|DECEMBER|• PLEASE REMEMBER ME
Triingg...
Sebuah lonceng tua berdenting. Lonceng yang terpasang di atas pintu kaca yang bertuliskan "Toko Bunga Hanabatake (花畑)" selalu berdenting saat ada seseorang yang datang ataupun berkunjung.
"Tadaima, Nenek."
Kulihat nenek sedang menggenggam sebuah botol penyemprot kecil yang isinya nampak sudah berkurang setengah. Nampaknya nenek hampir selesai menyirami tanaman. Setidaknya, itu yang kupikirkan.
"Ahh... (name)-chan sudah pulang ya? Okaeri.. Bagaimana dengan sekolahmu?"
Nenek meletakkan botol penyemprot yang beliau genggam di etalase yang berisi beragam botol yang nampak sejenis, yang kuketahui itu adalah botol penyemprot tanaman, botol pestisida, dan botol pupuk organik. Sejenak beliau mendudukan dirinya di kursi dekat dengan meja yang biasa kutempati saat ada seorang pembeli berkunjung.
Lagi-lagi aku menghela nafas untuk yang kesekian kalinya sebelum mendudukan diriku dan menaruh tas selepangku di samping kursi yang sedang nenek duduki.
"Berjalan lancar. Bagaimana dengan nenek? Berapa pembeli yang sudah memesan bunga?"
"Baguslah, nenek senang mendengarnya...." Tatapan rapuh nenek mengarah pada jajaran pot-pot bunga yang tertata dengan rapi di depan toko yang sebagian besar berdinding kaca.
Bunganya masih tetap, belum ada yang berkurang. Seharusnya aku tidak bertanya hal yang kurang mengenakkan untuk nenek dengar.
"Kau lihat,kan... Hari ini mungkin bukan keberuntungan untuk nenek." Walaupun nenek mengucapkannya dengan sebuah senyuman rapuh di wajahnya yang sudah nampak berumur, tatapan nenek mengatakan yang sebaliknya.
"Kalau begitu, nenek beristirahatlah. Biar toko ini, (name) yang urus. Nenek pasti lelah setelah bekerja dari pagi hingga siang." Ucapku selembut mungkin, berusaha membujuk nenek untuk istirahat.
"Baiklah jika itu yang (name)-chan inginkan. Nenek titip toko ini ya?"
Kuanggukan kepalaku sebagai jawaban. Kuantar nenek hingga ke depan pintu dan kulambaikan tanganku sebagai bentuk perpisahan.
Setelah dirasa nenek sudah cukup jauh dari jarak pandangku. Kututup kembali pintu kaca, kini yang kulakulan hanya menunggu pelanggan ataupun sebuah telepon permintaan dari seseorang yang membutuhkan bunga.
"Aku tidak bisa membayangkan nenek sendirian di toko ini selama seharian penuh jika aku sedang sekolah..."
"Pasti rasanya kesepian..."
Gumamku, dan mengedarkan arah pandangku menjelajah toko tua ini. Semuanya terlihat rapi dan sudah bersih karena setiap pagi nenek yang membersihkannya.
Sebenarnya aku dan nenek tidak ada hubungan darah apapun. Nenek itu kehilangan suaminya karena kecelakaan mobil, dan naasnya kakek harus menjadi korban tabrak lari oleh pengendara yang sekenanya mengebut dan tidak bertanggung jawab. Cucu dan putranya pun tidak mengakui nenek, karena yang kutahu mereka tidak pernah berkunjung atau hanya sekedar mengirim surat kabar kepada nenek.
Waktu enam tahun yang lalu aku tidak sengaja bertemu dengan nenek, sebelum berangkat ke pemakaman orang tuaku yang meninggal karena kecelakaan pesawat waktu kami kembali dari Nagoya ke Yokohama. Lebih tepatnya, waktu aku ingin membeli sebuket bunga Poppy untuk kuletakkan di makam mereka.
Pertama kali bertemu, kesan pertamaku terhadap nenek, nenek merupakan orang yang ramah dan pekerja keras. Setelah kepergian suami nenek, nenek mengurus toko peninggalan kakek sendirian.
Ahh, aku masih ingat waktu pertama kali nenek menyambutku sebagai pelanggan. Wajah nenek terlihat sangat bahagia dan selalu tersenyum ramah waktu melayaniku.
Sebelum aku mengungkapkan apa yang ingin aku beli, nenek sudah lebih dulu menawarkan semua bunga yang ada di sini dengan semangat. Beliau juga menjelaskannya hingga detail, berserta asal dan makna bunga-bunga itu. Haha, membayangkannya saja sudah membuatku terkekeh mengingat masa lalu.
