[p -> q]

Label SMA terbaik seantero ibu kota tentu tidak disandang dengan mudah. SMA Kemuning rutin mengadakan post test setiap bulan guna merombak kelas-kelasnya. Fasilitas yang diberikan sangatlah beragam, tergantung kategori yang dihuni. Semakin tinggi, semakin nikmat pula yang didapat.

Itulah mengapa tiada satu pun yang rela melewatkan momen ini. Mereka dengan senang hati bersakit-sakit sampai belajar non stop. Rumus telah berubah menjadi doa yang terus dirapal siang dan malam. Semua guna poin terbaik yang terus terngiang untuk digapai.

Hari inilah ujungnya. Seluruh murid sudah duduk manis tanpa terkecuali. Mau sesakit apa pun mereka tak akan mangkir. Bahkan, Fanstrio yang terkenal masuk kelas di jam kedua sudah memainkan pensil di tempatnya.

Rey memandang jendela lamat-lamat. Duduk di barisan belakang membuat lembar soalnya terlambat datang. Ia pun mendengkus sambil memangku dagu.

Hari pertama tidaklah berat. Bagi si penyuka angka, matematika bukan objek yang berpuaka. Rey beralih mengetukkan jari-jarinya pada meja.

"Hayoo, ngelamun apa?"

Kaget, Rey terperanjat sampai menjatuhkan alat tulisnya. Anak itu lekas membungkuk, tetapi tangan wanita yang membagikan bahan ujian lebih gesit darinya.

"Ini. Maaf, ya."

Rey tersenyum tipis lalu menggeleng. "Makasih ya, Bu Ani."

Hanya berjarak sekian detik, ibu sekaligus guru BK itu mengusap punggung Rey dengan lembut sebelum kembali ke depan. Sang anak hanya menunduk malu. Hangat yang merasuk ke tulangnya belum bisa ia terima secara percuma.

"Waktu mengerjakan 60 soal hanya 30 menit, ya. Harap dimanfaatkan dengan baik."

Instruksi dari meja guru membuat Rey terkesiap. Ia segera mengisi biodatanya pada lembar jawaban. Gugup yang semula tak bergayut sontak menguasai tubuhnya.

"Silakan dimulai."

Secepat kilat pensil-pensil itu mengotori kertas buram yang datang bersama lembar yang lain. Kedua mata dengan cepat membaca soal dan otak pun lekas bekerja keras dalam menyelesaikannya. Hening, hanya bunyi jam yang mengisi ruangan.

Rey tampak hati-hati. Setiap kata dan angka ia teliti tanpa jeda. Meski berhasil menuntaskan dalam hitungan detik, ia tetap mengeceknya berulang kali.

Namun, baru beberapa soal saja anak itu sudah menepuk jidat. Terdapat soal bahasa Inggris yang belum ia ketahui kosa katanya. Rey pun menulis apa saja yang ia ketahui lalu mendongak menatap langit-langit, berharap hamparan berisi AC itu dapat memunculkan rumus yang ia cari.

Lelah, Rey mengembuskan napas panjang dan menyerah terlebih dulu. Masih banyak nomor yang belum terjamah. Akan tetapi, fokusnya dikecoh oleh gerak-gerik siswa di bagian ujung kanan.

Itu Doni.

Rey menegapkan tubuhnya dan memicingkan mata. Sosok yang duduk di barisan nomor tiga dari depan itu mengambil selembar kertas dari tas dan menukarnya dengan soal yang ada di meja.

Tak begitu percaya, Rey pun menggeleng kuat dan mengusap matanya. Namun, apa yang ia lihat tidaklah berubah. Doni masih saja menatap meja guru sebelum akhirnya mengerjakan pertanyaan yang tersaji.

Sadar, Rey, sadar. Anak itu terus membatin. Ada hal yang lebih penting untuk dilakukan. Walau sekujur tubuhnya berubah dingin, ia memilih diam dan menuntaskan post test-nya.

Selesai lima menit lebih awal tak membuat Rey segera enyah dari kelas. Ia tetap tenang dengan menautkan kedua tangan yang terus bergetar. Bibir dalamnya pun masih tergigit kuat kala mengamati tempat duduk Doni.

Seperti dugaannya, laki-laki itu kembali menukar kertas tersebut dengan soal ujian. Semua Doni lakukan dengan santai sebab tidak ada pengawas yang mengitari kelas. Dua wanita di meja guru asyik membincangkan sesuatu yang tidak Rey ketahui.

Waktu pun habis. Satu per satu siswa mengumpulkan jawabannya lalu keluar ruangan sambil membawa buku.

Namun, tidak dengan Rey. Ia kembali ke tempat duduknya dan berteman sepi. Bahkan lorong yang semula ramai lalu lalang telah sunyi. Entah kantin entah perpustakaan, pasti murid-murid SMA Kemuning tengah memperdalam materi selanjutnya di sana.

