[L = π.r²]
Jika diberi kesempatan untuk menyalahkan waktu, Rey akan berpikir dua kali kala melakukannya. Bagaimana ia tumbuh bersama sayatan itu tidaklah buruk. Toh, Tuhan tahu proses mana yang harus ia pijak.
Namun, tanda merah pada rapornya kelak sungguh tak pernah ia inginkan. Berkali-kali dihadapkan dengan ruangan konseling pun tak pernah ia kira. Terlebih diseret hingga menggeligis juga tak pernah ia damba. Kalau memang ini jalur yang diberikan, mengapa demikian?
Tiga hari bukan waktu yang lama. Apalagi Rey tetap mendapat tugas mandiri di samping makalah utama. Pagi hingga senja ia habiskan untuk berkutat di depan komputer tanpa interupsi siapa pun.
Hari ini ia kembali bersekolah. Meski tak begitu antusias, Rey tetap merindukan senyum para satpam saat menjaga gerbang.
Lelaki itu cukup terlambat dari biasanya. Sepuluh menit lagi bel sekolah 'kan berdentang dan mars pun dikumandangkan. Rey pun memutuskan untuk segera ke kelas dan mengunjungi perpustakaan saat istirahat siang.
Langkah yang tergesa itu tertahan di ambang pintu. Suasana yang selalu sunyi kian mencekam sampai menusuk kulit. Bagaimana tidak, seluruh sorot lamat-lamat menatap Rey yang belum berkutik di tempatnya.
Anak itu menelan ludah. Ia lantas menunduk, menghindari banyaknya pasang mata yang memandang. Namun, alisnya mengernyit saat menghidu sesuatu.
"Lili?"
Rey mengambil bunga tak bertuan yang berserakan di meja dan lekas mengedarkan mata. Namun, ia tidak mendapati apa pun. Siswa kelasnya telah kembali fokus ke buku paket masing-masing.
Anak itu mengumpulkan satu per satu bunga tersebut dan bermaksud menyimpannya di dalam laci. Akan tetapi, ia kembali dikejutkan dengan banyaknya sampah plastik bekas makanan ringan.
Bunga-bunga tersebut pun jatuh dari genggaman Rey. Ia lantas memainkan kukunya saat merunduk dan mensejajarkan diri dengan meja. Sejauh mata memandang, semakin banyak pula yang ia dapatkan. Bahkan, air mineral kemasan yang masih bersisa pun ada di sana.
Mars yang menggema melalui speaker menuntun Rey untuk bangkit. Sama seperti yang lain, ia turut melantunkan lirik penuh harap tersebut. Namun, apa yang ia ucap dan apa yang ia pikir tidaklah selaras.
Siapa pelakunya? Mengapa ia berbuat demikian? Apa lagi yang salah? Dan masih banyak pertanyaan berbeda yang terus-menerus meneror lubuk hingga benak.
Doni dan kawan-kawannya masih diskors sampai empat hari ke depan. Tak mungkin rasanya kalau mereka jauh-jauh ke sini hanya untuk melakukan hal superkonyol. Namun, Rey tak dapat menemukan potensi lain.
Ia pun mendengkus, memungut satu per satu lalu membuangnya ke tempat sampah. Rey melakukannya sampai bolak-balik sebanyak tiga kali. Penghuni kelas yang sadar akan hal itu hanya melirik dan kembali tak mengindahkan.
Sepanjang pelajaran berlangsung, daya pikir Rey tak dapat mencerna dengan baik. Fokusnya berlarian ke mana-mana. Ia terus menopang dagu dengan gigi bergeretak. Hendak mencatat pun percuma, tangannya nan dingin masih saja gemetaran.
Guna memperbaiki perasaan, Rey tak langsung ke perpustakaan. Ia memilih 'tuk mengisi perut di kantin. Nasi goreng dan susu cokelat menjadi pilihannya.
Di tengah keramaian lalu lalang siswa, Rey seorang diri duduk di bagian tengah. Canggung, memang, tetapi ia tak memiliki pilihan apa pun. Bergabung dengan Ari? Tentu lebih tidak mungkin lagi. Anak itu lebih berminat memainkan bola basket di lapangan.
"Lo Rey, kan?"
Sang empunya nama mendongak. "Iya?"
"Boleh kita gabung di sini?"
Mata Rey berkeliling. Ia tak mengenal tiga laki-laki di hadapannya ini sama sekali. Lalu, ia menoleh dan mendapati tak banyak kursi yang tersisa.
Rey pun mengangguk. "Silakan."