Nenek menawariku bekerja di tokonya pada beberapa minggu berikutnya, saat aku ingin mencari bunga yang sama untuk makam kedua orang tuaku.
"Kau terus membeli bunga Poppy, padahal kau bisa menggunakan bunga yang lain, gadis kecil." Ucapnya terlebih dahulu sebelum aku mengatakan pesananku. Hahaha, ternyata nenek hafal denganku ya.. Dan mulai saat itulah ketertarikanku kepada bunga muncul.
"Haah...daripada terus-terusan melamun seperti ini, lebih baik aku membaca buku botani saja. Hitung-hitung untuk menambah pengetahuanku."
Saat kuingin melangkahkan kakiku mendekati rak, perhatianku tertarik pada sekumpulan gadis yang nampaknya seusiaku yang tengah berdiri di depan toko.
"Hah? Siapa mereka? Dilihat dari seragam mereka... Mereka satu sekolah denganku..?" Netra heterokomku menatap sekumpulan gadis itu dan seragam yang sedari tadi belum kuganti secara bergantian. Berusaha memastikan jika mereka satu sekolah dengaku.
"Tch, kalau mereka berkumpul di situ tanpa niat untuk membeli lebih baik pulang saja!"
Walaupun aku menggerutu seperti itu, namun aku tetap berusaha meredam amarahku dan tidak melampiaskannya kepada mereka semua.
Kembali kududukkan diriku di bangku tadi setelah kuambil sebuah buku bersampul karton tebal dengan ilustrasi tumbuhan-tumbuhan cantik yang bertuliskan "Ensiklopedia Tanaman."
Kubuka bagian lembaran yang ditandai dengan pembatas buku berwarna biru yang sudah kusematkan waktu itu, di saat terakhir kubaca buku ini.
"Clover berdaun empat...?"
"Tak kusangka aku sudah membaca sejauh ini..."
Kugulirkan kedua bola mataku, memindai satu-persatu baris kalimat yang tercetak di atas kertas putih buku itu. Kupahami dan kucoba untuk mengingat poin-poin penting tentang dimana dia ditemukan, pada musim apa dia tumbuh dengan subur, dan yang lainnya. Hingga pandanganku tertarik pada subbab judul,"Makna Clover Berdaun Empat".
"Daun pertama melambangkan keindahan cinta, daun ke dua melambangkan anugerah kesehatan dan umur yang panjang, daun ke tiga melambangkan kemenangan dan kejayaan, dan daun ke empat melambangkan kekayaan..."
"Hm..menarik..walaupun hanya sekedar mitos belaka. Mana mungkin keberuntunganmu dipengaruhi oleh tanaman kecil berdaun empat seperti itu..."
Aku terkekeh kecil membayangkan orang-orang yang masih percaya dengan mitos kuno yang mereka yakini hingga saat ini.
Tapi-- Tunggu... Sepertinya aku mengingat sesuatu...
Sepertinya aku mempunyai sesuatu yang berbau clover berdaun empat..
Kututup buku yang kubaca, tak lupa kusematkan pembatas buku biru muda pada subbab terakhir yang kubaca. Segera kuhampiri dimana tasku tergeletak dan kurogoh kantung tempat dimana aku biasa menaruh barang-barang kecil yang penting seperti kunci, flash disk, ataupun yang lainnya.
Gotcha! Sudah kuduga ada di sini!
Sebuah kalung kecil sederhana dengan liontin clover berdaun empat yang tertutupi dengan rapih oleh dua keping kaca kecil berbentuk bundar yang mengapitnya.
"Tapi...Siapa yang memberikanku ini? Mungkinkah nenek? Tapi, seingatku nenek tidak pernah memberikanku kalung ini..."
Kucoba menggali lebih dalam ingatanku. Namun, tetap saja buntu. Tidak ada nama lain yang terlintas di pikiranku. Ahaha, bagaimana mau terlintas jika diriku saja tidak pernah bersosialisasi dekat dengan orang lain selain nenek.
"Ahh...Aku pasrah kalau soal ingat-mengingat seseorang. Biarkan terjawab dengan sendirinya saja..." Aku menghela nafas, berusaha sabar dengan apa yang kualami.
"Terkadang Alzhaimer ini menyiksaku secara tidak langsung.."
"Aku selalu saja melupakan semua orang...Entah itu nama ataupun semua tentang orang itu.."
"Tapi.. Kenapa yang kulupakan...Selalu saja tentang teman-temanku.."
