#2
Aku menggeliatkan tubuhku yang terasa sedikit pegal. Aku memicingkan mataku melirik jam dinding yang kini menunjukkan pukul 09.45. Mataku masih sedikit berat sebenarnya tapi perutku tidak bisa diajak kompromi. Lapar. Bahkan sangat.
Aku bergerak merenggangkan otot-otot tubuhku. Sedikit menguap, aku beranjak dari sofa single-ku menuju ke kamar mandi. Tapi langkahku terhenti ketika menyadari tatapan tajam seseorang. Aku menggerakkan kepalaku ke arah ranjangku.
Benar saja. Pria itu kini setengah bersandar dengan rambut coklat keemasan yang sedikit acak-acakan. Matanya menatap lurus ke arahku. Penampilannya membuka mataku lebar bahwa pria ini sangat sexy sebenarnya. Tapi sayang, sejak kehadirannya dia sudah membuatku repot.
"Sorry, namaku Shanon. Aku bekerja di club yang semalam kau datangi. Dan sekarang kamu berada di kamarku," jelasku bersidekap tanpa berniat basa-basi.
Kulihat pria itu mengangguk singkat. Mulutnya sedikit terbuka membentuk huruf -o-.
"Aku...,"
"Kamu bisa pulang kapanpun kamu mau. Kalau kamu mau cuci muka atau yang lain, kamar mandinya sebelah situ," ujarku sambil menunjuk ke arah pintu kamar mandi.
Di kamar mandi aku hanya terdiam mematung di depan wastafel. Sejujurnya aku bingung, tidak tahu harus bersikap bagaimana di hadapan pria asing itu. Aku mengembuskan nafasku singkat, meraih sikat gigi dan memberikan pasta gigi sepanjang bulu-bulu sikat itu. Tanganku mulai menggosok gigiku sementara pikiranku tidak fokus. Setelahnya aku membasuh wajahku bahkan sampai entah berapa kali. Terakhir aku baru sadar ketika busa di wajahku cukup banyak padahal foam yang kugunakan hanya sedikit.
Tanpa sadar aku berdecak, merutuki diriku sendiri. Tanganku kemudian meraih handuk kecil, mengeringkan wajahku dengan perlahan sambil melangkah keluar dari kamar mandi.
"Aku nggak tahu apa yang dilakukan setiap wanita di kamar mandi. Mereka akan berlama-lama di dalam," decak pria asing itu kesal sambil menerobos masuk, membuat tubuhku sedikit limbung karena tersenggol.
Memangnya aku selama itu apa? gerutuku dalam hati meninggalkan kamar mandi yang sudah tertutup. Bibirku sedikit mengerucut sambil melangkah ke dapur.
Aku mengambil dua cangkir kosong dan dua teabag kemudian menyeduhnya dari air panas dispenser. Aku tidak memiliki banyak bahan makanan di lemari pendingin karena memang aku belum sempat untuk belanja bulanan. Hanya tersisa beberapa lembar roti tawar dan beberapa butir telur.
Aku memutuskan untuk membuat sandwich sederhana. Berisi daun selada yang kubiarkan lebar utuh dan telur mata sapi di atasnya. Lalu kutambahkan sedikit saus sambal dan mayonise kemudian menutupnya dengan satu lembar roti tawar tanpa kulit. Aku meletakkan dua porsi sandwich sederhana itu ke dalam dua piring. Entah dia suka atau tidak tapi yang penting aku sudah menyediakan sarapan untuk tamu yang sama sekali tidak kuharapkan sebelumnya.
Aku menarik kursi sambil memasangkan headset ke kedua telingaku. Setelah itu aku menyesap teh hangatku, menunggu telfonku di jawab.
"Kak Iman," sapaku begitu telfon tersambung.
"Apa? Dia nggak ngapa-ngapain kamu kan?"
"Enggak sih. Cuma --"
"Layanin yang baik ya? Aku kasih bocoran, dia orangnya asyik kok. Aku sering service dia."
"Terus untungnya buat aku apa?" tanyaku berdecak.
"Thanks. Aku lapar dan -- kayaknya ini nggak cukup buat aku." Sebuah suara disertai tarikan kursi di depanku membuatku tidak mendengar jawaban Kak Iman dengan jelas.
