[n²]

Cahaya pagi yang menerobos gorden tak mampu mengusik. Anak itu masih setia memejamkan mata dengan alis yang bertaut. Rintih demi rintih mengiringi tubuhnya yang menggigil. Sekujur badannya telah bermandikan peluh.

Meski sudah sadar, Rey sangatlah enggan untuk beranjak. Terlebih kedua kakinya linu bak disayat tipis-tipis. Nyeri yang berdenyut berhasil mendidihkan suhunya.

Luka-luka yang tercipta dari ikat pinggang sang ayah kian memerah. Sejak semalam, Rey belum mengoleskan krim atau sejenisnya. Bahkan makan dan meminum obat pun tak ia lakukan. Setelah sanggup untuk naik ke kamar, ia lekas menarik selimut sampai pagi ini.

Ketukan pintu yang semakin keras membuat Rey membuka mata. Pedas dan panas lantas ia rasakan saat mengerjap-erjap. Anak itu menoleh ke sumber suara tanpa berniat bangkit. Toh, orang yang melakukannya telah masuk dengan sendirinya.

"Bangun," ucap Galis seraya menyibak selimut Rey. Ia juga berjalan menuju jendela dan membuka ventilasi tersebut.

"Aku gak enak badan."

Seperti biasa, Rey berucap jujur. Namun, agaknya kali ini tetap diabaikan, mengingat Galis mengambil handuk yang tergantung di kapstok dan melempar ke arah putranya.

"Cepat mandi. Ayah, Ibu, dan Abang sudah menunggu di meja makan."

"Rey sakit, Yah."

"Sakit apa? Jangan manja! Apa yang Ayah lakukan semalam itu hukuman buat kamu."

Anak berwajah pucat itu bertumpu pada kasur dan mencoba duduk. Ia menggigit bibir saat harus menyeret tubuhnya. Luka pada kedua betis itu kian perih saat digerakkan. Rey pun menghela napas panjang setelah menyandarkan punggung pada dinding.

"Aku beneran gak enak badan, Yah."

"Setelah mandi dan sarapan nanti langsung minum obat. Ayah tunggu di bawah. Ibumu diskors sampai tiga hari ke depan. Jangan ikut menambah masalah."

Galis pun enyah setelah berbicara demikian. Rey hanya bisa melihat punggung sang ayah saat menutup pintu.

Anak itu kembali menitikkan air mata. Luka luar dalam tanpa jeda ini terlalu membabi buta. Ia tak memiliki kesempatan untuk bernapas lega. Belum hilang satu, sudah tumbuh seribu. Rey benar-benar tak mengerti mengapa takdir sepelik ini.

Ia tak memiliki pilihan selain mengiakan kalimat ayahnya. Meski terseok-seok, ia tetap mandi dan sarapan. Walau keringat dingin masih memenuhi pelipis, leher, dan telapak tangannya, ia tetap berangkat sekolah. Rey mencoba menjaga kesadaran, kendati pening di kepalanya sungguh menyiksa hingga pandangan pun mengabur.

Alhasil, sepanjang pelajaran ia menyembunyikan wajahnya. Dengan bantuan dua buku paket yang terbuka dan posisi duduk paling belakang, ia selamat dari amukan guru. Meski demikian, Rey tetap merasa bersalah dan membatin akan mengejar ketertinggalan di perpustakaan nanti.

Bel istirahat siang telah berbunyi. Namun, sosok yang memejamkan mata masih juga bergeming. Denyut yang menyiksa ubun-ubun mulai merambat ke area kening dan matanya.

Kalau bisa, Rey akan melambaikan bendera putih. Lemah ini memenangkan keadaan. Ia lekas bangun seraya mengusap wajah.

Anak yang duduk bersandar itu meraih botol minum dan menenggaknya hingga separuh. Satu per satu siswa kelasnya telah hilang entah ke mana. Bisa ke kantin, gazebo, maupun perpustakaan. Hanya ia seorang yang mengisi ruangan.

Namun, belum sampai lima menit, murid-murid itu kembali dengan berbagai bekas makanan di tangannya. Mereka bergantian menghampiri Rey dan menjatuhkan apa yang mereka bawa ke bangkunya.

"Heh, apa-apaan nih!"

Hanya seringai dan decakan yang menjawab seruan tersebut. Mereka tetap gigih memenuhi meja itu dengan berbagai sampah plastik, bekas makanan, dedaunan kering, dan lain-lain. Bahkan ada satu di antara mereka yang sengaja menumpahkannya di atas kepala Rey.

Setelah puas, anak-anak itu kembali enyah dan kembali ke tempat duduk masing-masing. Tak ada kata, tak ada suara. Hanya satu kalimat penutup yang terngiang di kepala Rey saat cairan yang tak ia ketahui membasahi rambut.

"Pengkhianat kayak lo gak pantas buat duduk di sini."

Sesak. Impitan yang tak wajar itu kian menjadi-jadi. Rey lekas beranjak tanpa membersihkan apa pun.