Kembali aku menghela napas. Sudahlah mengingat dan memikirkan itu hanya membuatku semakin pusing dan runyam. Lebih baik kulanjutkan saja kegiatan membacaku.
Tringg~
Ahh? Loncengnya berbunyi, lebih baik segera kusambut saja pengunjung yang datang. Dan jangan lupa tersenyum saat melayani mereka.
"Selamat datang di toko bunga Hanabatake! Ada yang bisa saya bantu?" Senyumku dan menyiapkan diriku di depan pintu toko.
"Saya ingin memesan rangkaian bunga aster, apakah bisa?" Ucap pembeli itu seraya menunjukkan gambar bunga aster yang dirangkai menjadi bentuk mahkota.
"Baiklah--" Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, sebuah suara menginterupsiku.
"(Name)-chan!!!"
"Ha? Siapa yang berteriak memanggilku?" Gumamku dan mengalihkan pandangan menerawang jendela kaca dan mendapati seorang anak-- tidak. Lima anak yang memakai gakuran yang sama sepertiku.
Biar kutebak, pasti mereka mengenalku tapi aku sebaliknya.
"(Name)-chan! Apa yang kau lakukan di toko bunga ini??"
"Tch, diamlah, Sora. Bukankah kau lihat dia sedang melayani pengunjung itu?"
"Mou, Soushi.. Aku kan bertanya untuk sekedar basa-basi saja!"
Kuabaikan pertanyaan yang terlontar dari salah seorang di antara mereka. Sekarang aku harus fokus bekerja dari pada melayaninya mengobrol hal-hal yang tidak penting.
"Atas nama siapa? Apakah pesanan Anda ingin diantarkan atau..Anda mau menunggu hingga pesanan Anda jadi?" Tanyaku lagi, memastikan. Biasanya ada pelanggan yang ingin diantarkan pesanannya, tapi rata-rata dari mereka lebih memilih menunggu pesanan mereka jadi.
"Atas nama Tawamura. Ahh, lebih baik diantarkan saja ke alamat ini ya?" Tawamura-san memberikanku selembar kertas kecil bertuliskan kemana aku harus mengantar pesanannya.
"Baiklah. Tunggu sebentar ya, Tawamura-san." Ucapku, sebelum mempersilakannya duduk di bangku panjang yang sudah dipersiapkan.
Kulangkahkan kakiku keluar dari toko, menuju ke halaman depan. Tempat dimana tanaman-tanaman tersebut tertata dengan rapih.
"Kalian, lebih baik duduklah terlebih dahulu dari pada terus-menerus berdiri seperti itu. Mengganggu pemandangan." Ucapku pada kelima pemuda itu, yang tengah berdiri di depan pintu dan menghalangi jalan keluar-masuk utama toko.
"(Name)-chan hidoii!" Pemuda yang dari tadi berisik, terlihat seakan ingin memperotesku, namun kuhiraukan begitu saja.
"Sudahlah, Sora. Jika kau tidak ingin diusir dari sini.. lebih baik ikuti apa yang dia ucapkan. Ingat, kita di sini sebagai tamu jadi harus berlaku baik di tempat tuan rumah."
"Tapi, Mori... Aku ingin melihat (name)-chan bekerja!"
Rengeknya memohon kepada pemuda berkacamata yang lebih tinggi darinya. Hal itu dapat kulihat dari sudut mataku yang terfokus kepada tanaman aster yang sedang kupilah-pilah.
"Sora-senpai kan bisa melihat (name)-senpai dari sini tanpa harus mengganggunya. Duduklah dulu, senpai."
"Baiklah, Ren~~"
Setelah kupilah-pilah bunga aster yang layak untuk kujadikan rangkaian, aku menuju ke meja utama. Mempersiapkan bahan dan alat untuk membuat rangkaian. Tidak banyak, hanya perlu gunting yang tajam dan tangkai bunga aster secukupnya.
"Hm...kira-kira ukuran diameternya berapa, Tawamura-san?"
"Rangkaian itu akan kuberikan kepada pasanganku. Kira-kira seukuran tengkorak wanita pada umumnya."
"Baiklah."
Tapi, aku tidak punya acuan untuk membuat rangkaian dasarnya. Dan mana mungkin aku menggunakan kepalaku sendiri waktu aku merangkai ini. Hal itu susah untuk kulakukan.
Baiklah, terpaksa aku harus melakukan ini.
"Hey, kau." Panggilku kepada pemuda tadi yang tengah mengobrol dengan teman-temannya.
"Hai'? Kau memanggilku, (name)-chan?"