Anak itu mengambil napas dalam-dalam. Perlahan dengan kaki setengah berjinjit, ia berjalan menuju bangku Doni. Sesekali Rey mengedarkan pandang untuk memastikan bahwa tidak ada yang melihat. Ia segera membuka tas yang terletak di bawah kursi dan mengambil satu-satunya lembaran yang ada.

"Gritama?"

Logo yang ada di pojok kanan itu mencuri perhatian Rey. Ia segera membalik kertas berjudul 'Contoh Soal Ujian Tengah Semester' tersebut.

"Ini kan …."

Kalimatnya menggantung. Mulut saja tak dapat menahan diri 'tuk menganga. Bulu Rey meremang saat membaca satu per satu soal yang tertera. Seratus persen tidak ada yang berbeda.

"Gak mungkin, gak mungkin."

Rey terus membacanya dengan rinci. Ia tidak salah. Ia benar-benar yakin. Tentu saja. Soal-soal ini baru saja ia selesaikan.

Apa yang harus ia lakukan?

Dengan tangan yang bergetar, Rey merogoh saku dan mengeluarkan ponselnya. Ia lekas mengambil gambar soal-soal tersebut sebelum pergantian jam. Sedetail mungkin ia mengembalikan kertas itu ke tempatnya.

Tidak ada yang melihat aksi Rey, apalagi sang pemilik. Anak itu dapat pulang dengan selamat, tanpa halangan apa pun.

Namun, gusar di hatinya belum juga sembuh. Jantungnya terus berdegup sebab foto-foto tersebut. Ia pun merendam diri di kamar mandi sambil mendengarkan musik.

Ramadian Hap-hap

Lo kenapa telpon gue, Rey?

Sebuah notifikasi mengusik kekalutan. Melihat nama lelaki yang ia cari sedari pagi, Rey pun bergegas meraih ponsel dan membukanya.

Gue nyari lo ke kelas, tapi udah pulang. Ada yang mau gue omongin, Ram.

Secepat mungkin Rey membalas pesan tersebut. Jari-jarinya mulai memutih. Untunglah, kerut-kerut kecil belum berdatangan.

Apaan?

Gue takut.

Hah?

Lo bisa jaga rahasia, kan?

Apaan, sih?

Rey menelan ludah. Matanya tertutup rapat kala berulang kali membuang napas. Anak itu membuka galeri dan mengirimkan sebuah foto berisi halaman pertama soal dari Gritama.

Ini apa?

Gue liat Doni nyontek pake soal ini.

Lo dapet dari mana?

Itu gak penting.

Terus maksud lo ngirim ginian apa?

Lagi, Rey berdecak. Entah bodoh atau apa sampai Rama tak menangkap maksudnya.

Ya gue minta solusi, Ram. Gue harus apa. Gue gak mungkin diem aja, 'kan?

Iya, Rey. Lo gak usah macem-macem, deh. Diem aja.

Hah?

Please, daripada lo kena masalah. Ini Doni, bukan anak kemarin sore.

Geregetan, gigi Rey pun bergeretak. Ia lantas menutup ponsel dan menenggelamkan diri. Ia biarkan air dingin di dalam bak mencuci pikirnya. Berharap, sel-sel otaknya dapat terbuka dan ia bisa mentas dari perasaan serba salah ini.

Terlalu lama, anak itu refleks bangkit sampai terbatuk. Ia mengusap wajah berkali-kali hingga pandangannya kembali. Rey pun bersandar pada dinding dan menatap kapstok.

Rey, gue tau lo liat pesan ini. Please, sekali aja dengerin gue. Jangan libatin nama lo, se-gak adil apa pun itu.

Pesan terakhir yang terbaca lewat layar itu tidak Rey indahkan. Ia masih sibuk memutar otak agar jiwanya suci dari kebungkaman.

Akhirnya dengkusan pun muncul. Anak itu meraih ponselnya lagi dan membuka aplikasi sosial media yang teronggok bertahun-tahun.

Tangan Rey menggelugut kala mengikuti setiap petunjuk dalam membuat akun. Dengan nama 'yellow justice', ia mengunggah foto-foto yang ia ambil beserta beberapa kalimat pendamping. Ia pun menggigit jari sebab giginya tak berhenti bergetar.

Rey menggumamkan doa-doa seraya memejamkan mata. Ia lalu menjatuhkan ponselnya sebelum kembali berbaring di dasar bath tub. Semoga, semoga, dan semoga, ia tak mengalami hari buruk.

@ twitty

Burung yang kupikir gagah dan hebat dalam menguasai alam ternyata hanya seekor ayam yang dipercantik oleh induknya sendiri.

Foto. Foto. Foto. Foto. Foto.

#KecuranganSMAKemuning

Day 7
8 Januari 2021

Semoga gak berantakan.

Let's begin 😎

Misi, Doni mau lewat!

Rama dan Rey, nih.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top