[x > y]

Berbeda dengan sekolah yang lain, SMA Kemuning telah mengakhiri masa orientasi mereka. Semester pertama yang wajarnya dilakukan seminggu setelah penerimaan murid baru itu resmi dimulai hari ini. Tepat pukul 07.00 WIB, seluruh guru menyebar dan memasuki kelas masing-masing.

Anak-anak lantas berlari lintang pukang saat mars 'Harumlah Kemuning' menggema melalui speaker tata usaha. Rey yang berkutat dengan tali sepatu pun tak sengaja tertendang hingga tersungkur. Tersangkanya hanya melambaikan tangan dan membungkuk sekian detik.

Laki-laki itu masih membersihkan kerikil yang menempel di telapak tangannya. Celana yang baru ia pakai beberapa kali itu sedikit terkoyak pada bagian lutut. Lantai lorong menuju kelasnya cukup keras dan kasar.

Meski nyeri di kakinya belum reda, Rey tetap memaksa untuk segera sampai ke kelas. Namun, sialnya ia harus mengantre saat ingin memasuki ruangan. Semua berkat dua siswi yang berebut bangku dekat meja guru. Alhasil, jalan pun terhambat dan kelas berubah riuh.

Dengan santai Rey menerobos dan mengambil tempat duduk tepat di tengah kelas. Sistem satu anak per bangku membuatnya tak harus bercakap-cakap dengan siapa pun. Anak berambut klimis dengan model belah kanan itu memilih mengeluarkan buku paket dan membacanya dalam diam.

"Selamat pagi," sapa guru muda dengan baju casual dan ber-sneaker.

Dua gadis yang semula gaduh itu lantas diam dan duduk di tempat yang sama. Melihat pemandangan tersebut, laki-laki yang baru menyalakan monitor pun menghampiri tempat duduk mereka.

"Kalian ngapain pangku-pangkuan begitu?" tanyanya sambil terkikik.

"Saya duluan, Pak."

"Mana ada? Gue duluan, kok," protes siswi satunya.

"Sudah, sudah. Bapak punya solusinya."

Rey menutup buku saat guru barunya menuliskan soal pertidaksamaan nilai mutlak linear satu variabel pada papan tulis. Tentu ia tahu karena sejak tadi ia mempelajarinya.

"Siapa di antara kalian yang bisa menyelesaikan persoalan ini terlebih dulu, itulah pemilik bangku tersebut," ucapnya seraya menyerahkan spidol.

Secepat kilat, gadis berkucir kuda nan bersungut-sungut beranjak untuk menjawab pertanyaan itu dalam hitungan detik. Sontak tepuk tangan dan siulan pun mengisi ruangan.

"Bagus, jawabanmu benar. Kamu boleh duduk di sini dan untuk kamu, silakan duduk di bangku yang tersisa."

"Tapi mata saya minus, Pak."

Laki-laki yang bersandar pada meja itu hanya tersenyum lalu kembali mempersilakan siswinya untuk berbesar hati. Menang dan kalah tetaplah konsekuensi yang dijunjung oleh para kemuning.

"Ok, anak-anak, nama saya Geri. Mulai hari ini kalian akan belajar matematika bersama saya. Untuk materi pertama seperti yang tertulis di papan, yaitu tentang …."

Rey menoleh, mencari bangku kosong yang dimaksud Pak Geri. Namun, hanya dua kursi di barisan belakang yang tersisa. Ia pun menahan tangan siswi tadi yang kebetulan melintas di samping kirinya.

"Hei, tunggu!" lirih Rey.

"Ada apa?"

"Lo duduk di sini aja."

"Tapi--"

"Setidaknya di sini lebih baik daripada di belakang. Gue gak apa-apa, kok."

Gadis berkacamata bulat itu mengangguk senang. "Makasih, ya."

Rey mengemasi barang-barangnya dan pindah ke belakang. Tak sedikit yang menatapnya dengan alis yang bertaut.

Ia tak bergeming, mencoba tak acuh dengan berbagai decak dan seringai remeh. Rey hanya mengambil napas dalam-dalam dan menggeleng pelan guna mengusir prasangka buruk.

Materi pertama tidaklah sulit. Matematika merupakan objek favorit Rey. Baginya, bergulat dengan angka jauh lebih menyenangkan dibanding berlarian di lapangan dan berlagak sok cool sambil tebar pesona.

"Kamu, yang duduk paling belakang!" seru Pak Geri seraya menunjuk.

Rey menoleh ke kanan dan kiri. "Saya, Pak?"

"Iya, selesaikan soal ini."

Tanpa ragu, anak yang menyeret kaki kanannya itu maju dan mengambil alih spidol kelas. Tak perlu waktu yang lama, bahkan lebih cepat dari gadis sebelumnya, Rey menjawab dua soal sekaligus dengan tepat. Ia tersenyum tipis saat Pak Geri juga melakukan hal yang sama kepadanya.