"Bukan kau. Aku memanggil dia." Tunjukku pada mahkota abu-abu. Sepertinya ukuran tengkorak dia cocok dan tepat untuk kujadikan acuan rangkaian dasar.
"Ren! (Name)-senpai memanggilmu!"
"O-oii! Nozomu! Jangan mendorongku sembarangan!"
"Cepatlah. Tawamura-san sudah menunggu sedari tadi." Tegasku sekaligus menengahi mereka yang ribut. Aku berpura-pura menggunakan Tawamura-san sebagai alasan, padahal Tawamura-san sendiri sedari tadi tengah santai menunggu dengan ponselnya.
"H-Hai'!"
"Kemarilah. Pinjam tengkorakmu sebentar." Ucapku memberi tanda agar dia mendekat.
"H-Hai' (name)-senpai!"
"Duduklah di sini dengan tenang. Jangan gerakkan kepalamu, okay?" Ucapku mempersilakan dia duduk di kursi sebelahku.
"H-hai' aku paham!"
"Tidak perlu gugup seperti itu. Ngomong-ngomong, siapa namamu? Rasanya..aku pernah melihatmu.."
Sambil merangkai rangkaian dasar dengan acuan tengkorak milik pemuda itu, aku berusaha mengajaknya mengobrol agar suasana tidak terlalu kaku dan canggung.
"Ehh? (Name)-senpai lupa?? Munakata Ren. Terserah (name)-senpai ingin memanggilku apa."
"Kalau begitu, Ren-kun. Apakah kita pernah saling mengenal sebelumnya?"
"Mungkin iya...?"
"Sou ka.."
Tidak seperti yang kuharapkan. Pembicaraan terhenti begitu saja meninggalkan suasana canggung antara aku dan Ren. Sementara yang lain, asik berbincang satu sama lain. Dan Tawamura-san masih asik dengan ponselnya.
Merangkai mahkota bunga tidaklah mudah, namun tidak serumit yang kau bayangkan juga. Asalkan kau tekun dan terampil dalam memilin tangkai-tangkai bunga itu dan menatanya dengan rapih, pasti hasilnya akan bagus dan tidak mengecewakan.
"Yaps. Selesai."
"Wahh, cantiknya..." Seruku mengagumi mahkota yang telah kurangkai. Sebenarnya bukan hanya mahkotanya yang cantik, namun... Saat Ren yang memakainya, entah kenapa terasa cocok dengan pemuda itu. Ahaha.
Mendengar suara seruanku, teman-teman Ren menghampiriku. Termasuk dengan Tawamura-san yang penasaran dengan hasilnya.
"Woahh! Ren! Kau terlihat cocok memakai itu!!" Ucap pemuda bermahkota kecokelatan memujinya.
"Ren-himesama!" Kini, pemuda mahkota merah dengan rambut depan yang ia jepit ke belakang berseru mengejeknya.
"Berhenti memanggil Ren seperti itu, Sora, Nozomu!" Si Mahkota Hitam hanya mempu menegur mereka agar tidak mengejek Ren.
"Ahahaha..." Sementara si mata empat hanya mampu tertawa canggung.
"Bagus, (last name)-san! Seperti yang diharapkan dari langgananku!" Tawamura-san berseru senang. Syukurlah, dia menyukai hasilnya.
"Terima kasih atas pujiannya. Hanya tinggal dibungkus dan dihias saja agar lebih rapih."
Aku melanjutkan kegiatanku yang belum selesai secara sempurna. Ya, hanya tinggal dihias dan dibungkus secara simpel pasti akan sempurna! Tapi tunggu--
"Tawamura-san... Jarang sekali Anda memesan bunga aster. Sebenarnya ada apa?"
"Apa maksud (last name)-san dengan "ada apa?""
"Aster biasa diberikan kepada pasangannya sebagai simbol bahwa si pemberi itu ragu dengan perasaan pasangan mereka. Apa Tawamura-san dan Kira-san tengah bertengkar?" Jelasku berdasarkan pengetahuan yang pernah kubaca dari buku botani yang sangat tebal itu.
Jangan bertanya kenapa aku tahu tentang kekasih Tawamura-san. Dia dan pasangannya selalu memesan karangan dan sebuket bunga di toko kami. Bahkan, dia sudah menjadi pelanggan tetap.
"Wahh, ketahuan ya? Memang, kami sedang ada pertengkaran kecil. Maka dari itu saya ragu dan ingin meminta (last name)-san untuk mengantarkan karangan ini kepadanya."
