[n(G) = ?]

Bebatuan kecil tak bersalah menjadi korban kebosanan Rey. Anak itu tak hentinya melempar mereka ke rerumputan sejauh mungkin. Batinnya telah lelah menanti waktu yang derapnya tak dapat dipercepat. Sudah setengah jam ia termangu di kursi taman Gritama.

Sepulang sekolah, sesuai amanat ayahnya, ia daftar les di tempat yang sama dengan Ari. Sialnya, ia tak boleh pulang sendirian karena belum terlalu hafal dengan daerah ini. Meski berdalih bahwa ojek daring akan menyelematkan, Galis tetap bersikeras agar Rey menunggu kakaknya sampai usai.

Tak ada yang bisa Rey lakukan. Baterai ponselnya habis lima belas menit yang lalu. Tugas sekolah pun sudah ia kerjakan di sela-sela pergantian pelajaran. Membuat sketsa agaknya percuma, tidak ada alunan yang membangkitkan mood.

"Hei!"

Rey terperanjat saat mendengar seruan dari ujung gedung. Meski belum tentu memanggilnya, ia refleks menoleh ke sumber suara. Namun, belum sampai jelas dan mendekat, anak itu beringsut-ingsut seraya memegang bangku.

"Eh, lo!"

Tiga sekawan yang kompak mengeluarkan kemeja seragamnya itu berlari mendekati Rey. Rona mereka semakin antusias saat anak itu tak berkutik di tempatnya. Salah satu di antara mereka duduk tanpa segan dan merangkul pundak Rey tanpa permisi.

"Lo yang ngeliat kita main di gazebo dan di kantin, kan? Gue Doni," ucap anak bermata sipit tersebut sambil mengulurkan tangan.

Rey menelan ludah. Matanya memandang raut dan tangan Doni bergantian. Perlahan, ia pun menjabatnya dan tersenyum tipis. "Rey."

"Gue Luis, dan ini--"

"Sam."

Rey hanya bisa mengangguk. Ia terus memandangi tangan Doni yang tak bergeser dari bahunya. Ia pun berlagak menggaruk tengkuk agar beban tersebut enyah dari tubuhnya.

Untung saja Doni peka. Laki-laki itu lekas melepaskan diri dan bergeser satu jengkal. Ia lekas merentangkan tangan dan menyilangkan kaki, sedangkan Luis dan Sam masih setia berdiri sambil bertukar pandang.

"Kita sekelas, lho. Lo tau, kan?" Doni kembali membuka percakapan.

"Lo gak di kelas sama sekali hari ini."

Rey berucap jujur. Walaupun tahu, ia tak ingin terburu-buru mengiakan.

"Iya, nih. Ada tugas, gak?"

"Ada."

Doni segera bangkit dan mendekatkan duduknya. "Apaan? Kasih tau, dong. Gue belum ngerti, nih."

"Halaman--"

"Ck, ajarin sekalian, lah. Gue minta nomor lo, ya?"

Rey menelan ludah. Ia menggigit bibir dalamnya kuat-kuat saat Doni kian mendekat dengan tatapan penuh pinta, tetapi bak menyimpan hal lain. Haruskah ia berburuk sangka? Atau sebaliknya?

"Gue belum punya temen di kelas, gak ngerti kudu nanya siapa. Kalau ketinggalan, nilai bisa ambyar," tambah Doni guna memperkuat diri.

Pasrah, Rey pun mengangguk dan memberikan nomor ponselnya. Sudut bibirnya sedikit tertarik kala Doni, Luis, dan Sam berseru ria. Ketiganya beradu senyum dan menaikkan alis. Sungguh sesuatu.

"Rey!"

Sang empunya nama menoleh. Ari dengan tergopoh-gopoh meraih tangan Rey untuk beranjak dari kursi. Sorotnya menajam saat Doni menatapnya penuh seringai.

"Ayo pulang," ajak Ari.

Belum sampai menjawab, Rey telah ditarik secara paksa. Anak itu sampai tersandung dan hampir terjungkal karenanya. Namun, Ari tak peduli apa pun dan terus berjalan. Bahkan ia mempercepat langkah dan memperkuat genggamannya.

"Nanti gue chat, ya!" teriak Doni.

Rey hanya menoleh tanpa mengangguk. Ia masih sibuk mengimbangi langkah Ari yang tak manusiawi. Laki-laki itu baru berhenti setelah sampai di tempat parkir. Napasnya Senin-Kamis saat bercekak pinggang di depan sang adik.

"Lo ngapain sama anak-anak Fanstrio itu?"

"Bang Ari kenal?"

Ari mengangguk, "Mereka adik kelas gue di SMP. Jangan deket-deket, ya. Pergaulan mereka terlalu luas buat lo."

