#1
Ini bulan ketiga aku bangun di pagi hari tanpa harapan. Di apartemen kecilku ini, aku menghabiskan hari-hariku tanpa bekerja. Hanya tidur, makan, bermain ponsel dengan sedikit menghayal sambil menunggu panggilan kerja yang sampai saat ini enggan menghampiri. Begitu seterusnya sampai kembali bertemu malam lalu ke pagi lagi. Sebuah siklus kehidupan monoton yang terpaksa aku jalani akhir-akhir ini.
Terdengar sangat mengenaskan. Tapi kurasa tidak begitu parah. Biar kuceritakan bagaimana awal kelabuku ini.
Semuanya berawal dari perusahaan tempatku bekerja yang gulung tikar. Melambungnya dolar selama beberapa bulan lalu berdampak buruk buat perusahaan kecil tempatku bekerja dulu. Kami semua di rumahkan. Bukan hanya tempatku saja. Beberapa perusahaan lain juga terpaksa tidak memperpanjang kontrak para karyawannya. Dan inilah salah satu penyebab kenapa aku masih berdiam diri di apartemen sampai saat ini.
Keadaanku seakan diperparah dengan perubahan statusku. Ario --lelaki yang kupacari hampir 5 tahun ini memutuskanku. Alasannya klise. Kami tidak cocok. Hey, boleh aku bertanya? Di mana tidak cocoknya? Bahkan kami sebenarnya sudah merencanakan sebuah pernikahan sederhana di ujung tahun ini. Mengenaskan! Alasan yang membuatku ingin lenyap seketika adalah karena keadaan keluargaku yang tidak beruntung seperti yang lain. Aku terlahir dari seprang wanita single parent.
Oh, begitu? Aku bisa apa? Menyalahkan keadaan? Yang benar saja? Aku tertawa miris. Meratapi nasib? Itu terlalu dramatis. Langsung move on? Mungkin. Tapi rasanya sulit. Kenapa? Hal yang menyakitkan adalah ketika orang yang kau cintai mulai menyinggung sejarah keluargamu. Rasanya aku ingin berteriak di depan mukanya, memangnya hidup ini kamu yang mengatur?! Jadi kamu bisa request sebuah kehidupan yang baik tanpa cela?!
Sampai di sini, apa aku salah jika aku menangis? Merasakan sakit yang seolah bertubi-tubi? Marah-marah tak jelas yang tentu saja bukan aku banget sebelumnya. Kenyataan yang meneriakiku bahwa aku tidak berharga. Belum lagi pekerjaan yang enggan menyambutku. Lalu tekanan-tekanan lain yang semakin membuatku stres. Aku bisa apa? Menangis? Umurku yang kata orang sudah matang rasanya memalukan kalau aku sampai menangis meraung-raung. Belum lagi adik perempuanku yang seperti ingin segera menikah. Iya, tentu saja. Lagipula usianya juga sudah cukup. 22 tahun. Benar kan sudah cukup?
"Shanon!!!"
Aku mendengus mendengar teriakan seorang perempuan sambil menggedor-gedor pintu, membuatku kembali tersadar dari lamunan pagi hari. Bel pintu kamarku perasaan masih berfungsi dengan baik. Tapi teriakan itu memaksaku untuk sedikit sabar menghadapinya. Aku sudah hafal bagaimana dia. Aku beranjak sambil mengikat rambutku. Membukakan pintu yang mungkin bisa saja jebol lama-lama kalau setiap hari dia gedor dengan keras.
"Apa?" tanyaku pelan sambil menutup kembali pintu kamarku saat gadis itu nyelonong masuk dan langsung memanjat ranjang single-ku.
"Nggak," sahutnya enteng.
Aku hanya berdecak, membiarkan tangan kurusnya mengambil remote TV dan memilih acara favoritnya, Infotainment.
"Sha, jalan mau nggak?" tanyanya tanpa mengalihkan tatapannya dari TV LED milikku.
"Ngapain? Kemana?"
"Kemana aja. Nyari kerja. Kamu bangunnya siang mulu, kapan dapet pacarnya. Kesamber yang lain deh."
Aku mendelik sebal. Tapi gadis itu tetap saja cuek. Aku melangkah mendekatinya dan duduk di karpet, bersandar pada sisi ranjang. Aku mulai menyesap teh hangat yang baru saja kubuat. Kulihat gadis itu melorot dari ranjangku. Tangan kurusnya kini membuka toples yang berisi biskuit coklat kesukaannku. Ia mulai memakannya.
