[Un - U (n-1) = b]
Angka merah pada kalender mengizinkan siapa pun untuk bermalas-malasan. Begitu pula dengan Rey yang masih mengejap-ngejapkan mata. Meski tanpa perawatan khusus, nyeri pada area perut dan linu di sekitar betisnya mulai mereda. Anak itu lekas mengedarkan pandang dan mendapati diri telah terbaring di kasur kamarnya.
"Apa semalam Ayah yang bawa ke sini, ya?" gumamnya.
Rey mengangkat tangan dan menjadikannya sebagai bantal. Ia memandangi langit-langit kamar seraya menghela napas panjang. Lekat, benaknya lantas berlarian ke mana-mana.
Apa yang Galis katakan kembali terlintas. Kalimat bahwa ia akan mengembalikan Rey ke desa terus terngiang-ngiang.
Jauh di dalam relungnya, Rey tidak perlu menunggu masalah untuk kembali ke pelukan kakek dan nenek. Toh, tidak ada alasan manis untuk menetap di bawah atap ini. Namun, jangankan pulang, menelepon saja Rey tak sanggup. Sekadar berkeluh atau bertukar kabar pun tak ia lakukan. Ia takut, detik pertama suara kakek-nenek terdengar, ia akan lari dan mengingkari hati untuk berdiam di sini.
Lama termenung, anak itu sedikit tersentak saat Ari membuka pintu kamar mandi. Rey pun menoleh dan segera bangkit. Ia duduk bersandar sambil memandangi kakak tirinya.
Laki-laki itu berjalan menuju balkon lalu menjemur handuk. Tanpa sepatah kata pun, ia kemudian mengambil topi dari kapstok dan keluar kamar. Rey yang melihatnya hanya bisa menggigit bibir.
Sejak kejadian tak menyenangkan nan berkelanjutan itu, Ari belum membuka suara. Tidur di ranjang yang sama tak membuatnya sudi untuk menyelesaikan kesalahpahaman. Ia memilih membiarkan hening malam menjadi sekat di antara mereka.
Rey pun tidak tahu harus berbuat apa. Setiap ingin mengucapkan sesuatu, lidahnya kelu dan gagu. Seakan tak ingin diacuhkan kesekian kali.
Gue bakal percaya, Rey. Asal ada bukti kalau lo … gak bersalah.
Kata-kata itu tiba-tiba melintas. Tubuh Rey sampai terperanjat hingga kepalanya membentur tembok. Ia pun mengaduh dan mengusap-usapnya.
Bulu kuduk anak itu meremang. Hawanya kian memanas, berbanding terbalik dengan tubuhnya yang membeku. Rey bergeming, mengingat setiap inci kalimat Ari, juga situasi yang ia alami beberapa hari yang lalu.
"Loker."
Kedua mata cokelat itu memejam, mengernyit, lalu mencari memori lain yang terabaikan. Rey lantas memukul-mukul pelipisnya, berharap dapat memperlancar daya ingat. Namun, yang ada hanya mendatangkan pening.
"Kertas itu …."
Benar, lembar-lembar yang menuduhnya itu masih di sana. Akan tetapi, apa yang berbeda? Mengapa semuanya terasa janggal?
"Gak mungkin …."
Rey tentu ingat. Hal yang membuatnya lari tanpa memperjelas apa pun adalah angka-angka serupa yang tertoreh pada lembar tersebut. Ada tiga kertas yang memuat isi yang sama. Hanya warna cetakan dan tata letaknya saja yang berbeda. Namun, tepat saat Ari mengembalikannya ke loker, ada beberapa kertas lain yang teronggok dan belum Rey sentuh hingga kini.
Anak itu menggigit jari. Napasnya memberat kala deretan angka nol dan satu melintasi ingatan. Meski buram dan berbayang, ia cukup tersiksa sampai mencengkeram seprai.
Rey segera melompat dari kasur dan mengambil ponsel, dompet, serta jaketnya. Persetan dengan mandi, sarapan, dan rutinitas pagi apa pun itu, ia hanya ingin pergi untuk memastikan sesuatu. Bahkan ia tidak berpamitan pada ayah maupun ibu tirinya.
Dengan bantuan ojek daring, ia sampai ke sekolah tanpa tersasar. Seperti biasa, SMA Kemuning tetap terbuka meski tengah hari libur. Hanya saja, kelas-kelas tampak kosong sebab para siswanya sibuk memenuhi perpustakaan, lapangan basket, ruang kesekretariatan, dan lain-lain.
Tanpa rasa takut, Rey meminta bantuan satpam untuk membukakan kelasnya. Dengan jujur ia mengatakan ingin mengambil barang yang tertinggal di loker. Laki-laki paruh baya yang mengantarnya pun setia menunggu di depan pintu.
"Ketemu belum, Dek? Mau Bapak bantu?"
"Sebentar, Pak."
Anak itu mengambil napas dalam-dalam. Tangannya masih gemetaran, sebab jauh dalam benak tak ingin berurusan dengan sumber masalah ini. Namun, Rey harus mau. Tidak ada pilihan lain. Walau belum tentu benar, setidaknya ia telah mencoba.