Rey mengerutkan kening. Ia mengambil alih helm yang diberikan Ari dengan malas. Sudah dua orang yang mengatakan hal serupa. Bukannya mundur, desir di hatinya bergelora untuk bermain. Mungkin, ini tantangan kota yang tak akan bisa ia temukan di tempatnya dulu.

Sesampainya di rumah, untuk pertama kalinya Rey ikut bergabung di ruang keluarga. Biasanya, Galis pulang terlalu larut saat penghuni rumah telah terlelap sehingga hanya ada Ari dan Ani yang menonton TV. Kali ini, Rey memiliki nyali untuk berbaur.

Dua stoples kue kering dan sepiring keripik kentang menemani tayangan televisi. Ari dengan telaten mengambil setiap sajian secara bergantian, sedangkan Rey hanya memakan apa pun yang Ani berikan padanya. Posisi duduk mereka yang bersebelahan membuat Rey tak mampu menolak.

Donee fearless menambahkan Anda.

Getar ponsel membuat Rey kehilangan fokus. Ia lekas membuka notifikasi setelah pesan masuk tak henti berdatangan. Iris cokelatnya meluas saat mendapati sebuah grup bernama Fanstrio terpampang pada layar.

Donee fearless
Welcome, Rey!

Luis Imanuela
Haloo!

Sammy
Eh, udah di-invite.

"Hari ini gimana, Rey? Lancar?" tanya Galis tiba-tiba.

Rey pun terkesiap sampai hampir menjatuhkan ponsel yang ia beli dari tabungannya. Ia segera duduk dengan rapi dan mengangguk, meski kata lancar yang dilontarkan cukup ambigu di telinganya.

"La-lancar kok, Yah."

"Tadi udah daftar les juga, kan?" Ani tak mau kalah.

"Sudah, tadi Bang Ari yang ke office."

Galis tersenyum lebar tanpa mengalihkan pandangan pada layar TV. "Bagus, kalau ada apa-apa jangan sungkan cerita loh, Rey. Ada Bang Ari sama Ibu juga."

Rey belum bisa menjawab. Ponselnya terus bergetar, menampilkan berbagai percakapan Fanstrio yang menyatakan akan mengubah nama grup mereka. Mereka terus-menerus memanggil Rey untuk turut memberi saran.

Tangan anak itu mulai basah dan bergetar. Spam yang muncul membuatnya pening dan berkunang-kunang. Rey pun segera membalik ponselnya dan mencengkeram celana.

Tarikan napas pun diambil dalam-dalam. Rey sekilas menatap Galis yang ada di kanannya lalu menunduk. Tiba-tiba bibirnya kelu dan kosa katanya hilang. Ia tak tahu harus memulai dari mana.

"Anu, ta-tapi--"

"Ari tadi juga dikasih sabar sama Pak Tomo loh, Yah. Katanya di semester awal ini Ari masih boleh gabung di klub."

Lirih suara Rey lantas diinterupsi dengan antusias Ari. Galis yang semula fokus dengan percekcokan sinetron lekas menoleh dan merapatkan duduknya. Warna wajah lelaki tersebut kian bercahaya saat putranya berbagi informasi.

"Iya? Bakal tanding di mana lagi, nih?"

Ari pun tersenyum hingga kedua matanya membentuk garis. "Belum tau, Yah. Kayaknya kalau ikut pun cuma pertandingan persahabatan gitu. Bukan event besar."

Rey mendengkus lalu memijat pelipis. Tunduknya kian mendalam dan cengkeramannya semakin kuat. Senyum pahitnya mengembang saat Galis lagi-lagi menimpali dengan nada berapi-api. Kalau sudah begini, dari sisi mana ia bisa menyela?

Anak itu pun mengangkat kepala. Tak lupa ia mengusap setetes air yang muncul dari sudut matanya. Rey kembali membuka ponsel dan menuliskan pesan terakhir untuk Doni dan kawan-kawan, sebelum memutuskan untuk hengkang.

Makasih, ya, udah diundang. Tapi gue gak bisa gabung. Kalau ada apa-apa, kalian bisa PC aja. Sekali lagi, thanks.

Rey mengembuskan napas panjang sambil mengangguk yakin. Bisa, ia bisa, ia terus melantunkannya dalam batin.

Kalaupun tidak, Rey hanya perlu meralat doa itu dengan menambah, 'paksa saja sebisanya'. Ia hanya perlu menghimpun tenaganya sendiri. Ia hanya perlu membiasakan situasi ini sejak dini. Ia … tidak perlu yang lain.

Day 5
6 Januari 2021

Nasib ngutang ya begini, sampai gemetaran nulisnya 😂

Untung ada bocil 😘

Sama Abang

Semangat, Kita!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top