Childood Blues by amoirabelle

Song: Childhood Blues by Gumi
.........................................................

"Akatsuki Rein! Lagi-lagi kau membuat masalah!"

Teriakan itu menggema ke seluruh penjuru koridor. Aku menatap malas sekaligus meringis ketika melihat Rein, sahabatku, sedang disiksa oleh guru piket. Yah, seharusnya aku tahu, bahwa dia sering terlambat. Perlu kubilang, dia sudah sering sekali bersahabat dengan para guru piket.

"A-ampun, Pak! Ya ampun, aku hanya terlambat 15 menit 23 detik! Kenapa kau masih saja menistakan kupingku seperti ini?!" keluhnya menahan sakit. Aku bersusah payah menahan tawaku saat itu, dan menjulurkan lidahku saat Rein menatapku minta tolong

"Hanya, katamu?! 15 menit! Akatsuki, aku takkan memaafkanmu kali ini. Ikut aku!" tukas sang guru piket seraya menarik Rein. Sepeninggal dirinya, aku hanya terkikik geli.

Pemuda berambut biru tua yang tinggi itu Akatsuki Rein, sahabatku sejak kecil. Dia memang pemuda yang usil, namun dibalik itu semua, dia pribadi yang hangat dan baik. Sebetulnya dia pintar, hanya saja dia sering bertindak bodoh.

"Akane!" merasa nama depanku dipanggil, aku menoleh dan tersenyum lebar. Di sana ada kakak kelasku. Seorang pemuda tampan berkacamata. Sang ketua OSIS yang terkenal, Kazehawa Arata.

"Ya, Kak?" balasku sopan.

"Aku hanya ingin memberitahumu, bahwa sepulang sekolah nanti kita ada rapat. Kau bisa hadir?"

Aku mengangguk cepat. "Ya, tentu saja. Rapat tentang apa?"

Kak Arata tersenyum kecil. "Hanya rapat rutin OSIS. Mungkin nanti ada beberapa anggota yang ingin menyampaikan aspirasinya."

Aku pun ikut tersenyum, lalu menyatukan jempol dan jari telunjukku-membentuk tanda oke. Setelahnya, Kak Arata hendak pamit karena ia perlu memberitahu beberapa anggota lainnya.

Sambil membawa tasku dalam genggaman, aku berjalan menyusuki koridor sekolah. Aku menoleh ke kiri, menatap langit pagi yang terlihat begitu cerah dan indah.

Pagi ke-48, ucapku dalam hati.

***

Pelajaran tentang sejarah Jepang sungguhlah membosankan. Aku menoleh ke deretan kursi depan, melihat punggung Rein yang tegap itu. Ia terlihat sedang memperhatikan pelajaran dengan baik. Sudah kubilang bukan, bahwa Rein itu orang yang pintar?

Aku dan Rein memang tidak duduk berdekatan. Akan sangat membosankan jika kami selalu dekat di mana-mana. Apalagi aku dengannya selalu pulang bersama karena kami searah.

Akhirnya, bunyi bel pulang berdering. Bebrapa siswa di antaranya bersorak girang meski dalam volume yang kecil. Mengingat sang guru sejarah sangat tidak suka akan kami yang selalu bersorak saat bel berbunyi. Itu menghina, katanya.

Saat aku keluar dari kelas, rupanya Rein sudah menungguku sambil mendengarkan musik dari ponselnya. Aku mengguncang bahunya, menyadarkannya bahawa aku ada di sini.

"Ayo pulang," ajaknya seperti biasa.

Aku menggeleng. "Ah, tidak sekarang. Aku ada rapat OSIS," balasku seraya mengeluarkan cengiran. Rein tampak mendengus tidak suka.
"Berapa lama?"

"Mungkin setengah jam," jawabku ragu dengan pandangan menerawang, "mau menunggu?"