"Keren, cara menghitungmu lebih cepat dari dia," tunjuk guru tersebut pada siswi di dekatnya. "Saya dengar, kamu adiknya Ari, ya? Mantan ketua OSIS tahun kemarin."

Rey tertegun. Ia sejenak lupa kalau Ari pernah menjabat posisi berkelas itu. Ragu, ia tetap mengiakan.

"Gak heran kalau kamu pintar. Kakakmu salah satu siswa berprestasi di sini. Bu Ani patut berbangga memiliki dua putra emas seperti kalian."

Kalimat yang terdengar memuji itu tak membuat Rey merasa tersanjung. Sebaliknya, ia hanya menyunggingkan senyum dan kembali duduk tanpa balasan apa pun.

Sampai istirahat berdentang, Rey tetap mengunci mulut dan enggan melakukan apa-apa. Perasaannya begitu buruk sampai ia tak tahu lagi harus bagaimana. Anak itu pun keluar kelas dan berniat membeli susu cokelat di kantin.

"Rey! Rey!"

Suara yang tak asing semakin mendekat. Rona yang menekuk itu perlahan membaik saat Rama tergopoh-gopoh menghampirinya. Kawan pertama yang ia miliki itu langsung merangkul pundak Rey.

"Mau ke kantin? Ayo!"

Rama terlebih dulu berjalan sebelum Rey mengucap sepatah kata pun. Kedua anak itu kian bersemangat dan mempercepat langkah.

Satu hal yang Rey sayangkan adalah ia tidak sekelas dengan Rama. Kalau saja Dewi Fortuna menyukainya, mereka pasti terus menempel ke mana pun itu. Kini, hanya istirahat siang dan jam pulang sekolah yang bisa mempertemukan mereka.

"Lo pesen apa?" tanya Rama.

"Susu cokelat gak pake es."

"Ok."

Rey menunggu di salah satu meja kantin. Pandangannya tak beralih pada tiga siswa yang juga mencuri perhatian saat MOS kemarin. Namun, kali ini mereka tidak bermain ponsel, melainkan seorang siswa yang terus menunduk. Ketiga anak itu secara bergantian menyuapinya tanpa jeda.

"Lo ngeliatin apaan?" ucap Rama tiba-tiba sambil membawa dua gelas minuman.

Rey yang masih mengusap dada berdecak kesal. "Ngagetin aja lo, Ram."

Sang empunya nama pun terkikik dan turut menoleh. Matanya terbelalak saat mendapati Rey mengawasi anak-anak Fanstrio.

"Lo ngapain melototi mereka begitu? Nih, minum susu dulu."

Sadar akan perbuatannya, Rey memalingkan wajah dan meneguk susu hangat yang ia pesan. Meski demikian, anak itu tetap mencuri pandang saat Rama tak menyadarinya.

"Denger-denger, Doni sekelas sama lo, ya?"

"Doni?"

"Iya,"--Rama menoleh sekilas--"yang rambutnya agak pirang."

Rey menggeleng, "Gue gak liat dia."

"Ngelayap kali. Tadi Luis sama Sam juga telat masuknya. Sial banget bisa sekelas sama mereka."

"Itu nama dua anak di sebelahnya?"

Rama mengangguk. "Pokoknya yang agak ganteng itu Sam. Luis yang pake kacamata. Kalau bisa, lo jangan main-main sama mereka, ya."

"Emang kenapa?" Rey masih penasaran. Ia mendekatkan tempat duduknya agar bisa mendengar dengan jelas.

"Pokoknya gak usah."

"Yah, Ram, yang jelas dikit."

"Dari tampang aja udah gak layak buat didekatin Rey, kenapa masih nanya alasan, sih?"

"Tapi … gue penasaran."

Rama pun mendengkus. Ia hanya bisa menggeleng saat Rey kembali mengamati aksi ketiga siswa yang menarik mata tersebut.

Setelah menghabiskan semangkuk bakmi, Doni dan kawan-kawannya bergantian menjejalkan snack seribuan yang berserakan di meja. Tawa mereka yang begitu renyah sangat menyayat hati Rey. Laki-laki itu refleks bangkit sampai menggetarkan meja.

Sontak kegaduhan itu membuat Doni menoleh. Tatapannya sungguh tajam kala beradu dengan milik Rey. Ia bahkan menyeringai hingga menggetarkan dan menanarkan setiap orang yang memperhatikan.

Rama lekas menarik tangan Rey dan memintanya untuk duduk. Perlahan, anak itu luruh dan menundukkan pandangan. Sampai akhirnya hanya tawa di meja seberang yang menguasai seisi kantin.

Day 4
6 Januari 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top