[lim x = c]
Rey masih menenggelamkan diri di bak mandi. Ia berharap air hangat dapat mengurangi nyeri yang bersarang di perut dan betisnya. Begitu pula dengan pening yang menyerang kepala belakang dan pelipis. Sakit yang berbondong-bondong menguasai tubuh membuatnya betah berlama-lama di bawah air.
Ia tak peduli dengan seruan sang ayah dari balik pintu. Panggilan yang sama dan berulang kali itu tak ia indahkan. Toh, apa pun alasannya ia akan tetap diseret untuk berangkat sekolah.
Rey bosan mengeluhkan perihnya pada semilir angin. Ia bosan menumpahkan kekesalannya pada air yang mengalir. Dan ia juga bosan menyalahkan keadaan pada bayangannya sendiri.
Ia tak ingin pergi ke mana pun. Untuk sekali ini saja, Rey ingin berbicara sendiri. Namun, Galis tetap bersikeras mendobrak pintu kamar mandi dan menarik anak itu hingga mentas.
"Apa yang kamu lakukan? Mau mati?"
Rey gelagapan sampai terbatuk-batuk. Ia lekas mengusap wajah dan hidung, menyingkirkan air yang masuk tanpa permisi. Pandangannya masih berbayang. Kedua mata pun sedikit merah sebab berendam terlalu lama. Bahkan jari-jarinya tampak keriput dan kulitnya memucat.
"Rey kenapa berendam seperti itu?"
Ani menyodorkan handuk dan mendekap anak yang memakai seragam tersebut. Ia membawa Rey menuju kamar dan mendudukkan anak itu pada kursi belajar. Galis hanya geleng-geleng sambil berkacak pinggang.
"Kamu sakit? Ada masalah?" tanya sang ibu seraya mengeringkan tubuh Rey.
Anak itu tak segera menjawab. Ia malah mendongak dan mendapati ayahnya tengah menatap tajam. Rey pun menggeleng pelan, meski tubuh yang terus bergetar itu menunjukkan hal lain.
"Yakin gak apa-apa?"
Tatapan teduh yang diiringi usapan lembut itu mulai merasuk dan menghangatkan hati Rey. Ia memilih untuk kembali menggeleng lalu menunduk. Galis yang melihatnya lantas mendengkus dan ikut berjongkok di samping Ani.
"Rey … sakit, Tan. B-boleh izin, gak?" lirihnya serak dan terbata.
"Sakit apa?"--Galis mengangkat dagu anaknya--"dari kemarin alasanmu sakit terus."
"T-tapi Rey beneran sakit, Yah. Kepala, perut, kaki, sekujur tubuh Rey sakit."
Sontak Ani mendorong mundur tubuh suaminya. Alisnya bertaut sekilas sebelum mengembuskan napas panjang. Ia hanya melirik lalu menatap Rey kembali.
"Mau ke dokter, gak?"
"Gak usah. Setelah sarapan dan minum obat nanti juga mendingan. Kemarin juga gitu, 'kan? Penyakit itu jangan dimanja. Lagi pula ini hukuman buatmu." Bukan Rey, melainkan sang ayahlah yang menjawab.
"Tapi Mas--"
"Ambilkan seragam lama Ari," pinta Galis pada Ani kemudian beranjak, "setelah ini kamu ganti. Ayah tunggu di bawah."
Rey mengangguk patuh. Setelahnya, ia tersenyum lalu mengusap area mata dan berlanjut ke kepala sampai tengkuk. Dugaannya memang tak pernah meleset.
Ani berniat menguatkan dengan menepuk pundak Rey. Namun, tangannya lekas ditepis pelan. Anak itu menggeleng dan berusaha bangkit, meski kedua kakinya enggan untuk bekerja sama. Ia tertatih menuju lemari agar Ani turut mengikutinya.
Setelah berganti pakaian dan menghabiskan dua potong roti, Rey diantar oleh Galis karena Ari telah berangkat terlebih dulu.
Setelah sampai, anak itu memandangi gerbang sekolah yang masih sama. Dua satpam yang bertugas pun tetap tersenyum dan menyapa seperti biasa. Namun, semilir angin yang menyentuh kulitnya jauh lebih dingin dan mengusik. Banyaknya pasang mata yang menatap lekat juga membuatnya bergidik. Rey sangat tidak terbiasa.
