[a1 : b2 ≠ b2 : a1]
Ari mengeringkan rambut menggunakan handuk dari suvenir pernikahan teman ibunya. Setelah bergulat dengan stik PS, ia lekas mandi untuk bergegas menjaili Ani di dapur. Namun, langkahnya terhenti kala menangkap sosok yang berdiam menatap jalan raya.
Sejak pulang dari sekolah, Rey mengurung diri di kamar dan menghabiskan waktu di balkon. Masih ditemani dengan sahabat setia, yaitu catatan harian nan lusuh, pensil sebesar telunjuk, dan musik yang terputar melalui ponsel.
Besar hasrat Ari untuk mendekat. Ya, sekadar berbasa-basi guna mengakrabkan diri. Akan tetapi, aneh agaknya jika tanpa angin ia berjalan dan bertanya sedang apa. Ari tidaklah kreatif dalam memulai percakapan.
Laki-laki itu mengangkat bahu lalu menggantung handuknya pada kapstok. Ia mengambil kaus putih oblong dan langsung mengenakannya.
"Ibu!" seru Ari menuruni tangga.
"Sstt, jangan teriak-teriak." Ani mengingatkan.
"Ups!"
Ari pun mengangguk dan menutup mulut. Ia bahkan memperlambat jalannya dengan berjinjit. Ani menggeleng pasrah melihat kelakuan anak itu.
"Ibu masak apa?" ucap Ari tepat di samping telinga ibunya. Tak lupa kedua tangan memeluk erat dari belakang.
"Hmm, gak liat? Ini lagi masak terong balado. Kesukaan anak Ibu yang paling ganteng."
"Hehe, sayang deh!"
Ani pun terkikik. Meski risi, ia tetap membiarkan Ari menempel padanya.
"Adik di mana?"
"Adik?"
"Hayoo, lupa?"
Ari tampak berpikir sebelum menepuk jidat. "Astaga, bodohnya Ari!"
Sang ibu semakin tergelak dan mengambil tempe goreng yang ada di dekat kompor. Tanpa permisi, Ani menyuapkannya ke mulut Ari. "Makan dulu biar sadar."
"Ma-maaf, Bu." Ari menelan makanannya lalu kembali mengucap, "Rey masih di balkon. Ari belum ngobrol lagi."
"Kenapa? Ada masalah?"
Anak yang rambutnya tampak lurus kala basah itu menggigit bibir. Ia melepas pelukannya dan duduk di kursi dapur. Ari menopang dagu, mendengkus lalu menggaruk tengkuk.
"Enggak, sih. Cuma … masih kaku aja. Ari deketinnya pelan-pelan aja."
Ani mematikan kompor dan berjongkok di depan anaknya. "Pinter, jadi abang emang kudu jagain adiknya. Pelan-pelan, nanti Rey pasti nempel. Asal, Ari gak berhenti usaha. Ngerti 'kan?"
"Siap, mengerti, Bu Bos!"
¶
Rey mengurut pangkal hidungnya pelan. Saat di desa dulu, neneknya sering melakukan hal serupa. Bedanya, ia selalu menggunakan koin 500 perak yang dibaluri minyak kayu putih.
Berkat hawa panas Jakarta, Rey harus mendekam di ruangan ber-AC. Bila dingin telah menusuk tulang, Rey akan beranjak menuju balkon, menghabiskan waktu dengan udara yang membakar kulit. Namun, kedua hal ini tidak membuatnya lebih baik.
Anak itu lekas menutup buku dan keluar kamar. Sejak setengah jam yang lalu Ari memanggilnya untuk makan malam. Hanya saja, Rey belum terbiasa dengan atmosfer baru di rumah ini.
Langkah kaki yang memberat setiap menuruni tangga itu berhenti. Lagi-lagi Rey terpaku dengan keharmonisan yang tampak sempurna dari atas. Terlebih, ia bisa melihat senyum sang ayah saat Ari mengeluarkan candaan supergaring dan apa adanya tersebut.
"Eh, Rey. Sini!"
Terkesiap, anak itu tersenyum tipis dan mengangguk. Kali ini ia harus duduk di samping Ani sebab Ari menukar posisi keduanya. Sebelum duduk, Rey menggeser kursi beberapa senti menjauhi ibu tirinya.
"Kenapa lama banget sih, Rey? Gak liat apa kalau ibu dan abang kamu udah nungguin?" bentak Galis.
"Rey belajar dulu, Yah."
Jawaban singkat tersebut cukup membuat Galis senang. "Baguslah. Kalau perlu, kamu ikut Bang Ari les di Gritama."
"Les, Yah?"
Galis mengaduk nasi dan lauk pauk yang Ani berikan. "Iya, biar kamu cepat beradaptasi."
Rey tertegun. Entah apa yang berhenti di benaknya saat sang ayah mengucap demikian. Kalaupun ia benar-benar perlu beradaptasi, sungguhkah jalan ini yang harus ia lalui? Sementara Ari hanya menatap sambil tersenyum dan mengangguk tipis. Rey tak mampu mencerna.
"SMA Kemuning itu anaknya pinter-pinter lo, Rey. Rata-rata dari sekolah kota. Bang Ari salah satunya. Dari kelas 10 dia ikut basket dan menang di mana-mana. Malah tahun kemarin jadi ketua OSIS. Iya, 'kan, Bang?" terang Galis panjang lebar.
"I-iya, Yah."
