawa Nata ke tujuan utamanya mengajak Nata jalan-jalan. Orchid Forest Cikole. Seharusnya Septihan mengajak Nata ke sana setelah UTS selesai, bukannya satu bulan sebelum UTS. Tapi ya sudahlah, Healing dulu lalu Stress bukanlah masalah besar ─bagi Nata. Karena bagi Septihan saat ini adalah saat yang tepat untuk healing agar stressnya hilang, meski ia harus berbohong bahwa tujuan utamanya adalah memang untuk mengajak Nata jalan-jalan ─padahal ia memiliki tujuan lain.

Dari jam 10 hingga jam 3 sore keduanya menghabiskan waktu berdua di sana, menikmati pemandangan indah serta udara sejuk yang membuat keduanya lupa waktu. Tetapi jika bisa, Nata ingin sekali tinggal di sana selamanya apalagi ditemani lelaki tampan seperti disebelahnya ini. Yang semakin Nata sukai karena ternyata Septihan memang se kalem itu, benar-benar tipe Nata. Cuek tetapi peka, tidak dingin tetapi tidak terlalu banyak bicara, memiliki banyak kesukaan yang sama, dan tipe lelaki yang kelihatannya Greenflag ─entah jika aslinya bagaimana.

Septihan yang tengah berbaring seraya memejamkan matanya dengan Nata yang berada di sebelahnya dan melakukan hal yang sama, lelaki itu tiba-tiba membuka mata dan melotot kaget ketika ia mengingat sesuatu.

"Astaghfirullah!" Teriak Septihan seraya bangun dari rebahan nya. Nata yang mendengar teriakan tersebut pun ikut terbangun dan menatap Septihan bingung.

"Ada apa?" Tanya Nata khawatir karena melihat ekspresi ketakutan Septihan.

Septihan menatap Nata horor, "Kita lupa sholat dzuhur."

Mendengar ucapan Septihan membuat Nata kepala Nata lagi-lagi blank, kenapa hal sepenting itu bisa ia lupakan?

"Kalo gitu kita sholat dulu." Ucap Nata seraya berdiri tiba-tiba membuat Septihan yang masih blank menatapnya terkejut.

"Sholat dimana?"

Nata mendengus kesal, "Kenapa tiba-tiba mendadak lemot sih? Ya di mesjid lah, cari yang di deket sini aja biar sekalian pulang." Ucap Nata seraya mengambil tas dan handphonenya.

"Oh yaudah ayo." Ucap Septihan setelah berdiri dari duduknya lalu berjalan ke arah mereka datang tadi.

"Eh eh, ini handphone sama kunci motornya ketinggalan." Ucap Nata seraya menahan lengan Septihan.

"Oh iya, lupa." Septihan buru-buru mengambil handphone dan kunci motornya yang masih tergeletak di tempat duduk mereka tadi.

Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, keduanya pun pergi dari tempat tersebut ke masjid yang tak terlalu jauh dan dekat dengan tempat makan. Sekalian ingin makan malam sebelum pulang ke rumah.

"Udah? Gak mau nambah?" Tanya Septihan begitu melihat piring Nata telah kosong seperti miliknya 15 menit yang lalu, setelah habis Septihan pun tak menambah makanannya tetapi hanya melihat-lihat sekitar serta sesekali melirik ke arah Nata yang fokus makan.

"Nggak, ini aja udah kenyang banget." Tolak Nata jujur, perutnya memang sudah tidak bisa diisi lagi.

"Istirahat dulu ya? Biar makanannya ke cerna dulu." Ucap Septihan yang langsung diangguki oleh Nata.

Keduanya kini duduk bersebelahan di warung penjual nasi goreng pinggir jalan, makan malam nasi goreng dengan segelas teh hangat. Sebenarnya Septihan sudah menawarkan makan di Cafe dekat sana yang lumayan rame, tetapi Nata menolaknya dan menyarankan makan di tempat pinggir jalan saja dengan alasan karena ingin menghirup udara segar. Padahal aslinya Nata tak enak pada Septihan. Sarapan dan tiket masuk ke Orchid Forest Cikole sudah lelaki itu bayarkan, lalu Cafe yang Septihan rekomendasikan itu juga lumayan terkenal dan Nata tahu bahwa makanan-minuman di sana mahal-mahal. Dan makan di warung pinggir jalan seperti ini justru lebih enak dan leluasa, juga lebih hemat dompet hehe.