"Ayo, mau nggak?"
"Nggak," jawabku singkat.
"Ayolah. Kenapa sih nggak mau?"
"Males. Kamu kenapa nanya-nanya?"
"Nggak."
Kudengar dia mendengus kesal. Tapi bibirnya masih saja berucap merayuku. Namanya juga Milly. Kalau aku belum meng-iya-kan, dia akan tetap merayuku sampai aku bilang iya.
"Shanon...,"
"Mau nyari kerja di mana sih?"
"Udah sih jalan aja. Buruan sana mandi!"
***
Terik matahari siang ini begitu menyengat. Beberapa kali aku mengusap peluhku dengan tissue yang sengaja kuselipkan di tas punggungku. Duren Sawit ke daerah kuningan bukan jarak yang dekat. Apalagi Milly malah mengajakku naik kendaraan umum. Jadi --bisa dibayangkan bagaimana lelahnya kakiku dan bau matahari yang melekat di tubuhku.
"Mill..," lenguhku lelah menyusuri trotoar.
"Sebentar lagi. Temanku lagi di jalan." Kepalanya celingak-celinguk seperti mencari sesuatu.
"Sorry, lama. Macet!" Suara seseorang hadir di antara kami.
"Nggak apa-apa, Iman," sahut Milly dengan senyuman tulusnya. Iman ini adalah sepupu Milly.
Tadi gadis itu sempat membisikiku kalau pria ini yang akan membawa lamaran kami di sebuah club tempatnya bekerja.
Club?! Sebenarnya aku agak sedikit ragu untuk melamar pekerjaan di sebuah Club yang identik dengan kehidupan malamnya. Sisi ibukota yang sebenarnya. Tapi bagaimana lagi? Daripada menganggur tidak jelas.
Setelah beberapa jam kami di dalam, akhirnya kami keluar dengan harapan baru. Aku diterima kerja di sana dan akan mulai efektif bekerja minggu depan sebagai cashier. Sementara Milly sebagai waitress, yang aku tahu seragam kerjanya melekat ketat menggambarkan bagaimana lekuk-lekuk tubuhnya.
"Jalanin aja dulu, Sha. Baik buruknya kita kan hanya diri kita sendiri yang tahu. Orang lain cuma menonton," ujar Milly menyemangatiku yang terlihat agak ragu.
Senyum samar tercipta dari bibirku. Dia benar. Yang penting aku tidak melanggar norma kan?
***
Sudah seminggu aku menjalani pekerjaanku. Berangkat malam pulang menjelang subuh seperti wanita penghibur saja. Tapi aku bukan penghibur! Aku bekerja di belakang meja yang, di hadapan sebuah komputer, menghimpun uang dan bill-bill milik customer.
Tidak ada masalah yang berarti selain kantuk. Aku tidak bisa membuka mata sampai menjelang subuh. Musik remix khas dunia malam tidak mampu mengalahkan kantukku yang terkadang sangat bandel.
Aku sedang mengunci lemari kasir ketika seorang pelayan menghampiriku dengan wajah bingungnya.
"Apa kamu udah beres?" tanya cowok itu pelan.
Aku mengangguk sambil meneliti wajah itu.
"Udah. Kenapa?" tanyaku mengernyit.
"Di ruang VIP masih ada orang. Sendirian."
"Oya? Tapi tidak ada bill yang belum terbayar. Semuanya sudah rapi."
"Bukan begitu."
"Terus?" Aku berjalan keluar dari bilik kasir menghampiri cowok itu. Dia lebih lama beberapa bulan di sini.
"Dia tidak mau pulang. Padahal kami sudah membujuk."
"Kak Iman ada?" tanyaku. Kak Iman adalah Captain floor yang bertugas malam ini. Kulihat cowok itu mengangguk.
"Shanon, kamu sudah beres?" tanya Kak Iman mendekat.
"Iya."
"Uang sudah masuk ke brangkas?"
Sekali lagi aku mengangguk.
"Milly pulang bareng aku. Dan kamu naik taksi aja ya? Sekalian kamu anter tamu kita."