"Tapi, lebih baik diselesaikan secara langsung, Tawamura-san. Berbicaralah baik-baik dengannya, dan bersikaplah dengan pikiran yang jernih. Pasti nanti titik permasalahannya akan ditemukan dengan mudah, dan diskusikan itu baik-baik dengan Kira-san." Ucapku dengan mantap, dan menyerahkan kepadanya karangan bunga yang sudah berbungkus rapih dengan sebuah pita pink di atasnya.
"Semoga beruntung, Tawamura-san!" Semangatku dan menyerahkan sepucuk clover berdaun empat yang sedari tadi sudah kusiapkan karena aku tahu sejak awal ini akan membantunya agar lebih bersemangat. Sebuah senyuman meyakinkan tercetak di wajahku dengan mantap.
"(Last name)-san! Aku berhutang kepadamu!" Girangnya, dan menyerahkan uang pembayaran. Setelah itu, Tawamura-san menghilang dari pandanganku dan menuju tempat pasangannya berada.
"E-he?! Tawamura-san memberikanku uang lebih..?"
Terkekeh pelan, segera saja kutarik laci meja cokelat ini, dan kusimpan baik-baik uang itu. Akhirnya, hari ini ada pengunjung yang datang walaupun satu. Setidaknya lumayan untuk penghasilan hari ini, dari pada tidak sama sekali.
"Woah-- (name)-chan!! Jadi, kau bekerja di sini????!"
"Huh...?" Kutatap sinis pemuda dengan mahkota merah kecokelatannya.
"Memangnya apa masalahnya.. ?!" Kuberikan tatapan tajamku ke arahnya. Berharap dia merasa terganggu dengan hal itu, dan memutuskan untuk pergi dari tokoku. Tapi...
"Kereeeennn! Aku tidak percaya kau sudah bekerja di toko yang hebat ini!!"
Kutarik kata-kataku. Ternyata dia tak terganggu sama sekali. Haah, kuacuhkan saja kalau begitu.
"Hm." Jawabku malas menanggapi.
"Kau sudah tidak ada urusan, kan? Kalau begitu pergi dari si---"
"Tadaima~ Ehh, kenapa ramai-ramai seperti ini, hm?" Suara ramah nenek kembali menyapa telingaku. Nenek cepat sekali kembalinya.
"Okaerinasai, Nenek." Kulemparkan senyum tulus kepadanya.
"Temanmu, (name)?"
"A-ah itu.. sejak kapan aku berteman dengannya...?!"
"Woah-- Nenek! Okaerinasaaii!!"
Ctak!
Astaga..makhluk ini sudah membuatku emosi. Kuberikan satu jitakan dan mendarat mulus di kepalanya. Biarlah, aku ingin dia tahu rasa karena telah menggangguku. Lagi pula, siapa dia seenaknya sendiri memanggil Nenek dengan nada bicara seakan-akan dia mengenal nenek begitu pula sebaliknya.
"S-sakit..."
"Itu salahmu sendiri sedari tadi menggangguku."
Pemuda berisik itu mengelus-elus kepalanya, tepatnya pada bagian yang terkena jitakanku.
"(Name)... Jangan seperti itu kepada teman-temanmu." Nenek menasehatiku sambil meletakkan tangannya dengan lembut di kepala pemuda itu dan mengelusnya. Huft, nenek terlalu memanjakan dia.
"Baiklah..baiklah..." Menghela napas dan berusaha sabar. Kuputuskan untuk bersikap sopan kepada mereka. Tapi, hanya untuk kali ini, dan ini semua hanya untuk nenek. Kalau bukan atas dasar nenek, mana mau aku melayani mereka dengan sopan.
"M-maaf soal yang tadi. Masuklah dan duduk di dalam. Akan kusiapkan teh hangat dan cemilan kecil untuk kalian." Tanpa membalikkan badanku, segera saja aku menuju ke dapur. Membuatkan teh hangat dan menyiapkan kue kering untuk dinikmati bersama.
"Ohh ya..Nenek, sejak kapan (name)-chan bekerja di toko bunga ini??"
Hm? Merasa namaku disebut oleh pemuda itu, sontak rasa penasaranku mendorongku untuk menguping pembicaraan mereka.
"(Name) ya... Nenek yang menawarinya bekerja di sini waktu kesekian kalinya dia berkunjung ke toko nenek untuk membeli bunga Popy yang sama"
Hee...rupanya nenek masih mengingatnya ya...
"Untuk apa (name)-chan membeli bunga Poppy? Ditambah..ia membelinya berulang-ulang..."
"Kau tidak tahu ya, Sora? Bunga Poppy biasa digunakan untuk melambangkan kematian."