"Ya, karena aku tidak yakin bahwa kau berani pulang sendiri," balasnya dengan pandangan mengejek membuatku kesal. Aku mencubit lengannya keras, tapi dia malah terbahak.

"Kau mencubitku atau mengelusku, sih? Tidak terasa sama sekali," cibirnya membuatku menginjak kakinya.

"Ya sudah, tunggu di belakang, ya!" ucapku seraya berlari ke arah ruang OSIS. Tanpa melihat pun aku tahu bahwa Rein mengangguk.

***

Rapat OSIS pun resmi berakhir. Banyak hal yang dibahas, namun aku memilih diam dan memperhatikan. Karena aku sendiri pun tak punya usul yang perlu disampaikan.

Aku setengah berlari ke arah belakang sekolah, takut Rein lama menungguku.
Tapi, aku salah. Kukira Rein sedang mati kebosanan menungguku di sana, tapi ternyata dia sedang sibuk.

"K-kak Rein, um... a-aku menyukaimu!"

Aku hanya menatap pemadangan itu dengan datar. Aku tak berniat untuk mendekati Rein dan mengajaknya pulang sekarang. Setidaknya menunggu gadis itu pergi dahulu. Yah, aku bukan pengganggu momen-momen penting yang mendebarkan.

"E-eh, bagaimana yaa..?" Rein tampak salah tingkah, hal itu bisa dilihat dari pipinya yang memerah karena malu. Aku selalu tahu cara dia menyembunyikannya saat ia malu seperti ini.

Aku menghela napas berat. Ini hari ke-48, ucapku dalam hati, 3 hari lagi!

Tiba-tiba saja, Rein melihatku yang menatapnya dari balik dinding. Ia tersenyum lega, seolah barusaja menemukan pertolongan.

"Nanti saja, yaa, aku harus pulang dulu. Sampai nanti!" ucapnya tergesa seraya pergi dari hadapan gadis itu dan menarik tanganku.

"Haaah, kau datang tepat waktu!" serunya menghela napas lega. Aku mendelik kesal ke arahnya.

"Jadi kau memanfaatkanku, begitu?"

"Hehe," dia tersenyum canggung, "mungkin bisa dikategorikan begitu."

Aku hanya mendecak sebal.

"Mau ke bukit?" tanyanya yang kubalas anggukan senang.

***

Matahari mulai berada di peraduannya. Aku dan Rein menyaksikan pemadangan itu dalam diam.

Senja ke-48.

Ya, 3 hari lagi, maka semuanya akan menjadi 51 hari. 51 hari penuh penantian dan terpendamnya perasaan.

Sudah 48 kali aku dan Rein pergi ke bukit ini, sepulang sekolah atau ketika senja mulai tiba. Hanya sekadar untuk menyaksikan matahari yang hendak beristirahat atau ingin menghibur diri.

Aku menatap langit. Berpikir, apakah perasaanku ini mampu menembus langit dan sampai ke dirinya?

Ke dia, orang yang selama ini berada di dekatku.

Aku hanya takut, dia tidak memiliki perasaan yang sama denganku. Meskipun kami sahabat sejak kecil, belum tentu semua akan semudah itu.

Apa mungkin memang perasaanku dan Rein akan bertolak belakang nantinya?

"Apakah menjadi teman masa kecil itu terkadang memalukan?" tanya Rein tiba-tiba, memecah lamunanku dan aku menoleh ke arahnya.

Dia tidak menatapku, namun kini tengah menatap matahari yang sebentar lagi tenggelam.

Aku diam, berpikir.

Memalukan? Kurasa tidak seburuk itu.

"Mungkin," imbuhku, "tapi tidak selamanya begitu."

***

Tak terasa, ini hari ke-51.

Hari yang kutunggu-tunggu.

Sampai saat ini pun aku tidak tahu apakah Rein menerima permintaan gadis itu beberapa hari lalu atau tidak. Tapi jika dia menerimanya, aku pasti akan patah hati.
Yah, selama ini, aku mengagumi Rein dalam diam.

