[3] : Dia bisa melihatku
Sejak kapan aku menyukainya? Sebenarnya, aku lupa. Sejak kelas sepuluh, kami selalu bertengkar. Aneh sekali karena kami selalu bertengkar karena masalah sepele. Ada saja tingkahnya yang membuatku kesal. Sikapnya yang suka tidak jelas duduk di sebelahku, mungkin menjadi alasan teratas aku mulai menyukainya.
Dan aku ingat, saat kelas sepuluh, aku pernah tidak mau ikut bertanding sepak bola. Namun, ia terus memaksaku ikut, supaya tim perempuan kelasku komplit. Tapi, aku tetap keras kepala dan menolak untuk bermain.
Aku ini aneh, kaku, canggung, dan tidak bisa olahraga. Aku tidak percaya diri untuk bermain bersama teman-teman sekelasku yang lain. Mereka begitu berkilau, sedangkan aku? Aku sama sekali tidak menarik untuk dilihat. Tapi, anehnya, Deeka selalu melihatku. Dia selalu melihatku, tepat di manik mataku berada.
"Lo bisa! Gue yakin, lo bisa! Berhenti nunduk, dan jangan takut sama yang lain! Ngerti?"
Aku saat itu mengangguk, karena lelah membantahnya. Selama pertandingan, aku selalu melirik Deeka, dan dia terus mengacungkan jempol ke arahku, sambil tersenyum manis.
"Ayo, Beruang! Semangat!"
Mungkin, itu pertama kalinya hatiku terasa bergetar. Dia benar-benar melihatku di saat orang lain tidak. Seiring berjalannya waktu, kami semakin dekat. Ia terus mengejekku, dan aku mulai terbiasa. Malah setiap hari, aku selalu menunggu dia mulai mengejekku, dan aku akan balas mengejeknya. Terus seperti itu, hingga sekarang.
Semua orang tahu kami dekat, tapi yang mereka tahu ... sangat berbeda dengan perasaanku yang sesungguhnya. Mereka mengira, hubunganku dan Deeka hanya sebatas teman bertengkar. Tapi, sebenarnya kami tidak selalu bertngkar. Terkadang, kami berbagi cerita sampai tengah malam lewat chat.
Tidak ada yang tahu kebiasaan kami itu. Namun, setiap aku habis berchatting semalaman bersama Deeka, besoknya pasti kami merasa sedikit canggung dan malah tidak banyak bicara.
"Pagi, Beruang!" Deeka memukul mejaku, saat ia baru datang.
"Ada angin apa, nih? Lo kelihatan seneng banget."
"Kepo, ya?" Deeka tersenyum miring, lalu ia mendekatkan wajahnya ke telingaku. "Gue habis ditembak cewek."
Serius, jantungku terasa berhenti untuk sesaat. Namun, aku berusaha tertawa. "Wah, laku juga lo!"
"Iya, lah. Memangnya lo? Nggak laku."
"Bukan nggak laku. Gue memang nggak mau pacaran. Itu cuma buang-buang waktu." Aku berujar ketus.
"Gue setuju. Buat apa pacaran? Jajan aja masih minta orang tua."
Aku mengangguk setuju. "Jadi, lo nolak tuh cewek?"
"Bukan nolak, sih. Gue aja nggak tahu, dia itu yang mana. Jadi... gue mau lihat dulu."
Oh, ternyata Deeka sama saja. Jika cantik, dia pasti akan menerima perempuan itu. Iya 'kan? Sudahlah, Nara. Lebih baik kamu mundur.
"Jadi, lo ditembak lewat chat, gitu?" Aku berusaha terkekeh geli.
"Iya, cute, ya? Kayaknya tuh cewek pemalu. Wah, dia udah memenuhi salah satu tipe cewek gue." Deeka tersenyum sombong.
Pemalu? Deeka suka dengan cewek pemalu? Aku baru tahu.
"Selain pemalu, apa lagi?" tanyaku datar.
"Hmm, manis, bisa bikin gue ketawa setiap saat, pinter, dan ... bisa bikin gue merasa special. Gimana? Terlalu muluk-muluk nggak sih tipe cewek gue?"
Jantungku berdebar lebih cepat, setelah merasa semua yang Deeka katakan sangat sesuai denganku. Well, kecuali yang terakhir. Aku tidak yakin, aku bisa membuatnya merasa special. Aku lebih sering memukulnya, sih. "Apa?"
"Terlalu berlebihan nggak tipe cewek gue, Ra?"
"I-iya! Berlebihan banget! Lo harusnya jangan nentuin tipe cewek kayak gitu."
"Kenapa?"
"Hmm, itu sama aja lo milih-milih ciptaan Tuhan." Oke, aku mulai berkata berlebihan.
"Astagfirullah, iya juga, ya? Oke, gue nggak akan punya tipe cewek. Yang penting, dia baik dan bisa bikin gue nyaman. Gimana?"
Aku mengangguk plan. "Nah, itu lebih bagus."
[]
Aku menyesal karena pernah berpikir untuk mundur....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top