"Kamu enggak ngerokok?" Tanya Nata pada Septihan yang hanya diam seraya menatap beberapa pengendara yang lewat seperti dirinya.

Septihan menoleh dan membalas tatapan Nata, tetapi itu hanya beberapa detik karena setelahnya ia kembali menatap ke depan sana. "Ngerokok, cuman sekarang lagi enggak."

Nata terdiam sejenak, ia tahu Septihan pasti merokok tetapi kenapa ia merasa sesak saat bukan jawaban itu yang ingin ia dengar. "Kenapa?"

Septihan kembali menoleh, kali ini ia menjawab seraya tersenyum juga membalas tatapan teduh Nata. "Karena aku lagi sama kamu."

"Hah?" Ucapan Septihan membuat Nata menatapnya tak mengerti. Tolong jangan berkata ambigu seperti itu, itu hanya akan membuat Nata menaruh terlalu banyak harapan pada lelaki di sampingnya ini.

"Aku ngerokok cuman pas lagi stress atau capek aja, jarang banget aku ngerokok." Ucap Septihan menjelaskannya.

"Ooh." Gumam Nata.

Septihan mengecek jam tangannya, disana tertera pukul 20.32. Sialan ternyata sudah selarut ini, jika begini keduanya pasti akan pulang ke rumah sekitar pukul 9 atau setengah sepuluh.

"Mau pulang sekarang?" Tanya Septihan pada Nata.

"Aku sih ayo-ayo aja." Jawab Nata membuat Septihan langsung berdiri dari duduknya dan berjalan menuju pemilik warung tersebut.

"Pak, nasi goreng sama teh nya jadi berapa?" Tanya Septihan menanyakan berapa yang harus ia bayarkan.

"Semuanya jadi 40 ribu, den." Balas penjual nasi goreng tersebut.

"Ini uangnya, sisanya ambil aja, Pak." Septihan mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu lalu memberikan sisanya kepada penjual nasi goreng tersebut.

"Eh gimana atuh ini teh? Makasih banyak ya den." Tanya bapak tersebut tak enak tetapi setelahnya ia berterima kasih.

"Iya pak, sama-sama." Balas Septihan lalu kembali ke tempat dimana Nata sudah menunggunya.

"Ayo." Ajak Septihan seraya mengambil kunci motornya yang tersimpan di kursi yang tadi ia tempati.

"Nasi gorengnya jadi berapa? Ini─" Ucapan Nata langsung dipotong oleh Septihan.

"Gak usah. Udah aku bayar."

"Tapi─"

Septihan menghela nafasnya, "Nata, aku yang ajak kamu jalan-jalan. Jadi aku juga yang bertanggung jawab buat semuanya."

Nata mengerucutkan bibirnya sebal, tahu begini ia lebih baik tidak makan saja daripada tidak enak pada Septihan yang terus mentraktirnya. Karena Nata tahu, Septihan bukanlah anak dari keluarga berada tetapi juga bukan dari keluarga yang susah atau miskin. Kondisi keluarga Septihan sama seperti keluarga Nata, kedua orang tuanya sibuk bekerja di luar kota. Mengabari setiap hari tetapi pulangnya hanya satu bulan sekali, uang jajan yang dikirimkan selalu pas-pasan. Hingga terkadang Nata meminta uang lebih kepada Juna yang kuliah sambil bekerja, sedangkan Septihan.. Setahu Nata lelaki itu bekerja paruh waktu di Minimarket dekat apartemen tempat tinggalnya bersama adik-adiknya, setiap hari senin sampai rabu sepulang sekolah. Lalu terkadang Septihan juga mendapatkan uang dari hasilnya bersama teman-temannya ikut turnamen basket antar sekolah.

"Anginnya dingin banget, kamu pake hoodie aku ya?" Septihan menawarkan hoodie nya untuk Nata karena ini sudah malam dan udara semakin dingin, Septihan yang akan membuka hoodie nya tiba-tiba dikejutkan dengan teriakan Nata.

"Nggak! Nggak usah, kamu pake aja sendiri!" Teriak Nata seraya menahan tangan Septihan yang akan membuka hoodie nya, Nata memang sudah merasa kedinginan tetapi Nata tahu jika dibalik hoodie yang di pakai Septihan pasti lelaki itu hanya mengenakan kaos lengan pendek.