Perlahan, Rey pun membukanya. Kertas yang berserakan di atas buku paket dan catatan kecil itu lantas mengoyak hati. Jantungnya berdegup tak keruan saat memori nan kabur itu kian jelas dan menguat. Ia pun mengambil kertas-kertas tersebut dan memasukkan ke saku jaket.
"Sudah, Pak," ucap Rey menghampiri satpam yang berjongkok di ambang pintu. "Makasih, ya."
"Sudah ketemu? Alhamdulillah, saya kunci ya, Nak."
"Iya, Pak. Saya permisi dulu. Sekali lagi terima kasih."
Setelah membungkuk berulang kali, Rey meninggalkan kelasnya dan melanjutkan langkah menuju atap. Membawa mala petaka ini ke rumah bukan keputusan yang tepat. Ia harus memecahkannya terlebih dulu sebelum melibatkan orang lain.
Syukurlah, tidak ada seorang pun yang ada di sini. Rey bisa leluasa menata kertas-kertas tersebut dan mengamatinya lamat-lamat. Lantas fokusnya beralih pada satu-satunya kertas yang memuat angka nol.
"Binari, ya."
Rey mengeluarkan ponsel dan membuka catatan. Ia menerjemahkan tiap delapan digit angka itu menjadi satu huruf lalu melanjutkannya sampai angka terakhir. Kode ini tidaklah rumit. Kurang dari dua menit ia telah membabat habis.
Namun, bukannya senang, Rey justru menelan ludah dan mencengkeram celana. Keningnya berkerut hingga keringat dingin memenuhi kening. Apa yang ia duga tidak sepenuhnya meleset. Namun, ia tak menyangka akan serumit ini.
Memang benar. Setuntas apa pun masalah yang dihadapi, ia pasti akan meninggalkan jejak dan memulai hidup baru. Tetap dengan hal-hal yang jauh lebih berselok-belok. Bab-bab yang kala diselami itu hanya akan menenggelamkan.
¶
Galis tak hentinya mondar-mandir sambil melipat tangan di depan dada. Sesekali ia mengentak-entakkan kaki lalu kembali menatap jam dinding. Jarum tersebut terus berputar, tetapi anak yang dinanti belum juga pulang.
Senja hampir lenyap dan berganti malam. Hujan deras yang diiringi kilatan juga tidak mau kalah. Tak satu pun kendaraan yang berani berlalu lalang di jalan raya depan rumahnya.
"Ke mana perginya anak itu?" gerutu laki-laki tersebut.
Sepulang dari olahraga pagi bersama sang istri, tak ada seorang pun yang menyambutnya. Rumah benar-benar kosong tanpa pesan apa pun, tetapi setidaknya Ari telah sampai di rumah sejak asar, berbeda dengan Rey.
Anak itu tidak dapat dihubungi. Pesan yang dikirim hanya meninggalkan jejak centang satu dan telepon biasa pun hanya menyatakan bahwa nomor yang dituju sedang tidak aktif. Entah sengaja dimatikan, entah kehabisan baterai, tidak ada yang tahu.
Galis dilanda panik. Ia sampai menggigit bibir dan mengacak rambut. Besar hasratnya untuk menerjang hujan lalu mencari putranya, tetapi sama saja konyol karena tak memiliki secuil pun petunjuk. Hatinya gusar sebab tidak ada yang bisa ia hubungi dan Rey belum terlalu hafal daerah sini.
"Mau Ari cariin, Yah?"
Laki-laki berkaus kotak-kotak itu menggeleng, "Jangan, Bang. Hujan deras banget. Ayah gak mau kamu sakit."
"Tapi--"
Suara gerbang yang terbuka lekas memotong kalimat tersebut. Dengan cepat Ani mengambil payung dan berlari menghampiri sosok yang menggigil dengan badan basah kuyup. Galis yang berdiri di ambang pintu itu turut mengikuti istrinya meski tak sampai meninggalkan atap.
"Kamu dari mana, sih, Rey?" tanya Ani sambil mendekap anak itu. Tubuhnya sungguh dingin dan bergetar.
Ari yang tergopoh-gopoh dari kamar mandi langsung menyerahkan handuk pada Galis agar laki-laki itu memberikannya pada Rey. Ia mengambil alih sang anak dan menuntunnya ke sofa.
Dengan telaten Galis mengeringkan rambut, wajah, dan badan Rey. Ia mengusap anak itu berulang kali tanpa jeda. Ari yang termangu memilih 'tuk mengambil pakai baru, sedangkan Ani bergegas menyiapkan teh hangat dan makan malam.
"Kamu dari mana? Kenapa gak pamit? Ayah sama Ibu khawatir banget. Kalau terjadi apa-apa gimana?"
Anak yang menatap kosong itu hanya berkedip dan mencoba menarik napas dengan teratur. Sayang, angin malam terlalu mendera hingga buku-buku jarinya kaku nan memutih.
Warna pandang Rey tak lagi jelas. Hijau agak kebiru-biruan. Pening yang menusuk-nusuk kian menjadi-jadi dan menguasai kepala. Lelah, bayangan hitam lantas menutup matanya dan ia pun jatuh ke pelukan sang ayah.
"Rey!"
Day 15
19 Januari 2021
Tinggal 5 bab aja rasanya berat banget 🤧
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top