Mama by AmikoRizuka
Song: Number One For Me by Maher Zein
...........................................................................
Aku hanya bisa menutup telingaku rapat-rapat. Aku muak. Papa dan Mama sedari tadi terus bersiteru. Wajah mereka terlihat sangar. Aku takut sekaligus muak. Apalagi melihat Mama yang menampar Papa dan kemudian Papa mendorong Mama hingga membentur dinding dan jatuh tersungkur.
Mereka kenapa? Kenapa mereka begitu marah? Kenapa Mama dan Papa saling menyakiti? Kenapa Mama menangis? Kenapa Papa menendang Mama? Kenapa Mama membereskan barang-barangnya?
"Adi! Kamu ikut Mama, ya, Nak?" Mama menarikku tiba-tiba. Aku diam di tempat, enggan ditarik. "Kenapa? Kamu ikut Mama!" bentak Mama. Aku semakin takut.
"Adi mau sama Papa...," lirihku gemetar. Wajah Mama terlihat begitu kesal.
"Nggak! Adi ikut Mama!?" lalu Mama menarikku paksa. Kami keluar dari rumah, meninggalkan Papa seorang diri.
Aku terus meraung. Aku marah dengan Mama yang memaksaku. Aku marah dengan Papa yang kenapa membiarkanku pergi bersama Mama. Aku marah karena Mama marah. Aku marah karena Papa acuh. Aku menangis.
Sejak saat itu aku tak pernah bertemu Papa. Hubunganku dan Mama-pun tidak sebaik dulu. Aku menjauhi Mama. Aku kesal dengan Mama yang selalu marah tiap aku mengungkit Papa, atau meminta bertemu Papa. Aku pun menjadi penyendiri. Aku tak pernah bicara lagi dengan Mama. Maksudku, membicarakan masalah, atau bercerita. Tidak pernah lagi. Mama nampaknya berusaha mendekatiku, berusaha mengajakku berbincang, tapi aku selalu menolaknya, membuatnya menyerah.
Aku tak merasa bersalah. Tentu saja, untuk apa merasa bersalah? Mama yang salah! Mama yang menjauhkanku dari Papa! Mama membawaku ke tanah kelahirannya tanpa meminta persetujuanku!
Pintu kamarku terbuka. Aku tak menoleh sama sekali, karena aku tahu itu Mama. Aku juga sedang sibuk mengemasi barang-barangku. Aku akan kuliah sebentar lagi. Aku akan kuliah di kota tempatku dilahirkan, di kota di mana Papa berada.
"Adi, Mama boleh bilang sesuatu?" lirih Mama. Aku memilih bungkam. "Kalau Adi mau ketemu Papa, nggak apa. Mama izinkan."
"Tentu saja! Dia Papanya Adi! Dia tidak seperti Mama!" jawabku kesal. Kulihat raut wajah Mama berubah.
Sebuah senyum nampak dibibirnya. Sudah lama aku tak memerhatikan wajah Mama. Ada keriput di sebelah matanya. Tatapannya pun tidak secerah 13 tahun lalu sebelum Mama memaksaku pergi dan meninggalkan Papa.
"Mama minta, kamu jangan marah dengan Papamu," aku mendengus. "Untuk apa? Adi marah sama Mama bukan sama Papa!" bantahku.
"Maafkan Mama yang nggak bilang ini dari awal. Adi terlalu kecil untuk tahu kenapa Mama memaksa Adi ikut Mama," Mama menarik napas, wajahnya mulai memerah. "Mama takut Adi dicampakkan Papa, Mama takut Adi nggak terima sama saudara baru Adi. Saudara hasil hubungan gelap Papa dengan seseorang. Mama nggak mau Adi tersakiti. Mama mau ngelindungin Adi," dan setitik air mata meluncur dari mata kiri Mama. Bibir Mama bergetar.
Aku hanya tertegun. Masih mencerna kalimat Mama. Aku tak bisa percaya. Itu nggak mungkin, kan?
"Mama minta maaf. Maaf karena Mama, Adi jadi benci Mama. Mama kangen Adi yang dulu," Mama menarik napas. "Adi baik-baik di sana, ya? Kalau ketemu Papa, bilang Mama kirim salam," lalu Mama pergi dari kamarku. Aku pun duduk di ranjang. Meresapi tiap kalimat yang Mama ucapkan.
Aku sudah 18 tahun. Aku paham betul kalimat Mama itu. Aku paham. Sekarang aku yang salah. Dulu aku mengatakan aku tak bersalah, tapi kenyataannya aku yang salah. Seharusnya aku menghibur Mama. Seharusnya aku tidak membenci Mama. Mama pasti sangat terluka. Terluka karena Papa dan... aku.
Aku segera keluar kamar, berjalan dengan tergesa, menuju ruang tengah di mana banyak kain dan baju-baju setengah jadi di sana. Kulihat Mama duduk di kursinya sembari menggerakan roda mesin jahit. Kakinya menginjak pedal dengan lembut. Mama berjuang banyak untukku yang tidak pernah memerhatikannya.
Aku segera duduk tersungkur di sebelahnya, membuatnya terkejut dan menghentikan kegiatanku. Aku menangis. Menangis pertama kali karena menyesal.
Aku menyakiti Mama.
"Ma, Adi minta maaf. Adi yang salah. Adi nggak pernah peduliin Mama selama ini. Adi anak yang durhaka, Ma. Adi...," sebuah tangan yang terasa kasar mengusap kepalaku dengan penuh kasih sayang.
"Adi nggak salah. Mama yang salah karena tidak memberitahu kenyataannya ke Adi. Adi jangan benci Papa, ya?" aku semakin menangis. Bagaimana mungkin aku bisa setega ini menyakiti malaikat tanpa sayap yang selalu melindungiku? Membencinya sampai belasan tahun tanpa tahu alasan kenapa ia melakukannya.
"Ma, Adi mau nyanyiin lagu buat Mama, sebelum Adi berangkat," ucapku. Setidaknya aku ingin membuat kenangan dengan Mama. Sekali saja.
Mama tersenyum, mengangkat wajahku yang sudah penuh air mata. "Mama akan mendengarkannya," aku pun menyanyi.
"I was a foolish little child
Crazy things I used to do
And all the pain I put you through
Mama now I'm here for you
For all the times I made you cry
The days I told you lies
Now it's time for you to rise
For all the things you sacrificed."
Aku menangis, Mama juga. Kami sama-sama menangis. Aku menarik napas lagi. Aku melanjutkan laguku.
"Oh, if I could turn back time rewind
If I could make it undone
I swear that I would
I would make it up to you
Mum I'm all grown up now
It's a brand new day
I'd like to put a smile on your face every day
Mum I'm all grown up now
And it's not too late
I'd like to put a smile on your face every day."
Mama... aku menyayangimu. Aku mencintaimu. Aku banyak salah kepadamu. Aku terlalu banyak dosa. Aku bukan anak yang baik, tapi aku akan memperbaikinya. Aku ingin memperbaiki hubungan kita. Aku ingin melindungi Mama.
"You know you are the number one for me, You know you are the number one for me," air mata tak bisa berhenti. Aku menangis segala kesalahanku. Aku menangisi ketidakberdayaanku melindungi Mama. Aku menangisi segala air mata yang Mama keluarkan karena diriku. Aku menangisi diriku.
"You know you are the number one for me."
Mama memelukku dalam tangisnya. Mama memelukku dalam tangis bahagianya. Aku memeluknya setelah sekian lama mengabaikannya.
***
Banjarmasin, 3 Mei 2015. END
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top