Salah satu dari mereka menyeringai. Bukannya duduk, ia malah menumpahkan makanannya di piring Rey. Siswa kedua dan ketiga pun melakukan hal yang sama.
"Heh!"
Rey refleks bangkit, tetapi pundaknya ditahan lalu didorong untuk duduk kembali. Cukup kuat, sampai beringsut-ingsut pun tak dapat ia lakukan.
Selesai dengan tiga piring yang mereka bawa, tiga siswa ber-badge biru itu enyah. Namun, semua itu tak berhenti sampai di sana. Satu per satu murid lain yang tak Rey kenal turut serta sampai berserakan mengotori meja.
Anak itu hanya bisa diam dan menatap lekat tanpa jeda, menyaksikan butir-butir nasi itu turun dan berakhir mengenaskan. Setitik air matanya muncul di pelupuk. Akan tetapi, sakit yang menghujam dada enggan untuk mengantar tetesannya.
Rey mengangkat dagu. Teduh binar lelaki yang duduk tak jauh dari kursinya lantas mencuri perhatian. Ia segera bangkit setelah tak ada lagi yang menghampiri.
Tujuannya hanya satu, tempat duduk Rama. Langkahnya tergopoh-gopoh sampai beberapa kali membentur bangku lain. Namun, Rey tetap meneruskan hasratnya untuk lekas menarik kerah (mantan) kawannya.
"Puas lo sekarang?"
Deru napas Rey berpacu dengan pancaran matanya. Nanar dan meratap. Rama masih memalingkan muka tanpa berusaha untuk melepaskan diri.
"Kenapa lo blok semua akun gue? Mau kabur? Sebenarnya apa salah gue? Kenapa lo nuduh gue kayak gini, Ram?"
Seluruh siswa yang semula menikmati santapan masing-masing spontan melirik. Tak sedikit dari mereka yang mengabadikan momen tersebut lalu kembali menyuapkan nasi.
Rey belum melepaskan cengkeramannya. Mata anak itu juga belum meredup. Amarahnya kian menggelut kala mengingat dingin air kamar mandi beberapa waktu lalu.
"Jawab, Ram!"
"Apa! Apa, Rey?"
"Kenapa lo nuduh gue kayak gini?" ulang Rey dengan penuh penekanan.
Rama tersenyum pahit. Ia balas tatapan Rey dan keduanya pun beradu tanpa kedip. Anak yang masih berbalut perban itu berdecak sebelum menyingkirkan tangan Rey dari seragamnya.
"Gue gak nuduh lo. Memang lo pelakunya, Rey. Lo pelakunya!"
"Maksud lo apa sih, Ram?" Rey mengacak rambut. "Okelah kalau lo emang mau nipu semua orang di sekolah kayak gini, tapi seenggaknya lo jujur sama gue."
Rama terus menggeleng saat Rey mengucap demikian. Ia sedikit mendongak saat air matanya hendak menetes. Sakit itu kembali terpanggil. Lara yang menetap sejak lengannya diputar dan ditarik secara brutal itu kembali terasa.
"Gue kayak gini emang gara-gara lo, Rey. Apa yang terjadi sama gue ini karena lo. Lo-lah pelakunya."
"Ram ...."
"Kalau aja lo dengerin perkataan gue waktu itu, ini semua gak akan terjadi. Tangan gue gak akan kayak gini dan gue gak akan dikeluarin dari projek pertama KIR."
Rey tertegun. Kakinya bergetar dan refleks mundur beberapa langkah. Ia pun menabrak kursi dan jatuh terduduk.
"Ini semua gara-gara lo, Rey."
Kalimat tersebut menjadi penutup sebab Rama lekas enyah dengan tergesa-gesa. Rey yang masih menatap kosong hanya bisa termangu dan menggigit bibir. Tak terasa air matanya pun menetes.
Jadi, ini benar-benar salahnya? Meski secara tidak langsung, ia benar-benar melakukannya? Benarkah begitu? Rey berusaha menolak dengan terus menggeleng.
Anak itu lekas memeluk lutut, berteriak dalam diam dan meluapkan tangisnya. Panas dari udara sekitar bak lenyap, berganti dingin yang menyelimuti tubuhnya.
Hari ini tak lebih baik dari kemarin. Sayat-sayat itu kembali mengimpit dada yang tak pernah lapang.
Day 10
11 Januari 2021
Dikit, tapi akhirnya separuh jalan 🤧
Semangat 10 bab lagi 💪🏻
Bocil jangan sedih terus, dong. Mama ikut termehek-mehek, nih 😭
Semoga kalian cepat baikan, ya 😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top