"Kematian...? Berduka atas kematian siapa, Mori??"
"Kalau itu, aku tidak tahu. Kau tanya saja sendiri ke orangnya langsung."
"Ya benar. Bunga Poppy yang (name) beli, ia persembahkan di atas nisan milik kedua orang tuanya."
"O-orang tuanya...?! J-jadi..M-mereka sudah tidak ada....?!"
"Begitulah.. Kejadian itu sudah lumayan lama. Jadi, mungkin sudah (name) lupakan."
Jujur saja, aku sedikit merasa tidak nyaman dengan pembicaraan mereka yang mengungkit masa laluku. Sebaiknya, aku mempercepat menghidangkan ini semua dan mengalihkan topik pembicaraan mereka.
"Ekhem... Silakan diminum..."
Aku berdehem pelan guna menarik atensi mereka. Kusajikan satu persatu teh tersebut di hadapan mereka.
"Terima kasih (name)"
"(Name)-san, arigatou."
"(name)-senpai, arigatou gozaimasu."
"Umn..sama-sama..." Senyum canggung tercetak di bibirku, lantaran diperhatikan secara intens sedari tadi oleh salah satu dari mereka.
"Tunggu (name)-chan--!"
Grep!
Tanganku tercekal olehnya. Tatapannya menatapku dengan penuh makna. Sungguh, aku tidak tahu apa yang ia mau dariku! Tch, menyingkirlah!
"Apa yang kau mau?" Tanyaku dingin, menatap netranya balik dengan tatapan kosong.
". . . ."
"Tidak jadi...M-maaf!"
Sepertinya dia mengurungkan niat untuk mengatakan sesuatu. Baguslah kalau begitu. Aku jadi tidak repot melayaninya berbicara.
Tapi... Ekspresinya sungguh mengganggu hatiku. Wajahnya seakan-akan menunjukkan raut kecewa dan penuh penyesalan. Tapi...karena apa...? Apa semua ini salahku...?
"Kalian belum kembali?"
"Ahahaha. Belum, Nek. Mungkin sebentar lagi. Kami pinjam tempatnya sejenak untuk mengerjakan tugas, boleh kan?"
"Tentu saja, boleh. Kalau begitu, nenek tinggal ke rumah sebentar ya..."
"Baik, Nek!"
T-tunggu-- Jadi..aku ditinggal sendiri lagi dengan mereka di sini...?! Ahhh! Aku tidak tahan dengan suasana canggung seperti tadi!!
Terlambat. Nenek sudah terlalu jauh untuk kususul. Haah... Untuk mengusir suasana canggung, lebih baik aku lanjutkan membacaku yang sempat tertunda tadi.
Kubuka lembar tepat dimana pembatas buku yang kuselipkan sebelumnya berada.
"Ahh tanaman ini!" Seruku tanpa sadar, mendapati nama tanaman yang tertangkap oleh mataku, "Forget-me-not"! Tanaman ini yang paling kunantikan untuk dibaca! Akhirnyaa!!
Kugulirkan pupil mataku, membaca dengan cepat dan sangat antusias. Sungguh, tanaman ini sangat menarik untuk dipelajari.
"Forget me not. Sebuah bunga berwarna biru muda berukuran mungil dengan warna yang indah dan menarik. Namun, keindahan bunga ini berkebalikan dengan makna menyedihkan yang terkandung di dalamnya. Bunga ini melambangkan ketidakinginan seseorang untuk dilupakan orang lain. Konon katanya, pada abad pertengahan ada seorang kesatria yang sedang berjalan dengan istri terkasihnya, lalu sang kesatria tersebut mendapati bunga biru kecil yang menarik perhatiannya. Ia berniat untuk memetikkan bunga itu untuk istri tercintanya. Namun, karena beban dari baju kesatria yang dia pakai, dia tidak sengaja terpeleset dan terjatuh ke sungai. Namun, sempat ia memetiknya dan melemparkannya ke arah istrinya yang meneriaki namanya, sebelum ia tenggelam dalam derasnya arus sungai. "Forget me not!" Teriaknya, sebelum menghilang seiring arus sungai yang mengalir, menghanyutkan raganya meninggalkan luka pedih dalam hati sosok yang ia tinggalkan."
Pedih... Itu yang kurasakan saat membaca bab mengenai tanaman ini. Tidak ingin dilupakan oleh seseorang...Aku bisa merasakannya, walaupun aku sendiri tidak pernah mengalaminya...
"Forget me not. Bunga ini punya makna yang mendalam ya...?"
T-tunggu! Suara ini....!
