[4] : Dia tidak peka
Deeka tadi terlihat bahagia mengobrol dengan perempuan yang menembaknya. Ternyata perempuan itu dari kelas sebelah dan dia sangat cantik!
Oh, sial. Jika dia jelek, peluang ditolaknya akan tinggi. Tapi... dia cantik! Kulitnya putih, tubuhnya langsing, dan memiliki senyum yang manis. Mana mungkin Deeka menolak perempuan sesempurna itu? Aku harus membeli tissue yang banyak setelah pulang sekolah. Karena aku yakin, malam ini aku akan menangis seorang diri.
Aku menempelkan dahiku di meja, dan mulai membenturkannya pelan beberapa kali. Entah untuk apa, tapi aku suka melakukan hal ini jika sedang sedih.
"Lo nggak takut jidat lo jadi benjol, Beruang?"
Aku menghentikan gerakanku, dan langsung menengok ke arah suara. Melihat wajahku, Deeka malah tertawa puas sambil menunjuk dahiku lalu berkata, "Astaga, jidat lo merah."
Kuusap dahiku, sambil meringis. "Argh...."
"Sakit, ya? Tunggu sebentar!" Deeka berlari keluar dari kelas. Aku melirik Sandra, dan dia juga ikut menertawaiku. Sahabat macam apa itu?!
"Untung nggak benjol, Ra. Ambil hikmahnya aja, ya," ujar Sandra masih tertawa.
"Beruang! Nih! Gue udah minta es batu dari kantin." Deeka datang membawa es batu yang dibungkus dengan kain. Karena aku tetap diam, dia langsung menempelkan kompresan itu ke dahiku. "Lo bener-bener harus hilangin kebiasaan aneh lo itu."
Dia tahu? Oh, tentu saja.
"Lo kenapa? Ada masalah? Biasanya lo jedotin jidat lo, kalau nilai lo jelek," ucap Deeka dengan santai, masih mengompres dahiku.
"Masalah? Nggak ada."
"Bohong."
"Gue beneran nggak apa-apa." Aku menyingkirkan tangannya dari dahiku. "Nggak usah sok tahu."
"Gue punya kabar buruk. Gue nolak cewek yang tadi ngobrol sama gue."
"Hah? Serius?!" Sepertinya aku terlalu bersemangat. Aku langsung memasang wajah tak peduliku, dan kembali berkata, "Oh, kenapa? Bukannya, dia cantik?"
"Alasan dia nembak gue, karena gue ganteng doang. Kayak bocah,'kan? Gue nggak suka."
Syukurlah! Astaga! Aku rasanya ingin loncat-loncat detik ini juga! "Oh, berarti dia nggak tulus, ya?" Aku masih berlagak cool.
"Iya, dia nggak setulus lo yang membenci gue."
"Lo nggak bisa nyamain gue sama dia. Benci dan suka itu beda."
"Beda. Hanya terhalang oleh benang tipis." Deeka menyentuh dahiku dengan jari telunjuknya. "Hati-hati."
"Aduh, jidat gue lagi sakit, tau!"
"Eh, iya. Lupa, maaf ya, Beruang." Deeka terkekeh pelan dan kembali mengompres dahiku.
Sandra tiba-tiba batuk cukup berlebihan. Aku dan Deeka sama-sama meliriknya dengan tatapan bingung. "Untuk ukuran teman berantem, kalian terlalu deket. Sadar, nggak?"
Deeka tiba-tiba tertawa. "Apa, sih? Siapa yang terlalu deket? Kita biasa aja, kok!"
"Masaaaaa?" goda Sandra dengan nada yang begitu songong.
"Jangan ngaco, San." Aku pun angkat bicara. Aku tidak ingin Deeka merasa tidak nyaman dengan kata-kata Sandra. "Kita berdua nggak ada apa-apa."
"Hmm, gitu. Oke." Sandra mengangguk, lalu kembali bermain ponsel.
"Lo bener benci sama gue, Ra?" bisik Deeka serius.
"Iya, kenapa?" balasku berbisik.
"Jangan benci-benci, nanti jadi cinta, loh." Lalu Deeka pun menaruh kompresan di tanganku, menyuruhku melanjutkan sendiri. Dia pun kembali berjalan ke mejanya, tapi aku sempat melihat dia tersandung dan hampir jatuh kalau tidak cepat pegangan dengan meja.
Hati-hati, Deeka. Kamu bisa terluka.
Dia langsung kembali sok cool saat duduk di kursinya. Melipat tangan, lalu menyuruhku terus mengompres dahiku agar tidak sakit.
"Iya, bawel."
[]
Aku menyesal menyakiti dahiku seperti itu. Kalian tahu, sampai rumah, dahiku masih merah....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top