9 - Rangkulan Semesta

Rio mendrible bolanya kasar kesembarang arah, dunianya seolah hancur tak tersisa, pikirannya dipenuhi nama Gabriel. Jangan tanyakan bagaimana rasanya menahan rindu selama bertahun-tahun, bagaimana pedihnya menanggung beban, meratapi kesakitan seolah dunia tak memberi celah untuk bersandar. Belum lagi, vonis dokter tentang kondisi Gabriel yang hingga kini belum stabil. Pikirannya penuh, ada banyak hal yang ingin dia tanyakan pada orang itu, tapi dia tidak punya keberanian yang cukup untuk memulai.

Brukk...

Tap... tap... tap...

Braak...

Braak...

Berkali-kali dia gagal mencetak angka, permainannya kacau. semua strateginya hilang, slideshow dari masa lalu berputar di otaknya seperti kaset rusak.

8 tahun lalu...

Matahari baru saja menampakan sinarnya, dari sebuah kamar terdengar alunan musik mengalun indah dari dua anak laki-laki berumur 7 tahun. Ditemani kicauan burung mereka memainkan nada-nada istimewa mengiringi sang surya menampakkan sinarnya.

"Main litle star with the moon dong, mulai dari F" pinta sang adik yang memegang biola, sementara sang kakak memainkan piano.

"Oke..."
Keduanya memainkan alat music masing-masing dengan sangat indah. dari ruang keluarga kedua orang mereka, Pak Marcel—Bu Manda mendengarkan dengan seksama, permainan kedua putra kecilnya mampu menyayat perasaan, nada-nada itu mampu menyampaikan pesan akan keindahan dari hamparan istana luas dalam bayangan mereka seperti lagunya.

"Pah, Mama jadi nggak tega misahin mereka..." Lirih Bu Manda, Pak Marcel menghentikan kegiatannya, membaca surat kabar.

"Papa juga sebenarnya nggak tega, Ma! Tapi mau bagaimana lagi, ini juga demi kebaikan mereka." sahut pak Marcel tenang.

"Kenapa kita nggak kesana bareng aja, Pa...? Biar Iyo bisa nemenin kakaknya"

"Papa tidak bisa meninggalkan pekerjaan disini. Lagipula mama harus fokus sama Gabriel. Sudahlah, biar Iyo disini saja sama Papa..." Jelas Pak Marcel lagi.

"Tapi, Pa--"

"Memangnya, kita mau kemana Ma?" tanya Gabriel tiba-tiba, Pak Marcel dan Bu Manda menoleh kearah putranya dengan wajah sendu. Bu Manda mendekati gabriel, menggendongnya untuk duduk bersama.

"Mama mau ngajak Iyel ke paris, kita mau ketemu pak dokter biar kakak nggak sesak lagi dadanya. Tapi Papa sama Iyo nggak bisa ikut, kakak mau kan?" Jelas Bu Manda pelan, gabriel menganggguk. walaupun masih 7 tahun, gabriel tergolong anak yang cerdas.

"Terus, Kapan kita pergi Ma?"

"Besok sayang..."

Gabriel tersenyum tipis, menatap mama dan papanya gantian, "Ehmm... Ma, Pa, boleh nggak kalo cincin di tangan mama sama papa buat iyel?" Lanjutnya refleks menunjuk cincin pernikahan yang melingkar di jari manis keduanya.

"Tentu saja, sayang" mereka melepas cincin itu bersamaan lalu menyerahkanya pada Gabriel tanpa bertanya lebih lanjut. Mereka mengerti anak-anaknya memang sangat kreatif.

"Makasih Mamaaa... Papa...." Gabriel memeluk kedua orang tuanya, "biar Iyel bilang sendiri sama Iyo ya Ma, boleh kan?" lanjutnya, keduanya mengangguk setuju. Gabriel terseyum lebih lebar lalu kembali ke kamarnya.

Clekk...

"Lama banget sih yel, ambil minum aja! Minumnya dirumah Pia ya?" gerutu Rio kesal begitu sang kakak membuka pintu.

"Maaf Iyo, tadi Iyel abis bicara sama Mama Papa..."

