[p V q]
Hari memang telah berganti. Namun, sosok yang melangkah cepat itu masih terjebak di tempat yang sama. Lagi-lagi nama Rey digaungkan lewat speaker dan ruang BK-lah yang menjadi tujuannya.
Anak itu berjalan sambil berpikir. Apa lagi ini? Degup tak keruan sisa semalam saja belum berangsur pulih. Sekarang, entah nasihat apa yang kudu masuk ke telinga kanan dan keluar dari telinga kirinya.
Rey mengetuk pintu yang setengah terbuka. Salamnya menggantung dan matanya terbelalak kala melihat Galis tengah duduk seraya menyatukan tangan.
Tertegun, tatapan itu lebih tajam dari kemarin. Dingin yang memancar membuat Rey segera mengganti pandang pada lelaki yang sejak kemarin tak mengindahkan panggilannya.
Rama tidaklah sendiri. Anak yang tangan kanannya berbalut perban itu ditemani oleh ayah dan ibunya di kedua sisi. Rey pun lekas duduk tanpa mengucap sepatah kata pun.
"Rey, Ayah minta sekarang kamu minta maaf."
"Maaf?" Alis Rey bertaut. Ia semakin celingak-celinguk karena belum ada sedikit penjelasan yang mengantar. Bahkan Ani yang mempertemukan kedua belah pihak masih bungkam dan menunduk.
"Minta maaf ke Rama," jelas Galis.
"Hah?" Anak itu beralih menatap kawannya. "Ada apa, Ram? Lo kenapa?"
Rama menelan ludah dan mencengkeram sofa. Air matanya menetes sebelum mendongak dan memandang Rey lekat-lekat.
"Udah, Rey. Lo gak perlu lari lagi. Gue udah cerita semuanya. Ini semua ulah lo."
Suara yang bergetar itu bak menghujam relung Rey. Hatinya lantas memanas hingga AC ruangan pun tak cukup 'tuk mendinginkan segala hal. Anak yang masih mencerna situasi itu meraih tangan ayahnya dan menggenggam erat.
"Ini ada apa, Yah? Rey gak ngerti."
Galis menarik tangannya dan menekan bahu Rey kuat-kuat. Ia dekatkan wajah putranya sampai satu jengkal dan menatapnya tanpa jeda. Mata yang dipenuhi serpihan kaca itu mulai memerah dan berubah sendu.
"Ayah gak pernah ngajarin kamu buat berbohong."
"Bohong apa? Sebenarnya ada apa, sih?" Nada bicara Rey kian tak santai.
"Lo udah matahin tangan gue dan masih nanya 'ada apa'?" sela Rama yang diiringi sebuah decakan.
"Apa maksud lo?"
Rey pun refleks berdiri. Namun, dengan cepat Ani mendudukkannya kembali seraya mengusap punggung anak itu.
"Tenang, Rey. Kita bisa bicarakan hal ini secara baik-baik."
"Apanya yang baik-baik? Rey gak pernah melakukan apa pun. Ini fitnah!"
"Gue punya bukti,"--Rama menyerahkan ponselnya--"kemarin sore sebelum ngelakuin ini, lo terus-menerus nelpon gue."
Kening yang berkerut itu semakin menjadi-jadi saat lawan di hadapnya memainkan peran. Rey pun spontan berdiri kembali sambil berkacak pinggang.
"Sial, itu karena ada yang perlu gue omongin dan lagipula lo gak ngangkat sama sekali, Ram."
"Cukup!" potong Galis. "Cukup, Rey!"
Laki-laki paruh baya itu menarik putranya secara kasar. Bahkan Rey hampir terjatuh dan membentur ujung meja. Kalau saja Ani tak berjaga di sampingnya, kondisi anak itu 'kan menyerupai Rama sekarang.
"Nak, jangan memperburuk situasi. Baik Rama dan orang tuanya tidak ingin memperpanjang masalah ini."
Rey menatap Ani dan Rama bergantian. Deru napasnya masih tak terkontrol berkat ketidakadilan yang menyeruak. Anak itu mengembuskan napas panjang kala memejamkan mata. Berkali-kali ia melakukannya untuk mencoba menenangkan diri.
"Tapi pihak sekolah tidak bisa melepaskanmu tanpa sangsi. Ayah datang ke sini untuk menjemputmu pulang. Kamu diskors selama tiga hari."
"Diskors?" ulang Rey terkejut.
Ani hanya mengangguk. Ia terus mengusap tangan Rey dan memperkuat genggamannya. Namun, anak itu segera menolak dan menghempaskan tangannya.
"Diskors, ya?" Rey mulai tertawa pahit. "Atas perbuatan yang gak kulakukan sama sekali?"
"Rey …."
Sang empunya nama menggeleng pelan dan lekas bangkit. Tanpa maaf, tanpa pamit dan tanpa salam, ia keluar dari ruangan tersebut. Anak itu segera menuju kelasnya dan mengambil tas.
Tak hanya Rey, Ani dan Ari pun turut pulang bersama. Entah apa yang Galis rencanakan hingga memborong keluarga kecilnya untuk pulang lebih awal.
Hari masih menjelang siang. Terik yang bercampur debu jalanan saja belum begitu parah. Akan tetapi, hawa panas di dalam mobil begitu terasa hingga menusuk tulang.
Pandangan Rey tak beranjak dari jendela di sini kirinya. Tiang-tiang di jalanan menjadi saksi kebungkaman keluarga kecil tersebut. Hanya senandung lagu melalui radio yang menemani sepi.
"Rey benar-benar gak melakukan apa pun, Yah."
