[x = ?]

Rey menyisipkan markah buku berlogo kemuning pada halaman terakhir yang ia baca. Anak itu beranjak untuk mencari referensi yang penulis sebutkan. Ia segera mendongak dan mengamati satu per satu label pada sisi samping rak.

Ada belasan kategori yang harus Rey amati. Setelah sampai di jajaran ilmu politik, mata dan tangannya tak segera menemukan buku yang tepat. Terlalu banyak variasi bacaan yang belum pernah ia temui sebelumnya.

"Nyari apa?"

Tersentak, Rey pun menoleh dan tersenyum tipis. " 'The End of History and Last Man'."

Anak yang tak lebih tinggi dari Rey itu tertawa sambil menutup mulut. Ia lalu mengusap rambut dan berkacak pinggang.

"Berat juga selera lo. Sini, ikut gue."

Tanpa merasa curiga, Rey mengikuti langkah siswa tersebut. Kalau dilihat dari lencana di kerah seragam, mereka sama-sama anak baru di sekolah ini.

Sepanjang perjalanan, pandangan Rey kerap salah fokus pada kakak kelasnya. Dari ujung rambut sampai mata kaki, hanya kata rapi yang berbicara. Mungkin, lalat bisa terpleset kala mampir ke seragam yang mereka kenakan.

Tak hanya itu, perangkat yang dipakai pun bikin geleng-geleng. Seumur-umur, Rey hanya pernah melihat berbagai macam gawai itu di video unboxing. Ia pun menelan ludah.

"Nah, lo bisa nyari di sini."

Suara di depannya membuat Rey terkesiap. Ia sontak mengusap dada dan wajah, lalu mendekati komputer yang menunjukkan suatu laman.

"Lo bisa ketika nama penulis atau judul bukunya, nanti ada keterangan jenis rak dan nomor urutnya."

Anak berkulit pucat itu menepuk jidatnya sampai memerah. Mengapa ia tak memikirkan hal ini sedari tadi? Padahal sekilas Rey telah melihatnya saat memasuki ruangan.

Merasa terbantu, ia pun berterima kasih, "Thanks, ya."

"Santai aja, gue Rama."

Uluran tangan dari lawan bicara itu sungguh menggiurkan. Namun, Rey malah menggigit bibir dan tersenyum bodoh. Perlahan, ia menyambut sapaan tersebut.

"Rey."

"Kalau gitu lo cari bukunya dulu, deh. Gue tunggu di dekat TV, ya."

Belum sempat mengiakan, anak yang juga kurus--seperti Rey--itu beranjak menuju tempat yang ia maksud. Rey hanya melirik dan kembali fokus pada tujuan awalnya.

Setelah mendapatkan buku yang ia mau, Rey berjalan menuju ruang tengah perpustakaan. Ia kian mempercepat langkah saat melihat Rama tengah menyilangkan kaki sembari menonton berita pagi.

Laki-laki itu pun duduk pada salah satu sofa yang didampingi sebuah meja kaca. Berbagai majalah mulai dari olahraga sampai tata boga tertata rapi di atasnya.

"Lo anak baru, kan?" Bukan Rey, melainkan Rama-lah yang bersuara.

"Iya, lo juga, kan?"

Anak itu mengangguk, "He'em, siapa link lo? Kalau gue, kebetulan masih saudaraan sama ketua MOS, meski agak jauh, sih."

"Link?" tanya Rey dengan kening berkerut.

"Iya, semacam orang berpengaruh begitulah. Gak semua anak kelas sepuluh bisa bolos MOS begini, kan?"

Rey membenarkan. Ia sempat heran mengapa izin tersebut bisa dikantongi semudah ini. Namun apa daya, ia terlalu ogah atau mungkin termakan gengsi untuk mempertanyakannya.

"Tadi kakak gue yang ngizinin." Rey mencoba jujur, meski lidahnya kelu tak keruan.

"Kakak lo panitia atau anak OSIS?"

Mata Rey berkedip konstan. Alisnya bertaut sebelum menggeleng pelan. "Gue gak tau, kayaknya sih bukan. Dia udah kelas 12."

"Ooh gitu."

Setelah mengangguk, tidak ada pembahasan yang menimpali lagi. Rey terpaku pada santapan barunya dan Rama pun tak mengalihkan pandang dari kasus banjir ibu kota.

Paling tidak, bersyukurlah pada berita harian yang tersiar dari televisi. Karena tanpanya, ruangan seluas lapangan basket ini tak kalah sepi dari rumah kosong. Khususnya di ujung area yang dihuni empat pasang pemain catur. Sungguh senyap.

"Untung lo ke sini pagi-pagi begini, jadi masih bisa leluasa. Karena kalau pas istirahat siang, bakal penuh banget. Kantin aja kalah," ucap Rama tiba-tiba.

Rey memicingkan mata. Laki-laki di sampingnya ini terlalu banyak bicara. "Dari mana lo tau?"

"Pernah ke sini pas liburan, ya sama saudara jauh gue itu."

"Hari libur tetap buka?"