"K-kau?! Tidak sopan mengintip bacaan orang lain, tahu!"
Tersentak karena kehadirannya yang tiba-tiba muncul di belakangku, segera saja kututup buku yang sedang kubaca. Ahh, sial. Kenapa harus berhenti, padahal aku masih belum selesai membaca bab itu!
"Ehehehe.. Reaksimu lucu sekali, (name)-chan~"
Dapat kudengar dengan jelas kekehannya tepat di belakang telinga kananku. H-huh?! Tangannya mengekangku, dan menjebakku di antara meja dan dirinya! Astaga...apa yang dia inginkan sih?!
"S-Sebenarnya, apa yang kau mau?!"
Astaga...Kenapa bicaraku menjadi gugup seperti ini?! Dan, jatung, bisakah kau berdetak normal seperti biasanya?!
"Tidak ada. Hanya ingin tidak dilupakan oleh seseorang yang penting bagiku--"
"Siapa?" Selaku, sebelum ia menyelesaikan ucapannya.
"Himitsu da yo~ Rahasia~ ^^"
Tch! Makhluk ini!!
"Tch, cepatlah pulang! Sudah waktunya aku menutup toko ini! Kalian ingin aku kurung di sini semalaman?!"
"Nah, Sora. Tanggung jawab, kau telah membuatnya marah. Dan sekarang dia mengusir kita dari sini."
"Ehehe...Gomen, Soushi. Lagi pula, kami akan segera pulang kok."
"Tunggu apa lagi?!"
"Aku ingin memesan sesuatu."
"Pesan apa?! Jika makanan, lebih baik kau beli sendiri di toko seberang!"
"(Name)-senpai...Bersabarlah dengan Sora-senpai... Dia memang suka bermain-main seperti itu..."
Benar yang dikatakan Ren-kun, lebih baik aku menenangkan diri dari pada melayani celotehnya.
"Umm... Tunggu sebentar..Biarkan aku berpikir sejenak apa yang ingin aku pesan."
"Hhh...Baiklah. Tapi jangan terlalu lama. Ini sudah terlalu sore."
"Hai'~"
Ia menuju ke luar toko, lebih tepatnya melihat-lihat bunga apa yang terjajar di depan toko. Hm? Apa yang dia cari?
Segera saja kuhampiri dirinya dan membantunya mencari apa yang dia mau. Jangan salah sangka! Aku melakukannya sebagai salah satu pelayanan terhadap pengunjung toko!
"Apa yang kau cari? Biar aku bantu agar lebih cepat."
"Forget me not. Apakah ada??"
"Hm? Forget me not? Ada. Di sebelah sini.." Kuarahkan dirinya menuju bunga forget me not itu terletak. Kalau tidak salah, bunga itu ada tergantung di halaman samping.
"Woah--! Ada! Kalau begitu, aku pesan satu pot kecil yang ini. Kira-kira berapa harganya??"
"Tunggu sebentar..." Kulepaskan tali gantung yang mengikat pot dengan perlahan. Kuperhatikan dengan seksama pot berisi tanaman tersebut dengan teliti sambil menepuk-nepuk pot yang sedikit kotor karena tanah. Harus kupastikan jika ada lubang di pot atau ada kerusakan pada tanaman, bisa diganti dengan yang baru.
"Pilihan yang bagus. Bunganya indah." Pujiku atas kemampuannya dalam memilih tanaman bunga yang sehat dan subur.
"Biar kusiapkan. Sebentar ya..."
Kembali memasuki toko, kulangkahkan kakiku menuju meja awal tempat dimana aku merangkai mahkota bunga aster. Mempersiapkan lagi alat-alat dan bahan yang digunakan untuk menghias.
"Untuk bingkisan ya? Ingin dihias atau tidak?"
"Yaps, nantinya akan kuberikan ke seseorang. Tapi, kalau aku yang menghiasnya sendiri, boleh??"
"Terserah. Jangan salahkan aku jika hasil yang kau buat jelek."
"Tenang. Aku tidak akan menyalahkan (name)-chan, kok!"
Lengannya mengarah ke spidol berwarna dan pita yang sudah kusiapkan. Dengan raut yang ceria, ia mencoret-coret--ahh tidak, maksudku menghias pot putih polos itu.
"Jangan lihat! Aku tahu aku tidak seterampil (name)-chan dalam menghias!" Bibirnya ter-pout. Lengannya ia arahkan untuk mem-block pandanganku dari potnya yang sedang ia coret-coret.
"Haah...Iya iya. Berisik sekali."
