[Pernah]
Langkah kaki pemilik sepatu hitam bertali putih itu menyusuri lorong dengan kepala tertunduk. Kali ini, ia tak mengedarkan pandangan untuk melihat kegiatan sekitar yang tak pernah berganti. Rey hanya mendengkus dan berdecak seraya menggenggam tali ransel kuat-kuat.
Mars telah berkumandang sejak dua menit yang lalu. Salah satu alasan yang mempercepat jalannya. Namun, tepat di depan pintu, ia termangu dan menelan ludah.
Anak itu menatap lantai lamat-lamat. Kosong. Ia pun mendongak. Masih kosong. Tidak ada hal-hal aneh seperti beberapa waktu lalu. Haruskah ia bersyukur? batin Rey.
Sadar dengan sorot mata yang menatap tajam, ia lekas masuk dan bergegas menuju tempat duduknya. Berhari-hari absen tak membuat Rey rindu akan tempat ini. Paling tidak, bangku dan laci langganan sampah itu tampak bersih. Hanya beberapa tangkai lili putih yang berserakan di bawah meja.
Belum juga ikut bersuara, nyanyian kebanggaan Kemuning itu telah habis. Rey pun duduk dan mengeluarkan buku-bukunya. Sebisa mungkin, ia tak melirik sosok di sisi kanan yang duduk menyilangkan kaki. Ia belum ingin bertemu dan beradu dengan tajamnya tatapan mata itu.
"Selamat pagi," sapa seorang guru berkemeja kotak-kotak.
Laki-laki berkacamata bulat tersebut lantas berjalan ke bangku belakang dan menghampiri Rey. Setumpuk kertas berbeda label pun ia letakkan di meja anak itu tanpa basa-basi. Sang empunya bangku lekas mendongak dan mengerutkan kening.
"Saya dapat titipan dari guru mapel lain. Ini tugas-tugasmu selama tidak mengikuti pembelajaran kelas. Kerjakan dan kumpulkan sebelum guru mapel yang bersangkutan masuk. Kalau tidak, nilaimu kosong. Paham, Rey?" terangnya lalu menghela napas panjang.
Anak yang membalik halaman lembar kerja satu per satu itu mengernyit. Tidak hanya satu atau dua, melainkan lima pelajaran sekaligus yang disodorkan. Bukannya bertanya kabar atau apa pun itu, inilah yang ia terima semenit setelah mendudukkan diri di ruang kelas.
"Sebanyak ini, Pak?"
"Iya. Saat ini nilaimu tidak stabil. Jauh di belakang teman-teman yang lain. Jadi, jangan lupa diselesaikan, ya."
Salah memang bila Rey berekspektasi tinggi. Ketidakhadirannya bukanlah hal besar. Angka yang kian merosot tentu lebih disoroti, bukan? Tak heran kini segelintir siswa kelas menyeringai kala memandangnya.
Anak yang kerap dipanggil pertama kali saat pembagian hasil tes itu mencengkeram celana. Ia pun menunduk, menggigit bibir dengan napas terengah-engah. Bunga segar bercampur layu pun menyapanya, seolah berbicara tentang kini dan nanti.
Rey mendongak kemudian menoleh, menatap Doni yang mengangkat sudut bibirnya. Mata mereka pun saling berbicara. Hampir sepuluh menit berlalu dan hal itu belum juga usai. Tak ada yang menghindar. Tak ada yang mengalah. Tak ada yang mengakhiri.
Aktivitas keduanya dilerai oleh seruan guru yang menginginkan muridnya untuk membaca materi. Rey menelan ludah lalu menarik napas dalam-dalam. Ia pun mengusap wajah hingga rambut. Tenang, sabar, terus ia lantunkan agar gemuruh di hatinya tak menjadi-jadi.
Namun, tampaknya hanya ia yang menginginkan kedamaian ini. Saat istirahat siang, Doni dan kedua sahabatnya mendekati bangku Rey. Melihat hal tersebut, penghuni kelas pun berbondong-bondong mengosongkan ruangan.