Sebenarnya apa yang ia lakukan? Mengapa mereka melakukan ini semua? Berbicara saja tidak pernah, bagaimana bisa mereka mengambil kesimpulan demikian? Haruskah Rey menyalahkan takdir yang telah menjebaknya?

Anak itu tertatih-tatih. Tangan nan gemetaran tak beralih dari pembatas tangga. Ia bertumpu dan berjaga agar tetap pada jalannya. Sesekali Rey berhenti 'tuk mengambil napas. Melewati puluhan anak tangga tidaklah mudah.

Atap sekolah-lah yang menjadi tujuan. Hamparan tak bergenting itu dipenuhi kursi bekas dan hal-hal tak berguna lainnya. Rey mengakhiri langkah dan menyendiri di sana. Berbaring menatap langit dan mempersilakan terik 'tuk meluapkan setiap inci rasa sakit.

Pengumuman berakhirnya istirahat siang tidak Rey indahkan. Bodo amat, pikirnya. Toh, masuk pun hanya akan mempersulit. Ia pasti diminta untuk membuang seluruh sampah tersebut.

Rey tersenyum pahit. Ia tak menyangka akan membolos seperti sekarang. Ah iya, jangankan membolos, skorsing saja tak pernah ia duga sebelumnya. Ternyata kehidupan SMA kelas elite terlalu keras dari yang ia anggap.

"Waw, waw, waw, lihat siapa yang ada di sini."

Suara yang tak asing itu membuat Rey terkesiap. Degup jantungnya kian cepat saat mendapati Doni dan kedua kawannya telah berdiri dan berjalan ke arahnya. Anak itu lekas bangkit dan mundur perlahan.

"Kalian ngapain ke sini?" tanya Rey panik, mengingat masa skors tiga anak tersebut belumlah usai.

"Oh, kita abis ngumpulin projek. Terus sekalian mampir ke kelas. Eh, kata anak-anak lo di sini, ya udah kita samperin."

Doni menjawab gamblang. Bahkan anak itu sempat tertawa kala beradu pandang dengan kedua sahabatnya. Mereka terus mendekati Rey sampai anak itu membentur dinding pembatas.

"Kalian mau ngapain?"

"Kita cuma mau main sebentar. Silaturahmi. Iya, gak?" ucapnya pada Sam dan Luis yang dijawab dengan anggukan.

"Gue gak berminat. Minggir!"

Rey berniat menerjang tiga anak tersebut. Sayang, lemah tubuhnya mempermudah Doni 'tuk mengadang dan melempar anak itu hingga mencium lantai yang tak rata.

"Argh!"

Doni mulai mengayunkan kaki. Namun, Luis segera menahan tangannya dan menggeleng. Anak itu berbisik seraya menatap Rey yang beringsut-ingsut ke samping.

"Jangan ke muka, nanti keliatan. Jangan pake telapak kaki juga, nanti berbekas. Alas sepatu lo gak bersih."

Doni terkekeh dan mengangguk. "Gue paham."

Dengan senyum lebarnya, Doni menendang perut Rey berkali-kali. Semakin keras lawannya merintih, semakin antusiaslah ia. Kanan, kiri, kanan, dan kiri lagi, ia terus melakukannya sampai tak ada lagi suara yang tersisa.

Lelah, Rey benar-benar kehilangan kuasanya. Bahkan untuk mengaduh pun ia tak sanggup. Daya pada sekujur tubuhnya telah dirampas. Kedua tangan dan kakinya tak bisa digerakkan.

Sakitnya belum sembuh. Peningnya belum enyah. Kini nyeri hingga mual bergelut di perutnya. Tak kuasa, air mata pun mengalir deras.

Bosan, Doni mengakhiri aksinya dengan menendang kaki Rey hingga anak itu terbalik. Ia kemudian berjongkok dan menghadapkan wajah Rey ke arahnya. Kedua mata mereka pun beradu.

"Lo pantas menerima ini semua. Anak baru sok jagoan!"

"Apa lo juga ngelakuin hal ini ke Rama?" tanya Rey di sela-sela kesadarannya.

Doni tersenyum lalu menggeleng. Ia menjambak rambut Rey dan mendekatkan wajahnya. "Enggak, apa yang terjadi pada Rama itu salah lo. Lo pelakunya."

Usai dengan main-main tersebut, Doni melepaskan Rey dan mengusap kedua tangannya menggunakan sapu tangan. Ia lantas memberi isyarat agar Luis dan Sam ikut enyah dari sana. Mereka pun turun, meninggalkan Rey yang tergeletak lemah.

Panas tak keruan itu berubah hitam kehijauan. Pandangan Rey memburam seiring dengan lara yang menghujam. Anak itu pun tenggelam dalam alam lain. Kembali meminta untuk tidak disadarkan dalam situasi yang sama.

Day 13
15 Januari 2021

Mungkin ini gak penting, tapi berhubung di FYI sempat kutulis jadi ku-share aja kalau aku mundur dari event di GAUS x UB.

(Doni: Lanjut gak, nih?
Rey: Ayo aja, dah.)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top