Dia terlihat cuek, menyesap teh yang tadi kubuat dan terlihat masih mengepul. Sementara aku dengan bodohnya menatap dengan terbengong saat pria asing itu mengambil jatah sandwich-ku. Aku bahkan sampai lupa dengan telfonku yang masih tersambung dengan Kak Iman. Yang kutahu pada akhirnya aku gelagapan sendiri dan langsung menutup ponselku saat pria asing itu membalas tatapan bodohku.
"Kenapa?" tanyanya tanpa merasa ada yang salah dengan yang ia lakukan.
"Nggak. Lapar ya?" tanyaku pelan.
"Sangat. Thanks untuk sarapannya," ucapnya tanpa beban.
Baru aku sadari kalau pria asing ini hanya mengenakan boxer-nya. Kemana jaket kulit dan celana jeans yang dia kenakan semalam? Dia sudah seperti di rumahnya sendiri saja, geramku dalam hati.
"Kamarmu nyaman. Aku nggak pernah tidur se-nyenyak semalam," ucapnya sambil mengunyah.
Tapi aku yang nggak nyaman! Aku jadi tidur meringkuk di sofa, gerutuku dalam hati. Tapi yang keluar hanya senyuman tipis yang terlihat dipaksakan.
"Namamu siapa tadi?" tanyanya menatapku.
"Shanon," jawabku enggan. Dalam hati aku berteriak kapan dia akan pulang? Maksudku aku mau melanjutkan tidurku di ranjang, meluruskan badanku yang pegal-pegal karena tidur meringkuk selama beberapa jam tadi.
"Panggil aku Max. Oke, aku udah selesai sarapannya. Dan --emh, Shanon!"
Aku menegakkan wajahku menatap pria asing itu. Oya, Max namanya.
"Bangunkan aku jam 3 ya? Aku masih mengantuk. Ingat, jam 3. Karena aku ada janji jam 4 dengan seseorang. Thank you, Shanon," ucapnya kemudian beranjak kembali ke kamarku tanpa memberiku kesempatan untuk bicara.
"Ini masih apartemenku kan?" gumamku lesu, menyesap kembali teh-ku yang sudah agak dingin.
"Masih. Tapi aku suka kamarmu," serunya dengan senyum kemenangannya.
Sialan!!! Ganteng tapi ngeselin! jeritku dalam hati mengumpat pria asing itu. Tubuhnya sangat menggoda tapi melihat sikapnya membuat semuanya menjadi menyebalkan. Ini semua gara-gara Kak Iman yang memaksaku untuk pulang mengantarnya. Bukan mengantar tapi malah membawa pria merepotkan itu.
Aku duduk terpekur di meja makan. Tapi lama-lama mataku protes minta segera dipejamkan. Sebenarnya seminggu ini jadwal tidurku mengalami perubahan drastis. Malam untuk bekerja dan sepanjang siang aku akan tidur kemudian akan bangun saat jam menunjukkan pukul setengah empat. Lama ya? Lumayan.
Pada akhirnya aku menyeret kakiku menuju ke kamarku. Sedikit menghela nafas saat melihat Max sudah kembali terlelap di tengah ranjang.
Masa iya aku tidur meringkuk lagi di sofa? Aku mendesah singkat, mendaratkan pantaku di karpet bulu di samping rajang. Tanganku iseng meraih remote TV menyalakannya dengan volume kecil agar tidak mengganggu pria itu.
Sesekali aku menguap. Tubuhku sudah tidak mampu lagi bersandar di sisi ranjang. Perlahan aku menjatuhkan tubuhku di karpet bulu itu. Sedikit lebih baik dari pada meringkuk di sofa. Sampai kemudian aku menyerah dari kantukku.
Entah ini mimpi atau memang benar, kurasakan tubuhku melayang dan dalam sekejab aku merasakan kenyamanan meskipun bantal yang menopang kepalaku entah kenapa berubah jadi keras. Yang kutahu aku tidak memiliki bantal keras meskipun bantal yang kupunya adalah barang diskonan.
***
Max POV
Aku belum tidur benar saat kurasakan kehadiran seseorang. Aku membuka sedikit mataku melihat gadis itu seakan bingung mau menempatkan diri di mana. Tampangnya sangat menggemaskan. Aku memang tidak mengenal gadis yang katakanlah lumayan cantik itu tapi entah kenapa aku merasakan sesuatu yang berbeda. Ketulusan di balik wajah ketusnya.