Anak yang menaikkan dasi itu duduk di meja tanpa permisi, sedangkan dua orang di belakangnya tetap berdiri dan memakan kudapan. Sesekali mereka bertukar tawa, terlebih saat lelaki yang menatap sinis itu tak menyuarakan apa pun.
Rey berusaha menahan. Meski Doni telah meraih dan memainkan lembar kerjanya, ia masih bergeming. Memulai tak selamanya berbuah manis.
"Ok, fine," ucap Doni setelah sekian lama diacuhkan. Anak itu turun dari meja kemudian berbisik, "kalau lo gak mau main di sini, gue tunggu nanti sore di atap sekolah."
Hawa panas yang semula memenuhi dada sontak mengalir dan mengambil alih tubuh. Rey spontan mengepalkan tangan saat wajah Doni hanya berjarak satu jengkal darinya. Embusan napas lelaki itu membuatnya geram dan terbakar. Benaknya kian awut-awutan saat Luis dan Sam juga menyeringai dan menaikkan alis.
"Gue gak bakal mau main-main sama kalian lagi."
Jawaban penuh penekanan itu mendatangkan kekehan. Doni menggaruk kepalanya sebelum menyentuh bahu Rey dan mendorongnya hingga membentur kursi.
"Ok, kalau itu mau lo, apa yang lo cari di Gritama bakal gue bawa pulang lagi."
Rey terbelalak kaget. Refleks, ia menarik kerah Doni dan menatapnya nanar. "Apa maksud lo?"
Tak mau kalah, dengan gampang Doni menyingkirkan kedua tangan Rey lalu menghempaskan anak itu sampai hampir terjatuh. Ia tersenyum sinis sembari mengusap seragamnya.
Bosan dengan lakon yang dilihat, Luis dan Sam pun keluar kelas terlebih dulu. Doni lantas mengikuti mereka setelah mengucapkan, "Pulang sekolah. Di atap. Jangan lupa."
Setelah ketiganya hilang dari ambang pintu, Rey menggebrak meja hingga melukai jari-jarinya. Napas yang belum teratur itu kian tak keruan. Hatinya berkecamuk seolah terinjak-injak.
Namun, detik berikutnya ia luruh. Peluh berubah dingin, seiring dengan benak yang mulai lega. Rey tak ingin banyak berpikir. Semuanya sudah jelas. Anak-anak itu tak mungkin tahu perkara kemarin dengan sendirinya. Untuk sekali ini saja, ia akan kembali menjemput masalah.
Tepat setelah bel pulang sekolah, Rey memenuhi undangan Doni. Akan tetapi, atap sekolah itu tampak sepi tak bertuan. Sejauh mata memandang, hanya berbagai barang tak terpakailah yang terlihat. Suara pun hanya dari seruan siswa yang berada di bawah.
Anak itu bersandar pada dinding, menanti tanpa henti sampai menemukan jawaban. Hingga langit mulai meredup pun, ia masih tak bergeser dari tempat duduknya. Waktu kian mendekati pukul empat, tetapi yang ditunggu belum juga muncul.
"Sial," umpat Rey penat. Terik yang perlahan menghilang sempat membuat pandangannya menghijau.
Ia bangkit, membersihkan debu-debu yang menempel di celana dan baju bagian punggung. Belum sampai melangkah, tiga anak yang menenteng ransel itu berjalan santai sambil mengunyah permen karet. Rey pun mendengkus dan memalingkan wajah.
"Punya nyali juga lo ternyata."
"Gak usah basa-basi."
Doni berjalan ke tepi, sisi yang dekat halaman belakang sekolah. Ia tidak mau mengambil risiko bila masih berada di tengah atau bahkan bagian depan yang menampakkan lapangan basket. Meski mulai sepi, perhitungannya tetaplah matang.
Anak itu pun duduk di salah satu kursi dan mengangkat kaki. "Well, gue dapat kabar dari Pak Geri kalau lo ke Gritama dan mau nyuri laptop dia."
"Gue udah duga dan gue gak nyuri."
"Terus apa namanya? Nyolong ya nyolong," seru Sam yang masih sibuk berkaca sekaligus berjaga-jaga di dekat pintu masuk.
