[1÷0 = ~]

Rey tak berpikir dua kali untuk merendam diri di bak mandi kamarnya. Sosok yang memandang kapstok dengan tatapan kosong itu memijat tengkuk secara perlahan. Penat yang menjalar setelah berjibaku dengan jalan raya pun menuntun untuk menenggelamkan diri.

Semua bermula saat kedua kakinya menginjak pelataran rumah klasik--cenderung kuno--yang cukup luas dan rindang. Nuansa cokelat dari ukiran kayu pada kursi dan tiang menjatuhkan ekspektasi yang ia bawa dari desa, terlebih saat wanita paruh baya bercelemek lusuh tergopoh-gopoh menghampiri Rey dan ayahnya.

"Macet, Mas?" tanya Ani.

Setelah membuka gerbang dengan senyum yang terlihat sejak di ambang pintu, ia mengambil alih tas besar yang dibawa oleh Galis, suaminya. Rey pun mengalihkan pandangan saat iris pekatnya bertemu dengan milik sang ibu baru.

"Lumayan. Masuk, Rey."

Anak yang tak lebih tinggi dari ayahnya itu terperanjat. Ia pun mengangguk dan berjalan mengikuti sejoli di depannya.

"Duduk dulu, Ibu bawakan minum."

"Makasih, Tante."

"Rey!" tegur Galis dengan nada tinggi.

"Gak apa-apa, Mas." Ani menyela tanpa menatap siapa pun. Ia sibuk menata bawaan Rey di samping kursi ruang tengah. "Sebentar, ya," ucapnya sekali lagi sebelum melangkah ke dapur.

Lelaki yang menginjak akhir 40 itu mengusap wajahnya gusar. Helaan napas kasar muncul saat duduk tepat di hadapan sang anak. Meski berat, ia tidak mungkin mendiamkan ketidaksopanan tersebut.

Galis memandangi sosok yang menunduk sambil memainkan ponsel. Ia memperhatikannya tanpa jeda, bagaimana Rey membungkuk lalu menegap kembali berulang kali guna menenangkan kaki yang gemetaran. Peluh di sekitar pelipisnya pun kian berdatangan.

Hunian minimalis itu hanya memiliki dua kipas angin yang menempel di langit-langit. Sungguh tidak cukup untuk menangkal udara panas Jakarta, apalagi untuk anak yang 15 tahun hidup di pedesaan nan sejuk dan bebas hiruk-pikuk ibu kota.

"Ayah, kan, sudah bilang, panggil dia Ibu."

Rey menelan ludah dan mengusap keringat yang mengalir hingga pipi. Ia mengatupkan bibir lalu menggigit bagian dalamnya. Sesekali anak bertubuh kurus itu mencuri pandang lalu memalingkan wajah. Ia lagi-lagi menunduk dan memainkan ponsel.

"Rey, dengar Ayah, kan?"

Sang empunya nama hanya mengangguk tanpa mengangkat kepala.

"Pinter. Jangan diulangi lagi, ya. Ayah mau--"

"Diminum dulu," potong Ani yang membuat Galis menoleh tajam.

Wanita yang mengikat rambut setinggi telinga itu tersenyum dan menggeleng pelan. Ia menaruh nampan di atas meja dan duduk di sebelah Galis. Kakinya menutup rapat dan tangan bertaut di atas paha.

"Makasih, Tante."

"Rey--"

"Iya," ucap Ani seraya mencengkeram tangan Galis, berusaha menahan apa pun yang ingin dikatakannya. "Ayo, diminum. Kata Ayah, Rey suka susu cokelat, kan?"

Tanpa suara, Rey mengangguk dan meneguk suguhan tersebut.

"Emm, setelah ini kamu bisa istirahat di kamar. Barangnya ditata nanti aja kalau Bang Ari udah pulang, ya."

"Rey bisa sendiri kok, Tan."

"Tapi--"

"Kamarnya di mana?" tanya Rey setelah menghabiskan soul drink-nya.