"Kok ngegas? Hehe yaudah awas kalo nanti pas dateng ke rumah malah sakit." Ucap Septihan seraya membenarkan hoodie yang tadi akan ia buka.

"Iya iyaaaa, heran ih kok tiba-tiba jadi banyak ngomong gini?" Tanya Nata membuat Septihan mengernyitkan dahinya bingung.

"Emangnya biasanya enggak?"

"Pas awal-awal ketemu sih emang kayak gini, tapi lama-lama kamu jadi gak banyak ngomong." Balas Nata jujur.

Septihan terdiam mendengar ucapan Nata, apakah selama ini gadis itu tidak nyaman dengan kepribadiannya yang lebih mendominasi introvert? Apakah selama ini Septihan tidak sadar bahwa dirinya tidak banyak bicara dan apakah itu membuat Nata merasa canggung jika bersamanya? Sialan, padahal Septihan tahu bahwa Nata sangat membenci kecanggungan.

"Tapi lo gak apa-apa, kan?" Pertanyaan Septihan dibalas lagi oleh pertanyaan, karena Nata tak mengerti dengan apa yang Septihan maksud.

"Gak apa-apa kenapa?"

"Maksudnya sama kepribadian gue yang kadang tiba-tiba berubah gitu, lo.. Nggak nyaman ya?" Tanya Septihan pelan.

"Kenapa ngomong gitu? Aku nggak kenapa-napa loh sama kepribadian kamu gimana pun itu, sebenernya justru aku seneng karena kamu gak se banyak bicara Harsa juga gak se irit Melvin."

Ucapan Nata membuat Septihan tertegun. Ia sendiri yang terkadang tidak nyaman dengan perubahan suasana hati yang tiba-tiba itu, tapi sekarang ada yang mengerti dan tidak terganggu dengan hal itu. Meski belum lama kenal dan belum saling kenal lebih dalam, tetapi Nata sepertinya telah terbiasa dengan suasana hati Septihan yang selalu berubah tiba-tiba. Entah mengapa, Septihan merasa beruntung karena mempunyai teman yang peka seperti Nata.

"Makasih. Ucapan lo sederhana tapi.. Berhasil bikin gue tersentuh."

"Hm!" Gumam Nata seraya tersenyum manis dan mengangguk semangat.

Tepat pukul 09 malam Nata dan Septihan masih belum pulang ke rumah, keduanya baru saja memasuki daerah perumahan Nata. Jalan-jalan menggunakan motor seharian ini ternyata membuat pinggang Nata hampir patah karena joknya lebih tinggi daripada jok Septihan, lalu ia juga terpaksa harus memeluk Septihan dengan membungkuk karena jika tidak ia bisa saja terjatuh ke belakang. Untungnya Nata mengenakan celana panjang, jadi tidak susah untuk naik motor.

Nata mengeratkan pelukannya pada pinggang Septihan, bukan ingin mencari kesempatan dalam kesempitan tetapi karena seperti yang Septihan bilang tadi ─Nata kedinginan. Tetapi di belakang sana gadis itu malah tersenyum-senyum tipis seraya mengamati lambat punggung lebar Septihan yang menjadi sandaran nya. Hal ini bukanlah pertama kalinya bagi Nata, ia sering memeluk Septihan seperti ini saat pulang sekolah bersama atau saat akan menemani lelaki itu latihan basket di hari minggu. Tetapi hari ini rasanya berbeda dan Nata tak tahu apa yang membedakannya, pokoknya ia sangat senang hari ini.

Selain karena jalan-jalan tadi, hoodie yang di pakai Septihan pun menjadi alasannya bahagia. Hoodie abu-abu itulah yang menjadi alasannya menjuluki Septihan ─Gray. Hoodie yang membuat Nata dengan mudah menemukan Septihan jika keduanya tengah janjian bertemu di tempat umum, juga karena hoodie itu yang paling sering Septihan pakai.





















─Bersambung..

Sorry ya mungkin kalian bingung sama bahasanya Grayyy, jadi dia itu kadang lo-gue kadang juga aku-kamu kalo sama Nata. Dia sebenernya belum terbiasa bilang aku-kamu, tapi karena Nata ngomongnya gitu jadi dia ngikutin. Nata juga gak pernah sadar kalo ucapan Gray berubah. 

261222

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top