Anak itu membuka suara. Ia kembali jujur, sifat yang ia pegang teguh sedari kecil. Namun, Galis maupun Ani tak merespons apa pun, apalagi Ari yang tengah menggunakan headset.
"Rama adalah teman pertamaku di sekolah. Rey gak mungkin melakukan itu ke dia, apalagi tanpa sebab kayak gini."
Lagi-lagi Galis masih diam. Suaranya bagai terpenjara hingga tak mampu mengucap apa-apa. Ia masih belum bisa menerima kenyataan.
"Sekarang, Rey gak punya siapa-siapa. Aku cuma mau ayah percaya. Itu aja."
Segala risiko telah Rey telan. Ia sudah melakukan kejujuran sepahit dan sesakit apa pun. Namun, bukannya puji, melainkan caci nan bertubi yang ia dapatkan.
Bahkan sampai tiba di rumah, Galis belum mau membuka mulutnya. Tak peduli seberapa nyaring Rey berteriak dan menjelaskan, ia tak lekas berbalik badan dan mendengarkan. Ani dan Ari yang berjalan di belakang mereka hanya bisa menatap dan tak ingin ikut campur.
"Yah! Dengerin penjelasan Rey!"
Geram, akhirnya Galis menghampiri putranya dan menarik kerah anak tersebut. Ia membawa Rey secara brutal sampai ke ruang keluarga. Lalu, laki-laki itu menghempas tubuh Rey hingga bertumpu lutut.
"Mas!"
Ani segera menyerahkan tasnya kepada Ari dan berlari mencegat suaminya. Akan tetapi, Galis mendorongnya dan meminta untuk lengang terlebih dulu. Wanita itu pun pasrah dan mengawasi dari ruang tamu.
Rey masih menunduk, menatap lantai yang memantulkan sedikit refleksi. Tetes demi tetes air matanya lantas jatuh dan membasahi.
"Ayah gak pernah ngajarin Rey buat berbohong, apalagi berbuat kekerasan seperti itu," ucap Galis dengan penuh penekanan.
"Harus berapa kali Rey bilang? Bukan Rey pelakunya, Yah."
"Sudah ada korban dan bukti, kamu masih mau mengelak?"
"Bukti apa? Panggilan itu gak lantas membenarkan kalau Rey yang matahin tangan Rama."
"Rey!"
Terus membantah, ubun-ubun Galis pun mendidih. Ia lantas menarik Rey dan menyeret tangannya ke kamar mandi di dekat dapur.
"Lepas, Yah. Lepas!"
Rey berusaha berdiri, tetapi kuat cengkeraman ayahnya sungguh mempersulit. Berulang kali ia terpleset dan berakhir membentur lantai.
"Mas!"
Ani dan Ari tergopoh-gopoh. Keduanya berusaha untuk mengikuti. Namun, sudah terlambat. Galis telah mengunci pintu kamar mandi dan mengguyur anak semata wayangnya itu.
"Ayah!"
Rey gelagapan. Air nan dingin itu menghujani tubuhnya tanpa ampun. Napas pun mulai tercekat sebab udara yang masuk terus terhalang olehnya.
"A-yah!"
Galis berhenti dan melepaskan tarikannya. "Sudah sadar?"
Anak yang berderai air mata itu menelan ludah. Ia lekas mengusap wajah agar pandangannya kembali normal. Rey menggigit bibir dan menyeringai tipis saat Galis berjongkok dan menatapnya tajam.
"Sudah sadar akan kesalahanmu atau belum?"
"Apa Rey harus berbohong dengan mengakui kesalahan ini? Baiklah, kalau itu yang Ayah mau. Rey mengaku salah. Rey minta maaf. Puas?"
Galis bergeming. Getar sorot sang putra perlahan menyayat hatinya. Tanpa sepatah kata, ia beranjak keluar.
Dengan cepat Ani mendekati Rey dan mengusap rambut anak tersebut. "Kamu gak apa-apa?" Pertanyaan bodoh memang, tetapi ia tak memiliki bahan percakapan lain. "Ari, ambilkan handuk di kamar Ibu."
Sang kakak mengangguk lalu meninggalkan mereka berdua.
Tatapan Rey masih kosong. Tubuhnya menggigil dan giginya bergeretak. Ani terus mengelus kepala, tangan, dan punggung anak itu secara bergantian.
"Maafkan Ayah, ya," ucapnya lirih.
Rey tetap tak berkutik. Tubuhnya masih bersandar pada dinding nan dingin. Tiba-tiba, ia kembali menitikkan air mata seraya tersenyum.
Melihat hal itu, Ani kian khawatir. "Rey?"
"Cukup, Tante gak perlu sepeduli ini sama Rey."
Anak itu memberanikan diri untuk beradu pandang dengan ibu tirinya. Ngilu yang mulai menjalar dan merasuki sendi lantas diabaikan. Ia memilih menghabiskan tenaganya untuk memperjelas keadaan.
"Sebesar dan sebanyak apa pun usaha Tante, itu semua gak akan bisa menebus dosa. Gak akan bisa menghapus fakta kalau Tante-lah yang merusak hubungan orang tua Rey."
Meski terbata, Rey tetap meneruskan kalimatnya. Hingga tidak ia sadari, seseorang yang tak sepantasnya mendengar hal ini tengah berdiri kaku di ambang pintu.
"Kalau bukan karena Tante, hidup Rey gak akan pernah seperti ini."
Day 9
10 Januari 2021
Bocil jangan nangis, ya. Mama percaya sama kamu, kok 🤧
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top