Tsk, menyebalkan. Padahal aku hanya penasaran dengan apa yang sedang ia buat. Tapi... tunggu... Aku tidak pernah melihat wajahnya seserius itu dalam mengerjakan sesuatu. Seharian ini aku hanya melihat ekspresinya yang ceria namun tampak bodoh menurutku.
Entah kenapa, pandanganku tidak bisa kualihkan dari dirinya. Mataku terus terpaku pada wajahnya yang sesekali berkerut karena terlalu serius menghias. Surai cokelat kemerahan...Netra bulat sempurna yang senada dengan warna rambutnya... Aku sering melihat warna rambut dan netra yang sama dengannya...tapi, aku merasa seperti sesuatu mengganjal perasaanku.
"Sora..." Satu kata lolos tanpa sadar terucap dari bibirku.
"(Name)-chan...? Kau memanggilku tadi??"
"Memangnya namamu itu "Sora"?"
"E-eh? Apa maksudnya itu?? Tentu saja aku Sora! Ohara Sora!"
Tunggu...Jadi namanya Sora?! Tapi, kenapa aku tidak mengingat apapun tentangnya...?!
"Ugh..."
"(N-name)-chan?! Daijoubu ka?!"
"Aku..khh..tidak apa-apa..Hanya sedikit pusing.."
Hah, beginilah kalau aku memaksakan mengingat sesuatu. Kepalaku sering berdenyut seakan-akan menghalangiku untuk mengingat semuanya.
"Jangan terlalu dipaksakan untuk mengingatnya..."
"Dari pada dipaksakan, kuharap ini berhasil...." Pot putih tadi yang kini penuh dengan coretan tersodor ke arahku saat ia menyelesaikan ucapannya.
"Jadi...ini...untukku...?"
"Yaps, tolong rawat bunganya dengan baik untukku ya!" Kutatap wajah tersenyumnya bergantian dengan pot yang ia serahkan kepadaku. Aku ragu untuk menerimanya.
"Untuk...apa..?"
"Agar (name)-chan tidak lupa."
"Mengenai...?"
"Apapun tentangku. Dan kuharap (name)-chan dapat mengingatnya dengan segera. Semuanya. Semua hal yang (name)-chan lupakan sekarang..."
Terdiam, aku kehabisan kata-kata menanggapinya.
Kuperhatikan pot tersebut lekat-lekat. Memperhatikan setiap coretan yang ia tulis dan lukis di atas polosnya pot bercat putih.
"Jangan lupakan aku ya, (name)-chan!"
"Langit. Tataplah langit, kuharap kau akan mengingatku!"
"Dari seseorang yang pernah hadir dalam memorimu yang terpendam."
"- Ohara Sora>-<"
"T-terima kasih... hiks... Kau bahkan sampai melakukan hal seperti ini agar dapat diingat olehku... hiks"
"A-aa! Kenapa kau menangis (name)-chan?! Apa aku melakukan sesuatu yang menyakitimu?!"
"Ya...Kau menyakitiku...hiks.."
"K-kau...kau membuatku membenci penyakit alzhaimerku..."
"A-aku..tidak ingin melupakan siapapun lagi.. Dan, maaf...maaf karena aku menyakitimu dengan melupakanmu! P-padahal..aku tidak bermaksud untuk itu... Maafkan aku...hiks.."
Nah, (name) sekarang kau tampak bodoh di hadapannya dan terlihat seperti anak cengeng. Uhh...memalukan. Kenapa aku menangis di hadapannya?!
"Sudahlah..sudahlah...Lagi pula ini bukan sepenuhnya salah (name)-chan.. Dan, bukankah (name)-chan juga tidak menginginkan penyakit ini terjadi padamu kan?"
"Begitulah..."
"Pfftt-- Ahaha...apa ini?? Apakah ini orang-orangan sawah???" Tangisku berubah menjadi gelak tawa lantaran tidak sengaja terfokus pada gambar yang ia buat. Sebuah padang rumput dengan awan biru yang menaungi, dan seseorang yang nampak seperti orang-orangan sawah di tengah-tengah... Ahaha...
"Humph-! Itu aku bukan orang-orangan sawah tahu! Kejamnya~!"
(Note: Lagu di vol. 4 ini cocok untuk bulan ini, Desember ditambah sampul albumnya musim dingin favouriteku >\\\<)
》》》》》》》》》》》》》》》》》》》》
Yeay~ I'm back~ Berusaha untuk aktif lagi lanjutkan ini cerita T~T Thanks for voting, giving comments, and following! Tunggu lanjutan chapternya ya!
d(⌒ー⌒)!
Regard,
Sunrise64
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top