Lorong-lorong itu masih dipenuhi para kutu buku. Menghafal rumus dan kawan-kawannya juga masih menjadi rutinitas. Akan tetapi, Rey merasa asing dengan aura tersebut. Benaknya sedikit risi setelah jatuh berkali-kali.
Rey benar-benar enggan. Bayang-bayang perbuatan siswa kelasnya lekas terngiang saat mendekati pintu yang tertutup. Namun, apa boleh buat, mars Kemuning memaksanya untuk segera masuk.
Sayangnya, saat baru satu langkah, seutas tali yang tak terlihat membuatnya tersungkur dan membentur lantai. Belum juga bangkit, air satu ember yang dikaitkan dengan tali tersebut mengguyurnya hingga basah kuyup. Rey pun terperanjat sampai kehilangan kata-kata.
Jantungnya bak berhenti berdetak saat itu juga. Ia sampai lupa untuk bernapas sebab dingin yang mengimpit dada lekas mendatangkan sesak. Rey memejamkan mata dan menggigit bibir. Kali ini siapa lagi?
"Kalian …."
Tidak ada tawa dari kelas tersebut. Penghuninya tetap setia berdiri dan melantunkan lirik yang telah dihafal di luar kepala. Tak sedikit pun mereka menoleh ke arah Rey.
Sosok yang mulai menitikkan air mata itu pun bangkit. Sebelum ada guru yang masuk, ia lekas keluar kelas menuju atap sekolah. Hanya tempat tak terjamah tersebut yang bisa menenangkannya. Persetan dengan pelajaran, persetan dengan apa pun, Rey akan menghabiskan harinya di sini.
Anak itu berbaring tanpa alas, memandangi langit yang tak seberapa terik. Dalam hatinya berdoa, semoga cuaca tetaplah seperti ini sampai badannya mengering.
Bagian atas seragam kakaknya benar-benar kemal. Pening yang belum sepenuhnya enyah pun kembali terpanggil. Nyeri yang mencacah perutnya juga turut meramaikan.
"Argh!"
Sepi ini membuat Rey leluasa untuk mengaduh. Ia mengernyit sambil menekan pinggang, kemudian memukuli betisnya berulang kali, berharap linu pada sendi-sendinya berkurang. Anak itu meringkuk dan menangis sejadi-jadinya.
"Sial!"
Hanya embusan angin yang menanggapi umpatan tersebut. Sekeras apa pun Rey berseru, tak ada yang bisa menandingi suara speaker SMA Kemuning.
Laki-laki itu mendesah pasrah dan menelentang. Ia menutup mata sambil merogoh saku celana. Rey lalu mengeluarkan obat sakit kepala yang Ani berikan padanya. Tanpa basa-basi, ia mengambil empat tablet sekaligus dan menelannya bulat-bulat tanpa bantuan air.
Lelap pun menyambut. Sayup-sayup suara mulai menghilang. Rey tersenyum tipis sebelum memasuki arena mimpi. Pintanya satu, semoga dua dunia ini lekas bertukar posisi dan ia kembali baik-baik saja.
¶
Lagi-lagi Galis berkacak pinggang di ambang pintu. Dahinya berkerut hingga wajah pun merah padam. Berkali-kali ia menatap jam tangan dan gerbang rumah secara bergantian.
"Gak baik marah sebelum ada penjelasan dari anaknya sendiri, Mas."
Sang istri mencoba untuk membujuk. Sekadar duduk dan sedikit tenang dalam menunggu tidaklah buruk. Namun, Galis dengan kasar menyingkirkan ajakan itu dan tetap fokus mencari batang hidung anaknya.
Hening. Ani menghela napas panjang. Sekali tak didengarkan tak akan membuatnya mengulang kesekian kali. Ia pun berjalan menuju dapur untuk mempersiapkan makan malam. Ari yang tak kalah canggung memilih mengikuti ibunya.