Aku tidak berniat untuk mengungkapkannya.

Tapi kali ini, hari ke-51, aku akan mengungkapkannya. Di bukit itu, tepat saat senja hadir.

"Ayo pulang," ajakku ketika ia keluar dari kelas. Ia mengangguk malas, lalu mengikutiku dari belakang.

Ada apa dengannya? Kenapa ia tampak malas begitu?

"Kalau kau tak mau pulang bersamaku lagi, katakan saja!" seruku kesal ketika sepanjang perjalanan ia hanya diam, tak mengucapkan apapun.

Dia menatapku heran. "Aku tidak bermaksud begitu."

"Lalu kenapa kau diam saja? Atau kau ingin pulang dengan gadis berambut pirang itu? Silakan saja! Aku tidak peduli!"

Aku berjalan lebih cepat dari sebelumnya, sesekali menghentakkan kakiku kesal.

Kenapa aku mendadak marah seperti ini? tanyaku dalam hati, apa hakku untuk marah pada Rein? Dia tidak tahu apa-apa. Bahkan soal perasaanku. Dia juga hanya sahabat masa kecil. Kenapa aku harus semarah itu padanya?

"Akane! Akihare Akane!" dia terus memanggilku, namun aku memilih untuk berlari kencang ke perbukitan.

Kenapa aku lari?

Bukankah aku ingin menyatakan perasaanku hari ini?

Kenapa aku kesal?

Kenapa aku cemburu?

Terlalu banyak pertanyaan dibenakku, membuaku muak dan benci.

Aku benci, kenapa aku harus jatuh cinta dengan dia? Kenapa harus dengan Akatsuki Rein, sahabatku sendiri?

Rein sampai di bukit, bersamaan denganku. Ia menumpukan kedua tangan di lututnya. Napasnya terngah-engah. Mungkin dia mengejarku tadi.

"Kau ini yang kenapa! Tiba-tiba marah seperti itu," ia menggerutu, "seperti anak kecil saja."

Anak kecil?

Mungkin iya.

"Baiklah, aku minta maaf," ucapnya setelah mengatur napas, membuatku menoleh. Ia menatapku seraya tersenyum manis, membuat jantungku berdebar dan menghangat.

"Sebagai permintaan maaf, katakan siapa orang yang kau sukai sekarang. Aku akan membantumu," katanya lagi dengan senyuman lebar. Tapi entah kenapa, senyumannya kali ini terlihat seolah dipaksakan.

Aku menatap matahari yang mulai terbenam di ufuk barat.

Senja ke-51.

Tandanya, sudah 51 kali aku dan Rein pergi ke bukit ini.

Aku tersenyum kecil. Tekadku kembali bulat.

Aku menatap Rein, tepat di manik matanya yang berwarna biru muda itu. Senyumku mengembang lebar. Aku pun meraih kedua tangannya, menggenggamnya erat.

"Aku suka padamu, Rein!"

Kedua matanya terbelalak, pipinya memerah. Aku tahu, dia pasti malu.

Cemas, itu yang aku rasakan. Dia masih saja memandangku syok, dan aku masih memandangnya penuh harap.

Aku tidak peduli lagi soal perasaannya yang berbeda dariku atau tidak. Paling tidak, aku sudah menyatakan sebuah kejujuran.

Rein tersenyum. Ia menarik tangannya yang aku genggam. Tiba-tiba saja, dia mencubit pipiku seraya tertawa.

"Lama sekali sih menunggumu mengatakan itu."

Aku menatapnya tak percaya.

Itu tandanya... Rein juga menyukaiku?

Berarti... perasaanku terbalas?

Aku tersenyum lebar. Tak sadar, sebulir air mata lolos mengenai pipiku. Bukan karena aku sedih, tapi itu karena aku bahagia.

51 hari penuh penantian, akhirnya terbalaskan juga.

****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top