Rama terkikik pelan. "Ya bukalah, sekolah ini mana pernah libur selibur-liburnya. Mau dikasih tanggal merah juga anak-anaknya pada masuk."

Dahi Rey semakin berkerut. "Kok gitu?"

Rama menurunkan kakinya. Laki-laki itu segera menyentuh wajah Rey dan mengarahkannya pada kumpulan kakak kelas yang tengah membaca buku dan mengerjakan tugas.

"Gue gak kudu jelasin apa-apa, kan? Gue percaya, kok, kalau lo tuh pinter."

Sekejap Rey mengedarkan pandang, lalu menyingkirkan tangan Rama dan memukul kepala anak itu menggunakan buku. "Semena-mena."

"Sori, sori, kata saudara gue begitu. Cuma menyalurkan informasi. Katanya lagi, nih, anak SMA ini jarang temenan."

"Iya?"

"He'em, tapi gue gak mau kayak gitu."

"Gue juga," jawab Rey tulus.

Kedua laki-laki sebaya itu terkekeh berkat percakapan klise nan menggelikan. Mereka semakin menempel sampai di aula pun masih setia bersanding. Berkali-kali Rama berbisik dan berbagi rumor dari saudara jauhnya tersebut. Rey yang tak tahu apa-apa hanya bisa mengangguk dan berpura-pura antusias.

Orientasi sekolah yang diadakan hanya satu hari itu ditutup dengan pengenalan pembelajaran dan program penunjang. Sambil membawa dua berkas berisi daftar ekstrakurikuler, Rey dan Rama keluar aula dan berniat menuju sekretariat Karya Ilmiah Remaja sebelum gerbang sekolah dibuka.

Namun, kedua mata Rey lebih berminat pada tiga murid yang ada di gazebo dekat ruang guru. Keseruan mereka terdengar sampai lantai dua dan menggugah daya tariknya. Anak itu pun terpaku.

"Lo ngeliat apa sih, Rey?"

Rama turut melongok, mengikuti arah pandang kawan barunya tersebut. "Oh, anak-anak Fanstrio."

"Fans--apa?"

"Fanstrio. Mereka bertiga anak game lulusan SMP Kemuning. Kenapa? Lo minat yang begituan?"

Rey menggeleng kuat, "Enggak, kok. Penasaran doang."

"Wajar, sih. Gue juga gitu. Kata saudara gue lagi nih, mereka satu-satunya anak baru yang bisa masuk sekolah ini via non akademik. Keren, ya?"

"Iya, keren."

Rey tak lagi bertanya, atau lebih tepatnya ia memang tak pernah melakukan hal itu. Rama terlalu peka untuk menuturkan segala hal yang ingin ia ketahui. Namun, kali ini Rey benar-benar tak ingin melanjutkan pembahasan.

Baru sepuluh menit memandang, matanya bertemu dengan salah satu dari ketiga anak tersebut. Ia segera berpaling dan menarik tangan Rama agar segera berlalu. Hitam pekat yang ternanar itu cukup untuk mengusirnya.

"Kok ke sini? Gak jadi ke sekret?" heran Rama saat Rey menyeretnya menuju kantin.

Anak yang belum terlalu hafal dengan rute sekolahnya itu menggaruk tengkuk. "Sori, lo aja deh yang di depan."

Senyum dan mata Rama lantas datar. Ia mengentak kesal lalu membenahi kerah seragam yang tak seberapa kusut. Langkahnya sangat cepat sebelum diberhentikan oleh dua laki-laki bertubuh tinggi.

Rey yang mengikutinya di belakang sontak berhenti dan mendongak. Matanya membola kala kakak tirinya menatap lekat sambil membawa segelas es teh.

"Udah selesai, Rey?" tanya Ari.

Rama menoleh dan mendorong tubuh temannya agar berdiri di depan. Rey pun mendengkus dan menatap sinis.

Setelah pinggangnya beberapa kali ditusuk menggunakan jari telunjuk, Rey pun bersuara, "Udah kok, Bang. Ini mau ke sekretariat KIR buat daftar ekskul."

Ari pun tersenyum. "Ok, ntar kalau kelar jangan ke mana-mana, ya. Langsung chat gue aja. Ayah bilang ada yang ingin diomongin, jadi jangan telat pulang."

Meski desir di hati Rey belum bisa diartikan, anak itu tetap mengangguk patuh. "Rey jalan dulu, Bang."

Secepat kilat kedua anak baru itu enyah dari lorong kantin. Kaki Rey tak mampu melambat, terlebih saat kalimat Ari menari di dalam memori. Rama yang berjalan di belakangnya hanya bisa melongo tanpa berani menyela.

Sampai tiba di sekretariat KIR pun, Rey tidak berbasa-basi untuk mengisi formulir pendaftaran. Rama masih menggaruk kepala dan menggeleng saat melihatnya.

Mungkin memang ini yang ia mau.

Day 2
2 Januari 2021

Alhamdulillah setelah dikasih milkita, si bocil gak main HP lagi, Bun 😅

Kenalan dulu sama Rama, yuk!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top