"Gue cuma--"
"Apa? Nyari tau siapa yang nyebarin gosip ibu tiri lo itu?" Doni lekas menyela. "Lo pikir Pak Geri yang bikin?"
Rey tertegun. Matanya bergerak liar, memandang Doni dan Luis bergantian. Anak itu menelan ludah dan mengepal kuat, menyalurkan amarah yang memenuhi relung.
"Gue yang bikin,"--Luis mendekati Doni dan mengeluarkan USB-nya--"kita memang tau info itu dari Pak Geri, tapi sisanya … dia gak ikut campur apa-apa."
"Maksud lo …."
Doni tertawa kencang. "Anak sok pinter kayak lo hanya bisa dibales sama anak pinter juga, Rey. Kudu dipertegas lagi, hah?"
"Lo!"
Rey spontan mendekat, berniat melayangkan kepalan tangan yang ia simpan sedari awal. Namun, dengan sigap Luis mendorong tubuhnya untuk menjauh. Doni pun naik ke pembatas dinding dan mengangkat flashdisk Luis tinggi-tinggi.
"Lo nyari ini, kan? File asli sebelum kita nge-print tulisan sampah itu? Ambil! Ambil kalau mau!"
"Don!"
Sam yang lelah merapikan rambut turut geram dengan aksi kawannya. Anak itu lantas mendekat saat Rey memberanikan diri untuk naik dan mencoba mengambil USB tersebut. Luis yang setia di bawah berulang kali menarik celana Doni agar lekas turun. Namun, anak itu tak mengindahkan sama sekali.
"Sini! Sini, Don!"
Rey berusaha menjaga langkah. Kakinya bergetar kala semilir angin ikut menggoyahkan. Akan tetapi, pandangan anak itu tak beralih dari satu-satunya bukti yang akan membebaskannya dari ketidakadilan.
"Ambil kalau bisa."
Doni terus berjalan mundur, menghindari tangan Rey yang ingin menangkapnya. Sesekali ia melirik ke belakang dan berlagak seakan hendak melempar USB tersebut. Sam dan Luis yang tak kalah pening terus mengikuti langkah keduanya.
"Stop, Don. Apa yang lo lakuin ini gak mengubah apa pun," geram Rey.
"Itu dia. Gue gak bisa mengubah apa pun, makanya main-main sama lo kayak gini."
"Kenapa gue?"
"Karena lo adalah lo. Anak sok bener yang ngancurin masa depan gue, juga Sam dan Luis."
Rey berhenti sejenak, menarik napas panjang dan menatap teduh. "Seharusnya lo berterima kasih karena gue udah ngancurin apa yang gak pantas lo terima."
Alis Doni semakin bertaut, ditambah dengan wajah nan merah padam. Ia lantas mengepalkan tangan hingga deru napas pun tak kalah cepat.
"Lo gak tau apa-apa, Rey."
Doni lagi-lagi mengangkat USB Luis dan melepas genggamannya. Sontak, Rey pun spontan mengambil langkah ke depan agar bisa meraih benda tersebut. Namun, kakinya memijak hampa udara dan ia pun oleng.
"Doni …."
Tangan yang terulur meminta bantuan itu tak segera diraih. Nama yang dipanggil ditarik paksa oleh kedua temannya. Doni, Luis dan Sam pun kompak melongok ke bawah.
Anak yang beberapa detik lalu masih berada di antara mereka itu terkapar di atas semak-semak. Rumput nan hijau itu mulai berubah warna setelah genangan darah dari kepala Rey mengotorinya. Sepatu yang semula terpakai rapi kini lusuh dan terkoyak.
Tubuh tersebut tak bergerak sedikit pun. Kedua matanya tertutup sempurna. Ia telungkup bersama jawaban yang ia inginkan.
"Le-lepas sepatu kalian. A-ambil USB itu dan kita pergi dari sini."
Day 19
28 Januari 2021
Setelah membaca bab ini, bagaimana perasaan kalian?
Maaf kalau agak absurd 🤧
I try my best.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top