Namanya Shanon.
Tanpa sadar aku tersenyun tipis. Gerakan gadis itu kembali menarik perhatianku. Dia duduk di bawah dan lama-lama berbaring di karpet. Sebenarnya ia bisa protes atau memarahiku karena aku memonopoli kamarnya. Tapi entah kenapa gadis itu hanya diam membiarkanku berbuat sesuka hati.
Aku bergerak sedikit, menilik gadis yang kini terlelap di karpet. Wajah cantiknya mendorongku untuk berbagi ranjang dengannya. Perlahan aku mengangkat tubuhnya ke ranjang dan membaringkan kepalanya di atas lenganku. Harum tubuhnya mendorong sesuatu di dalam diriku. Mataku tak bisa kukontrol, dia mulai berani menelusuri lekuk-lekuk wajah gadis di pelukanku ini.
Kamu berbeda. Dan, maaf, sepertinya aku tertarik untuk membuatmu terjebak di dalam kehidupanku. Mungkin aku harus berterima kasih dengan botol-botol yang kutenggak semalam. Dengan seorang wanita yang berani mempermainkanku. Karena kalau tidak ada keduanya, aku tidak mungkin terdampar di kamar mungil-nya.
Kurasakan gerakan gelisah dari gadisku ini. Aku menyebutnya gadisku karena dia akan segera kumiliki entah bagaimana caranya. Aku sudah memutuskan untuk tertarik padanya. Kali ini aku merasa tidak akan melepaskan gadis ini apapun alasannya. Satu tangan kosongku dengan sigap menarik pinggang Shanon lebih dekat denganku, membuatnya kembali nyaman dalam tidurnya.
Baru menikmati beberapa menit, getaran ponselku menginterupsi kegiatanku. Tanganku bersusah payah meraih ponsel yang kuletakkan di meja nightstand. Pedro! Ah! mengganggu saja!
"Ya, Ped?"
"Ada artis yang tak berhenti menghubungiku. Dia ingin bekerja sama denganmu. Proyek album barunya katanya. Dia ingin ada sentuhan remix di album barunya."
Aku terdiam beberapa saat. Pedro adalah asistenku. Sebenarnya ini tidak penting. Aku bukan artis. Tapi job manggungku dan kesibukan formalku membuatku sedikit kewalahan mengatur waktuku.
"Aku nggak mau."
"Kenapa? Profitnya bagus, Max. Dia bahkan berani membayar mahal kalau kamu mau bekerja sama dengannya."
"I know. Tapi kamu tau sendiri jadwalku cukup padat. Kalau aku ambil itu, aku akan kehilangan waktu istirahatku."
"Tumben? Biasanya kamu malah ingin sibuk."
"Sekarang nggak. Mulai sekarang nggak. Aku akan minta jatah liburku."
"Apa --itu artinya kamu udah buka hati buat Zizi?"
"Udah putus!" jawabku singkat kemudian menutup telfon itu dan meletakkannya kembali di meja night stand.
Karena aku akan menyibukkan diri untuk membuatnya terjebak dalam genggamanku. Dengan itu gadisku nggak akan bisa pergi meninggalkanku seperti yang lainnya. Kamu, Shanon. Aku berjanji untuk itu. Tidak peduli seandainya kamu udah memiliki pacar. Karena seorang Presscot Maximillian tidak pernah mengenal kata gagal.
Seringaian kecil tercipta di sudut bibirku. Katakanlah aku seorang penguasa. Mataku masih saja menatapi wajah yang kian terlihat nyaman dalam lelapnya. I found you, my Lady.
***
Tbc
agak aneh ya? karena ini diluar zona nyamanku. Jadi, maafkan kalau cerita ini absurd.
btw, sorry.. aku termasuk penulis (gaya bgt) yg ga konsisten. ada 3 story yang masih gantung tapi dripada ini ide ilang gitu aja.. pelan-pelan pasti aku rapiin semuanya tapi sorry ga bisa cepet. semua tergantung ide yang dateng. Soalnya buruknya aku tuh nulis ga pake outline tapi lebih mengandalkan ide dan mood..
tq so much buat yg udah bersedia mampir.. happy reading..
28 okt 2015
S Andi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top