Tak Gendong by projectMetz

Song : Tak Gendong Ke Mana-Mana by Mbah Surip
..................................................................
Mereka bilang aku tampan, mereka bilang aku pintar, mereka bilang aku kaya, bahkan mereka bilang aku mendapat anugerah Tuhan yang terbaik. Tidak ada yang tidak aku miliki, tapi...

Aku tak suka semua kepalsuan itu, aku bosan, jenuh dan merasa gagal sebagai manusia. Tidak ada sentuhan lembut yang mengasihiku dan tatap harap merindukanku. Yang ada hanya sentuhan menggoda dari wanita-wanita bertopeng tebal dan tatapan nafsu pada hartaku.

Karena itulah aku berada disini dan memilih tidak pulang, berada di rumah reyot dan kumuh milik seorang kakek yang berhasil merubah cara pandangku terhadap dunia.
Karena itu pula aku ingin mengajaknya pergi dari tempat yang sangat tidak pantas disebut rumah ini. Sayangnya, jawaban yang kudapat adalah...

"Wes tho le, aku wes tuwo, ra usah kakean omong awakmu iku. Uripku neng kene wes penak," ("Sudahlah nak, aku sudah tua, tak usah terlalu banyak bicara kau ini. Hidupku disini sudah nyaman,") ucap mbah Sarap, kakek penggemar reggae yang tidak bisa bicara bahasa Indonesia kecuali ketika bernyanyi. Rambut gimbal plus dandanan nyentriknya memang sangat norak, tapi aku bersyukur bertemu orang ini, orang yang telah menemukanku saat aku berada dalam titik terendah hidupku.

Mbah Sarap menerimaku saat aku di ambang keputus-asaan, mbah Sarap menyelamatkanku dari dosa besar bernama bunuh diri, dan mbah Sarap mengembalikan semangat hidupku lewat lagu-lagu yang dinyanyikan dengan suara sumbangnya.

"Tak gendong kemana-mana, tak gendong kemana-mana... enakdong, mantep dong... daripada kamu naik pesawat kedinginan,mendingan tak gendong tho... enak tho, mantep tho... ayokemana...." terkadang mbah Sarap berhenti bernyanyi dan memberi wejangan padaku.

"Urip gawe ayem, wong sugih rung mesti seneng. Numpak motor mabur wae aku malah kanyesen." ("Hidup dibuat tentram, orang kaya belum tentu bahagia. Naik pesawat saja aku malah kedinginan.")

Meskipun nasehatnya tak terarah, aku malah menyadari bahwa aku sudah terlena dengan hidupku. Aku masih merasa kurang ditengah segala yang kumiliki. Aku kurang bersyukur dengan apa yang kupunya.

"Tak gendong kemana-mana, tak gendong kemana-mana ... enakdong, mantep dong... daripada kamu naik taksi kesasar, mendingantak gendong tho... enak tho, mantep tho... ayo kemana...."

"Yo kadang pancen urip enak ki marai wong kesasar, kerono iku aku wegah dadi wong sugih," ("Memang kadang hidup enak membuat orang tersesat, karena itu aku tidak mau jadi orang kaya,") mbah Sarap menghisap rokok lintingan tembakaunya lalu meneruskan nyanyian.

"Tak gendong kemana-mana... tak gendong kemana-mana... enaktau... Where are you going? Oke i'm walking... Where are you going?Oke my darling."

"Wes le, aku ra iso omong akeh-akeh, delok wae uripku seng kere iki. Aku pancen ra ndue duit, tapi opo awakmu ndelok aku soro?" (Sudahlah nak, aku tidak bisa bicara banyak-banyak, lihat saja hidupku yang miskin ini. Aku memang tidak punya uang, tapi apakah kau melihat aku susah?") imbuh mbah Sarap yang tersenyum melihat beberapa cucunya bermain didepan rumah.

Mbah Sarap hidup bersama istri, tiga cucu, menantu dan satu anaknya yang bekerja sebagai pemulung. Meskipun hidupnya teramat sangat kekurangan, tidak kulihat ekspresi yang selalu kutunjukkan pada keluargaku. Ekspresi dimana hanya ada kekecewaan dan amarah terpendam.
Istri, anak, menantu dan cucu mbah Sarap menampakkan ekspresi yang sama seakan tidak punya beban hidup berlebih.

"Tapi yo ojo mlayu seko uripmu, Pangeran mesti wes ngatur nek awakmu kudu urip neng ndunyomu dewe. Awakmu ra bakal iso urip seneng kanti kere, mlaku wae alon-alon, golek uripmu dewe tanpo kudu mekso podo aku," ("Tapi jangan lari dari hidupmu, Tuhan pasti sudah mengatur dirimu harus hidup di duniamu sendiri. Kau tidak akan bisa hidup bahagia dengan miskin, jalan saja pelan-pelan, cari hidupmu sendiri tanpa harus memaksa sama denganku,") ucap mbah Sarap menutup nasehatnya padaku. Rokok lintingannya dihisap cukup dalam hingga mengeluarkan asap tebal yang membuatku hampir terbatuk.

Aku hanya bisa tersenyum pedih, mbah Sarap sepenuhnya benar. Lagu itu memang berlirik sederhana dan tidak ada artinya bagi banyak orang, tapi bagiku yang disadarkan mbah Sarap, lagu itu menjadi pelecut hidupku.

Seperti air conditioner pesawat yang sangat dingin atau penunjuk arah taksi yang perlu sinyal, hidupku terlalu berlebihan. Aku hanya perlu menyukuri apa yang bisa kupakai hari ini, makanan yang mengisi perutku dan senyum yang menghiasi hariku.

Hingga pada akhirnya aku kembali pada hidupku dengan membawa perubahan dari mbah Sarap, orang tua yang merubah hidupku hanya lewat sebuah lagu...
......
END

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top