Galis dan Ani beradu tatap sebelum beranjak dari kursi. Tanpa menunggu seruan, Rey mengikuti langkah mereka dengan hati-hati. Matanya mengedar, mengamati setiap bingkai foto yang ada di dinding dan lemari kaca. Namun, tidak ada dirinya.

Cukup dengan memori yang tak begitu menyenangkan, Rey pun keluar dari air dan mengusap wajah. Buku-buku tangannya telah memutih dan keriput. Maklum, hampir setengah jam ia menyendiri di sana.

Laki-laki itu beranjak mengambil kemeja hasil undian Agustus-an yang baru saja digantung. Kasur yang jauh lebih empuk dari miliknya semasa di desa segera ia jajah sebelum kakak tirinya pulang.

Setelah menata baju dan buku, daya Rey cukup terkuras. Satu jam lebih ia habiskan hanya untuk melipat pakaian. Ayahnya tidak membeli lemari dan meja baru, alhasil Rey--atau Ari karena dia-lah pemilik kamarnya--harus berbagi tempat.

"Iya, santai aja. Ntar gue kirim. Iya, iya, udah. Bacod, lu! Jangan ngada-ngada."

Rey terkesiap kala mendengar perbincangan dari luar kamar. Anak yang baru merebahkan tubuh selama lima menit itu lekas bangun dengan tegap. Ia menelan ludah dan meremas celana sebelum akhirnya lari ke balkon.

Ari masuk tanpa mengetuk pintu. Seperti biasa, ia menyimpan bola sepaknya di bawah meja dan menggantung tas bersama handuk dan pakaian lain. Pandangannya kemudian beralih pada sosok yang menatap jalan raya.

Anak berambut agak ikal dan legam itu tersenyum tipis. Ayah dan ibunya sudah memberi kabar.

"Udah dateng ternyata. Pantes, kamar jadi lumayan rapi."

Rey menoleh sekilas sembari tersenyum tipis. "Ma-maaf, Bang."

"Eh,"--Ari duduk di depan anak yang dua tahun lebih muda darinya tersebut--"gue gak marahin lo, malah makasih banget."

Hening, Rey masih tenggelam akan kecanggungan buatannya. Tak sedikit pun ia berani melirik anak yang dewasa ini menjadi kakaknya. Ari masih saja tersenyum memaklumi.

"Ari," ucapnya mengulurkan tangan.

Kedua mata Rey bertemu dengan milik Ari saat mengangkat dagu. Aura yang terpancar menyapanya dengan tenang. Meski beralis tebal dan rahang yang tajam, mata sipit Ari menyeimbangkan ketegasannya. Perlahan, Rey membalas senyum Ari dan menjabat tangan sang kakak.

"Rey."

"Makasih ya udah beresin kamar. Harusnya lo nunggu gue aja."

"Emm … ma--"

"Jangan salah paham dulu," sela Ari. "Gue bukan gak suka, cuma sungkan aja. Masak adik sendiri dibiarin nge-babu. Kan Abang bisa bantu, Rey."

Rey mengangguk kaku. Kata 'adik' dan 'abang' masih terasa asing di telinganya. Refleks, ia mengusap wajah dan mendengkus.

Ari belum berpaling. Raut wajah anak berkulit pucat di depannya penuh bahasa. Tanpa suara, ia tahu keadaan ini belum diterima sepenuhnya. Namun, kata per kata dari ayah dan ibunya terus hadir 'tuk mengingatkan.

Anak di tahun terakhir SMA itu beranjak, memberi Rey ruang untuk menyamankan diri. "Gue mandi dulu. Kalau ada apa-apa, nanya aja."

Tawaran itu cukup menggetarkan hati. Meski belum sepenuhnya mengusir pikiran buruk yang membelenggu, Rey sedikit bernapas lega. Setidaknya, ia menemukan tempat pelarian.

Keesokan harinya, Galis pun mempercayakan Rey kepada Ari. Ia tak ingin repot-repot mengantar anaknya sebab lokasi kantor dan sekolah mereka berbeda arah. Tak ingin berdebat, mau tak mau Rey mengiakan.

