[2n-1]
Genggamannya pada tali ransel kian menguat setelah sebuah tepukan mendarat di bahu. Rey hanya tersenyum kala Ari berlari dan melempar tasnya ke tepi lapangan. Dengan gesit ia mengambil alih bola basket dari siswa lain. Laki-laki bertubuh tinggi itu dengan mudah melompat dan mencetak skor.
Sang kakak pun melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan. Toh, kelas mereka tidak berada di gedung yang sama. Kelas Ari di sisi kanan gedung kedua, sedangan kelas Rey di sisi kiri gedung pertama.
Anak itu berjalan menyusuri lorong sambil menghafalkan berbagai rumus yang akan diujikan minggu depan. Kali ini Rey tidak menunduk. Ia tak mau tersungkur untuk kedua kalinya seperti beberapa waktu lalu.
Sesekali Rey memandang sekitar. Sebagian besar dari siswa-siswi yang bertebaran di depan kelas melakukan hal yang serupa dengannya, memegang catatan sambil komat-kamit.
Kelasnya telah ramai penghuni. Namun, tak ada kegaduhan sama sekali. Fokus mereka tetap pada buku paket yang tebalnya tak kalah dengan kitab suci.
Rey menerobos hening dan lekas duduk di bangkunya. Berhari-hari di sini tak membuat anak itu bersosialisasi dengan baik. Bukan tak mau, melainkan tak bisa. Hendak bersuara pun tak akan ada yang menanggapi. Tempat ini tak jauh berbeda dengan arena kompetisi.
Mars yang menggema melalui speaker utama memanggil seluruh murid 'tuk refleks berdiri. Begitu pula dengan Rey. Ia mengusap dada kala sekelilingnya terburu-buru bangkit hingga menimbulkan decitan yang teramat mengganggu. Perlahan, ia mengepalkan tangan dan menaruhnya di depan dada.
Kuat, kuatlah Kemuning
Junjung dan torehlah namamu
Prestasi-prestasi ini ...
Kan mengharumkan bangsa
Tegak, tegaklah Kemuning
Berdiri dan kukuhkan namamu
Prestasi-prestasi ini ...
Kan memulihkan negara
Tak seberapa lama, wanita berhijab kuning keemasan masuk membawa setumpuk kertas. Setelah menyapa dengan rona yang merekah, ia meminta siswanya untuk duduk dan mengeluarkan alat tulis.
"Hari ini Ibu ingin membagikan hasil pre test kemarin. Bagi yang namanya dipanggil, silakan maju, ya."
Rey menopang dagu. 'R' bukan golongan awal yang membuatnya disebut terlebih dulu. Nomor absennya saja tiga dari bawah. Ia pun mendengkus saat gurunya mulai berdiri dan bertumpu pada meja.
"Reyga Aditya."
Sang empunya nama mengernyit bingung. Ia lekas menegap dan menunjuk diri. "Saya, Bu?"
"Iya, kamu."
Rey berjalan gontai sambil menggaruk tengkuk. Namun, senyumnya perlahan tersungging saat menerima selembar kertas itu. Angka 98 yang ditoreh menggunakan spidol merah tertera jelas di pojok kanan. Bukan angka yang kecil.
"Nilai pre test biologimu paling tinggi sekelas, bahkan seangkatan. Selamat, ya."
"Te-terima kasih, Bu."
Tepuk tangan yang terdengar meriah membuat Rey sontak menoleh. Ia tersenyum tipis kala seluruh mata menatapnya dengan sudut bibir yang menurun. Ia pun mempercepat langkahnya dan segera duduk kembali.
Guru tersebut melanjutkan tugasnya. Satu per satu siswa dipanggil berdasarkan perolehan nilai tertinggi. Tak sedikit yang menyatukan tangan dan merapal doa, berharap namanya lekas mendapat giliran.
Rey bergidik. Ia menggeleng pelan lalu memasukkan lembar jawabannya ke dalam laci. Namun, sensasi perih tiba-tiba menusuk telunjuk dan jari manisnya.
"Aw!" serunya mengaduh.
Dengan cepat Rey menarik tangannya. Ia menelan ludah saat mendapati dua paku payung menancap di kedua jarinya.
Rey terbelalak. Tangannya mulai bergetar dan ronanya pun memucat. Pelan, Rey mencabut kedua paku itu menggunakan tangan kirinya.
Nyeri, sekumpulan tetes darah lantas mengalir. Rey spontan menghisap jarinya dan memejamkan mata. Kini sensasi amis turut memenuhi mulut. Sungguh, ia ingin meludah secepat mungkin.
Setelah mereda, anak itu refleks menggigit bibir lalu menunduk ke arah laci. Jantungnya berdegup cepat saat menemukan belasan paku serupa menyebar di sana. Rey mengembuskan napas panjang, menoleh dan mengedarkan pandangan. Namun, tak ada gelagat yang menjawab linglungnya.
"Maaf, Bu, saya permisi ke UKS."