"Nah, makanya, Rey ikut Abang les aja. Kan dulu di desa gak semaju ini. Gak ada apa-apanya. Biar kamu gak ketinggalan, Nak. Masak kalah sama Bang Ari."
Hasrat lapar dan haus yang menguar sejak makan siang lantas sirna. Hanya dengan kalimat tersebut, Rey menurunkan sendok dan garpunya. Tatapan anak itu kosong dan layu, menatap meja makan bermotif kembang putih dan cokelat.
Melihat gerak yang tak biasa, Ani mencoba mengusap lengan suaminya. Namun, Galis masih terus mengoceh dengan hipotesa status yang tak perlu.
Geram, ia pun menyela, "Sudahlah, Mas. Rey kan baru saja masuk. Pelajaran juga belum dimulai. Gak perlu terburu-buru begitu. Kan kalau ada apa-apa masih ada Ibu."
"Nah, justru itu, Bu." Galis meneguk separuh gelas air. "Karena kamu kerja jadi guru BK di sana, Rey gak boleh malu-maluin."
"Mas--"
"Sudah, Tante gak perlu repot-repot belain Rey, kok," lirih anak itu dengan kepala tertunduk. Ia masih sibuk mengikis kuku.
"Rey, hargai ibumu!"
Galis tak berhenti menatap anaknya. Ari yang lagi-lagi mendengar perdebatan di meja makan hanya bisa menatap terong balado--favoritnya. Ia belum berani bertindak.
"Harus berapa kali Ayah bilang? Jangan manggil Ibu dengan sebutan itu."
"Tapi Tante Ani bukan ibu Rey, Yah."
"Rey!"
Galis berdiri sambil menggebrak meja. Ia berkacak pinggang dengan napas kembang kempis. Amarahnya sudah tersulut hingga membakar ubun-ubun.
"Kalau kamu tetap kekanak-kanakan seperti ini, Ayah bakal kembalikan kamu ke--"
"Sudah, Mas. Sudah,"--Ani menarik tangan Galis agar lekas duduk--"kita makan dulu."
Rey menelan ludah. Kuku telunjuk kanannya telah habis terkikis hingga terkoyak. Ia turut meremas paha sebab kedua kakinya terus bergetar.
Tidak tahan lagi, anak itu memundurkan kursi secara tiba-tiba dan beranjak pamit, "Rey ke atas dulu. Makasih makan malamnya ya, Tan."
"Ta-tapi, Rey kan--"
Tanpa menyentuh hidangan sedikit pun, anak berkulit pucat itu meninggalkan ruang makan. Susah payah Rey menyeret kedua kaki nan kaku. Ia kembali mengutuk diri karena harus melewati tangga.
Keringat dingin Rey telah beradu dengan panasnya kening. Pening yang semula hanya menyerang pelipis telah menyebar sampai belakang kepala.
Berulang kali Rey mengambil napas dan membuangnya perlahan. Ia juga mengerjap-erjap sebab pandangannya sedikit berbayang. Setidaknya Rey masih bisa bersyukur, ada pembatas tangga yang bisa dijadikan tumpuan.
Sadar akan situasi yang tidak baik, Ari pun turut beranjak dan mengikuti Rey. Dua bersaudara yang berbagi kamar itu kini berada di satu ruangan. Hening, tanpa ada yang menginterupsi.
Rey masih duduk di kasur, mematung menatap cermin meja belajar yang menampakkan refleksinya. Ari yang berdiri di ambang pintu lekas menarik kursi kecil di samping nakas dan duduk berhadapan dengan sang adik.
"Gue minta maaf," ucap Ari perlahan.
"Minta maaf kenapa, Bang?"
"Karena--"
"Minta maaf karena telah memenuhi ekspektasi Ayah sampai gue pun kudu serupa dengan lo?"
Ari mendengkus. Besar nafsunya untuk menjelaskan segala hal, tetapi egonya berusaha mengalah dan memperbaiki keadaan.
"Gue minta maaf atas nama Ayah. Dia gak bermaksud ngomong kayak tadi. Mungkin, dia refleks karena mau yang terbaik buat lo."
Rey tersenyum pahit dengan tawa yang menusuk. "Bang Ari gak semestinya bilang begitu."
"Rey--"
"Ayah bukan ayahnya Bang Ari. Gak seharusnya lo mewakili dia buat minta maaf kayak gini. Klasik. Lagian, Rey gak apa-apa, kok. Gue bakal les, seperti yang Ayah mau."
Ari terpaku. Fakta yang sekuat tenaga ia negasikan malah terucap semudah itu dari bibir Rey. Ia hanya bisa menelan ludah dan mengambil napas dalam-dalam.
Rey lekas berbaring dan menarik selimut sampai menutupi dada. Ia terus-menerus menggumamkan kata maaf saat berbalik memunggungi Ari.
Semuanya kaku. Rey tak bisa menyalahkan siapa-siapa. Ia hanya mampu memejamkan mata dan menyelami alam mimpi dengan perut kosong dan lelah yang menghujam.
Meski hari ini tak lebih apik dari kemarin, setidaknya ia masih memiliki kesempatan berdoa untuk esok hari.
Day 3
3 Januari 2021
Kalau lagi dibandingkan begini, kalian tim mana, Guys?
(Please, aku dah mencoba seimut mungkin, masak masih gak dipilih?)
Tapi …
(555, yakin gak oleng? Sama Bang Ari aja sini!)
Ah, ya sudahlah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top