Antar tamu? Apa? Aku menatap Iman penuh tanya. Dengan pelan dia menjelaskan bahwa tamu yang ia maksud sama dengan pria yang baru saja temanku ceritakan. Katanya ia pelanggan club ini. Tapi yang jadi pertanyaannya kenapa harus aku?
"Please, Shanon. Nggak mungkin kan pulang bareng Milly. Kamu kan tau pacarnya cemburuan. Dan nggak mungkin juga dia pulang bareng aku atau Panji. Kami sudah berkeluarga," jelasnya. Panji, temanku tadi pun menganggukkan kepalanya.
Aku harus bagaimana?
"Memangnya tidak ada pihak yang bisa dihibungi apa?"
"Ponselnya pake password, Shanon," erang Iman.
"Minta anter yang lain aja sih," ucapku masih berusaha menolak.
"Nggak ada, Sha. Yang lain udah pada pulang. Tinggal anak service aja. Udah deh, taksi aku bayarin deh," ucap Iman.
Aku menghela nafasku. Perlahan kepalaku mengangguk. Sedikit tidak ikhlas juga sih. Aku meraih tas kecilku menuju ke taksi yang sudah terparkir di pelataran parkir. Aku membukakan pintu bagian belakang untuk tamu yang sedang di papah Kak Iman dan Panji. Yang kutau pria itu sudah mabuk berat. Aku kemudian duduk di kursi bagian depan. Tak lama kemudian taksi yang kutumpangi melaju.
"Aku harus antar kemana?" tanyaku menelpon Kak Iman begitu aku ingat kalau aku tidak tau harus kemana mengantar pria itu. Sementara Taksi sudah cukup jauh dari tempatku bekerja.
"Aku nggak tau juga, Sha. Sementara ikut kamu dulu nggak apa-apa kan? Ntar kalau dia udah bangun baru kamu jelasin. Tenang aja dia nggak bakal apa-apain kamu kok," sahut Kak Iman menjawab telfonku.
"Apa? Terus?"
"Percaya deh. Ntar kalau dia ngapa-ngapain kamu, telfon aku aja."
Aku mendengus, memasukkan kembali ponselku ke dalam tasku. Mataku melirik pria yang tak sadarkan diri itu.
"Kita kemana, mbak?" tanya supir taksi menginterupsi lamunanku.
"Oh, Duren Sawit, Pak," jawabku cepat.
Kepala supir taksi itu mengangguk paham. Aku kembali terdiam memikirkan apa yang sedang terjadi. Mimpi apa aku kemarin siang sampai aku harus membawa pulang pria tak dikenal. Aku mengembuskan nafasku diam-diam.
Satu jam perjalanan, akhirnya aku sampai di depan apartemenku. Aku mengeluarkan beberapa lembar uang kemudian meminta tolong supir taksi itu untuk memapah pria itu ke dalam apartemen.
"Terimakasih, Pak. Maaf merepotkan," ucapku tulus setelah aku memberikan uang lebih padanya. Supir taksi itu mengangguk.
Aku segera menutup kembali pintu kamarku begitu supir taksi itu pergi.
Kulihat pria yang telentang di tengah-tengah ranjangku dengan sepatu pantopel yang masih melekat di kedua kaki panjangnya. Perlahan aku melepaskan sepatu itu menyisakan kaus kaki berwarna abu-abu. Mata isengku menelusuri wajah pria itu. Cukup tampan dan... wait! Aku baru menyadari kalau pria itu bukan warga asli pribumi.
"Aku harap kamu benar-benar aman. Nggak membahayakan," gumamku kemudian masuk ke kamar mandi, membersihkan wajahku dan mengganti pakaianku dengan kaus lengan panjang dan celana training.
Aku mengambil bedcover dari dalam lemari kemudian meringkuk di single sofa, mengistirahatkan mataku yang sangat terasa beratnya. Dia? Aku tidak memikirkan pria asing itu lagi. Yang penting aku bisa tidur karena demi apapun aku sudah tidak bisa lagi menahan kantukku.
***
Tbc...
ini story-ku yang mungkin berbeda sedikit dari yang pernah kubuat. Aku mengangkat tema yang agak sedikit nakal kali ini.. semoga kalian suka dan mungkin ada yang mau sedikit membantu usul atau apapun tentang dunia malam (club) karena aku cukup minim dengan dunia ini...
27 Oktober 2015
S Andi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top