Seluruh siswa kompak menoleh ke arah anak yang mengangkat tangan. Dengan bibir gemetaran, Rey menjelaskan seadanya. Ia tak mungkin sejujur itu dengan mengatakan hal yang ia sendiri belum tahu apa pun. Anak itu segera enyah dari kelas setelah gurunya mengangguk dan melanjutkan presensi.
¶
Doni membalik setiap halaman dan melihatnya sekilas. Sesekali ia menjilat jarinya 'tuk mempermudah urusan tersebut. Sam yang tak acuh akan hal itu lebih memilih berkaca pada jendela sambil menyisir rambut. Luis hanya bisa menggeleng.
"Kamu gak usah khawatir, Bapak pastikan gak ada yang meleset."
Pak Geri kembali meneguk segelas kopi yang ia bawa dari kantor. Lorong menuju kantin yang berdekatan dengan UKS dan ruang ekstrakulikuler ini sangatlah sepi saat jam pelajaran. Tak ada yang menghalangi keleluasaan mereka.
"Kalian cuma harus menjamin semuanya berjalan lancar," tambahnya.
"Kenapa gak dikasih pas les sih, Pak? Atau di tempat lain gitu," keluh Luis seraya membenahi kacamatanya.
"Ck, gak usah banyak ngomong. Di Gritama banyak CCTV, sedangkan Bapak gak punya banyak waktu untuk keluar, apalagi hanya bertemu dengan kalian. Terima saja, toh di sini gak ada yang mengawasi."
Doni mengangguk tanpa sepatah kata pun. Rautnya memerah setelah selesai meneliti setumpuk kertas putih itu. Ia tersenyum puas seraya menyerahkannya pada Luis.
"Makasih, Pak. Nanti Doni bilang ke Papa."
Pak Geri mengangguk. Ia menandaskan minumannya lalu menepuk bahu Luis. "Pelan-pelan aja, gak ada yang bakal nyuri itu dari kalian."
Luis menyingkirkan tangan tersebut. Ia mundur beberapa langkah kemudian berdiri di belakang Doni. Anak yang masih menyilangkan kaki itu terkekeh atas kelakuan sahabatnya.
"Santai dong, Lu. Pak Geri gak gigit."
"Tapi Don ...."
"Ssttt!"
Tiada angin maupun hujan, Sam tiba-tiba menginterupsi. Sosok yang masih menggenggam sisir itu menangkap bayangan yang mencuri mata. Ia pun melirik ke belakang dan memberi isyarat pada kawannya untuk menoleh. Penasaran, Pak Geri pun turut melakukannya.
Seorang siswa baru saja keluar dari UKS dengan jari yang terbalut. Doni tentu tahu betul gerangan yang tengah menatap mereka dengan serius itu.
"Anak pinter, tuh. Santapan Bapak."
Pak Geri hanya menggeleng pelan. Ia lekas beranjak dan mendekati murid tersebut. Senyumnya mengembang saat jarak di antara mereka tak lebih dari dua langkah kaki.
"Sakit, Rey?" tanyanya.
Anak itu menunduk menatap jarinya. Seakan paham, Pak Geri kembali bertanya, "Lain kali hati-hati."
Sekali lagi tanpa suara, Rey mengangguk. Pandangannya tak terlepas dari anak-anak Fanstrio yang juga menatapnya kosong.
"Oiya, selamat, ya. Kata Bu Dewi nilai pre test biologimu paling tinggi seangkatan. Bapak bocorin, nih, nilai matematikamu juga gitu."
Rey menelan ludah. "Saya, Pak?"
"Iya, jawabanmu gak ada yang salah. Kamu memang benar-benar bibitnya Bu Ani."
"Makasih, Pak."
Pak Geri memasukkan tangannya ke kedua saku. Kakinya mengentak-entak hingga membuat Rey hilang fokus. Anak itu berkali-kali terkecoh saat ingin memperhatikan hal lain.
"Saya kemarin liat kamu di Gritama. Kamu daftar les di sana, kan? Saya salah satu staf pengajar juga. Kalau mau, kamu bisa ikut program olimpiade yang saya bimbing. Bagaimana?"
Hening. Doni pun belum berkedip. Sayup-sayup percakapan dua lelaki beda generasi itu terdengar olehnya. Pertunjukan tersebut sangat sayang untuk dilewatkan. Anak itu lantas menyeringai saat bola mata Rey berhasil bertemu dengan miliknya.
"Maaf, Pak, saya permisi."
"Tunggu," tahan Pak Geri. "Kamu belum menjawab ajakan saya."
Rey menatap tangan kanannya, seolah meminta untuk dilepaskan. Ia lantas mengalihkan wajah ke arah Fanstrio yang terkekeh tanpa melihatnya. Anak itu menarik diri seraya tersenyum dan membungkuk.
"Diam juga merupakan jawaban, Pak."
Day 6
8 Januari 2021
Maaf ya, lagi-lagi telat 🙏🏻
Makan dulu biar kuat menghadapi siders 💪🏻
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top