Sebentar lagi langit akan berubah warna. Namun, Rey belum juga membuka gerbang. Tanpa kabar, anak itu menghilang. Pihak sekolah mengatakan bahwa hari ini ia tak mengikuti kegiatan belajar-mengajar apa pun. Galis semakin gusar setelah ponsel putranya tidak dapat dihubungi.
Relungnya dilanda kecewa. Ia tidak menyangka Rey akan melakukan hal-hal kenakalan seperti ini. Satu belum tuntas, ia sudah menumpuknya dengan yang lain.
Decitan pintu yang terbuka sontak membuat Galis terkesiap. Dadanya membusung saat mendapati Rey tengah menyeret tas dan berulang kali tersandung. Tampangnya sungguh lusuh disertai tatapan kosong.
Geram, Galis tergopoh-gopoh menghampiri dan menarik anak itu 'tuk segera masuk rumah. Ia lantas melepaskan anak itu dan mendorongnya agar duduk di sofa ruang tamu.
"Dari mana kamu?"
Tak ada jawaban. Rey masih memandang kosong dan tanpa berkedip. Meski perutnya melilit dan tangan pun gemetaran, ia tetap bergeming.
"Dari mana kamu!" tanya Galis sekali lagi.
"Sekolah."
"Gak usah bohong! Ayah dapat kabar dari BK kalau hari ini kamu membolos. Jawab, dari mana kamu?"
Rey mendongak dan menatap ayahnya yang masih berkacak pinggang dengan napas kembang kempis. "Aku udah bilang, Rey dari sekolah."
"Rey!"
Seruan itu mengundang Ani dan Ari untuk mendekat. Dua orang yang semula berkutat di dapur itu terketuk untuk melerai pertikaian yang mereka lihat. Namun, Galis terlebih dulu mengangkat tangan, seolah memberi isyarat agar mereka tidak ikut campur.
Sosok yang kuyu dan pucat itu berdiri. Ia mendekati sang ayah dan mengucapkan, "Percuma Ayah nanya, toh apa pun jawaban Rey akan selalu salah. Ayah, Ibu, dan Abang … gak ada yang percaya sama aku."
"Kamu!"
Sebuah tamparan mendarat di pipi kiri Rey. Saking kerasnya, sudut bibir anak itu sampai koyak dan berdarah.
"Mas, jangan kasar."
Ani meraih tangan Rey dan membawa ke dekapannya. Akan tetapi, Galis kembali menarik sang anak dengan kasar dan menyeretnya keluar.
"Kamu tunggu di situ! Ari juga."
Galis menutup pintu dan membawa Rey ke garasi mobil yang ada di samping rumah. Ia mengambil kursi kecil yang ada di sudut ruangan dan mendorong pundak Rey agar duduk di sana. Laki-laki itu lalu duduk bersila dan menatap anaknya lamat-lamat.
"Ayah tanya baik-baik, kamu dari mana?"
Remang. Rey hampir tak melihat apa pun. Ia lantas mencengkeram pahanya yang gemetaran. Giginya kian bergeretak saat tangan Galis memegang bahu dan menekannya kuat-kuat.
"Jawab, Rey."
"Aku dari sekolah, Yah."
"Mau sampai kapan kamu seperti ini? Ayah gak pernah ngajarin kamu buat berbohong, main kasar, apalagi bolos sekolah."
Anak itu tersenyum getir. Matanya mulai berkaca-kaca saat mengucap, "Iya, memang gak pernah. Karena lebih tepatnya, Ayah gak pernah ngajarin apa-apa ke Rey."
"Rey!"
Lagi-lagi Galis mengotori tangannya. Ia tak tahan dengan ketidaksantunan yang Rey miliki. Meski gelap, ia dapat melihat jelas, betapa mirip tatapan anak itu dengan mantan istrinya. Bahkan sempat terbersit dalam benak bahwa kelakuan mereka pun tak jauh berbeda.
"Kalau setelah ini kamu masih membuat masalah, Ayah akan bawa kamu ke desa."
Laki-laki itu pun bangkit dan keluar dari garasi. Tak lupa ia mengunci pintu dan membiarkan Rey berbicara dengan dirinya sendiri. Galis berharap, gelap yang akan menemani bisa menyadarkan anak itu atas segala hal.
Day 14
17 Januari 2021
Maaf ya 🥺
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top