"Berita kali ini datang dari SMA Kemuning. Lagi-lagi sekolah swasta yang menyabet juara umum olimpiade nasional ini berhasil mencetak keberhasilannya di tingkat internasional. Kemarin, …."

Rey menelan ludah. Ia segera mematikan berita dari siaran radio tersebut. Anak itu beralih memutar musik dan mengencangkan volume.

Ari berlari-lari kecil setelah memarkirkan motor. Ia lantas memperlambat langkah saat mendapati Rey masih mematung di tempat yang sama. Tanpa berkedip, tanpa berkutik. Pandangannya kosong, tetapi penuh tanya.

"Rey!" panggil Ari. "Rey!" Kali ini ia menepuk punggung adiknya.

Anak itu tersentak dan refleks melepas perangkat jemala. "Iya, Bang?"

"Dengerin apa, sih? Kok fokus banget."

Rey tersenyum tipis dan menggeleng, "Bukan apa-apa."

Ari tak mau memperpanjang. Ia merangkul Rey dan melanjutkan langkah sebelum bel masuk berdentang. "Ya udah, ayo. Gue antar ke lapangan, tapi gak usah ikut barisan. Abang yang izin ke anak-anak OSIS."

Pasrah, Rey mengangguk. Ia telah mendengar percakapan Ari dengan Galis tadi pagi. Dua kalimat pendek yang menyuruh 'tuk menjaga dan memperhatikannya. Kali ini ia tak masalah, toh bukan sesuatu yang merugikan. Tidak mengikuti rangkaian MOS di outdoor tidaklah buruk.

"Lo tunggu sini, ya," ucap Ari sebelum berlari ke tengah lapangan, menghampiri gadis berambut pendek yang memakai lencana panitia.

Rey membenahi letak maskernya. Ia segera duduk di teras suatu kelas. Matanya mengedar pandang ke gedung empat lantai yang memiliki tiga bangunan utama. Ia pun beralih menatap lapangan upacara sekaligus lapangan basket, terlihat dari dua ring di kiri dan kanan.

Laki-laki bertubuh proporsional itu lagi-lagi berlari dengan napas terengah-engah. Ia berhenti di depan Rey seraya mengacungkan jempol.

"Beres!"

Rey tersenyum di balik maskernya lalu mengangguk. "Makasih, Bang."

"Lo mau diem di sini, ke UKS, atau ikut ke kelas gue?"

Tanpa berpikir panjang, Rey menjawab, "Ke perpustakaan aja boleh gak, Bang?"

Setelah mengiakan, Ari mengantar Rey ke perpustakaan yang ada di lantai dua. Anak itu tak melewatkan kesempatan dengan menjadi tour guide dadakan. Ia memperkenalkan ruang-ruang sekolah yang tampak di sepanjang perjalanan mereka. Rey hanya mengucap 'oh', 'iya', dan 'hem' untuk merespons kakaknya.

"Lo main sambil ngadem di sini, ya. Nanti kalau udah masuk aula, lo bisa ikut sama mereka."

Rey berhenti sejenak sebelum berjalan menuju rak buku sejarah. "OK, Bang."

Setelah bayangan Ari tak lagi terlihat, Rey kembali memilah bacaan. Fokusnya terpecah saat tiba-tiba ada seseorang yang menghampiri rak di sebelahnya. Sontak ia mengedarkan pandangan dan mendapati ia tidaklah sendiri.

Sekitar sepuluh siswa menyebar di setiap sisi. Ada yang membaca buku, bermain catur, dan mengerjakan sesuatu di laptopnya. Rey pun lantas melihat ponsel. Jam masuk sekolah masih 30 menit lagi, tetapi perpustakaan di sini telah ramai pengunjung. Sebuah pemandangan baru baginya.

DAY 1
1 JANUARI 2021

Masih pemanasan, belum terasa apa-apa. Tempurnya 20 hari, OK?

HP-an terus si bocil 😑

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top