"Bicara apa? Kok Iyo ngga diajak"

"Besok Iyel mau ke Paris,"

Rio tersenyum cerah. "Asiiik, Iyo ikut ah, pasti pulangnya malem deh!" sahutnya senang

"Nggak bisa Yo... Iyo dirumah aja" jawab Gabriel pelan

"Yaaah..." Rio ngambek, bibirnya manyun seperti bebek.

"Nanti siapa yang jagain Papa sama Via kalo Iyo pergi juga"

"Ooohh... yaudah deh Iyo disini aja sama Papa, Apin, Pia sama Caka" pasrah Rio, Iyel mengacak-acak rambut adiknya pelan.

"Anak pinteeer, nanti kalau Iyel pulang Iyel bawain bola deh..."

"Janji? Jangan lama-lama ya Yel?" Rio menjulurkan kelingkingya, gabriel terseyum menautkan kelingkingnya juga.

"Janji," kata Iyel mantap. "eehh iyaa, Iyel punya ini..." lanjutnya menunjukan cincin yang dimintanya tadi, mengambil 2 buah kalung di laci meja dan menjadikan cincin itu liontin, lalu di pakaikan pada rio, dan satu lagi dipakainya sendiri.

"Nah, kalungnya kembar deh... disimpen yaa, yo..." pesan gabriel, Rio menganggukkan kepalanya senang, gabriel adalah kakak terbaik di dunia.

---💑---

"Iyel sama mama berangkat dulu yaa? Iyo jagain Papa, Mama sayang sama Iyo..." Bu Manda memeluk Rio sambil menangis, Rio membalas pelukan itu

"Mama cantik, jangan nangis dong... Iyo kan jadi cedih..."

Bu manda menepuk kepala Rio pelan, "Mama engga nangis kok sayang, Iyo baik-baik yaa sama papa," pesan beliau lembut, Rio mengangguk lucu.

"Iyo tunggu iyel pulang yaa... Nanti Iyel bawain mainan baru, hiks... Hiks..." Gabriel memeluk Rio erat.

"Iyel jangan nangis dong, kalo ada yang nakal bilangin Iyo yaa... bial Iyo omelin" Hibur Rio, gabriel menghapus airmatanya.

2 tahun kemudian...

"Paa... kita susulin Mama sama Iyel yuk? Kan bentar lagi Rio ulang tahun?" pinta Rio pada Pak Marcel, ayahnya. ini bukan pertama kalinya rio meminta hal yang sama, namum baru kali ini dengan yakin Pak Marcel menuruti kemauan itu.

"Iyaa, tapi nanti kamu tinggal disana yaa, Papa pulang lagi ke indonesia..." Pak marcel terseyum sembari berkemas.

Rio mengangguk senang, "berarti Rio bisa main sama Iyel tiap hari dong, asyiiiik... Asyyikkkk" serunya. Sore itu juga mereka berangkat ke Paris

---💑---

Rio kecil menggenggam erat sang ayah selama perjalanan menuju rumah baru Gabriel disana.

"Oiya, Pa... Nanti Iyo mau main bola ah, sama Iyel. Papa temenin kita, yaa? Teyus abis itu makan es clem, pasti selu deh, Pa!" Kata Rio cerah.
Sepanjang jalan dia berceloteh banyak hal tentang rencana yang akan dilakukannya hari ini, besok, dan besoknya lagi, senyum bahagia tak beranjak sedikitpun dari wajah tampannya. Baginya, segala sesuatu yang berhubungan dengan Gabriel pasti menyenangkan, main sepeda bersama, lari-larian bersama, main hujan bersama, semuanya menyenangkan.

Taxi berhenti di salah satu rumah seberang jalan, Rio bergegas turun lalu menerobos masuk kerumah serba putih yang diyakininya sebagai rumah baru sang kakak. Ramai sekali disana, Rio tersenyum cerah. "Kayaknya Iyel lagi bikin kejutan nih buat aku, buktinya disana banyak orang rapi-rapih, seperti raja ratu pesta dansa" gumamnya.

Rio melanjutkan langkah memasuki pintu utama yang terbuka kedua sisinya. Dari kejauhan, dia bisa melihat gabriel duduk disalah satu kursi kecil. Dia tersenyum lebar hendak mendekati sosok itu, namun baru beberapa langkah dia dikejutkan dengan datangnya anak laki-laki yang datang lebih dulu darinya, mendekati gabriel kemudian mengandengnya keluar.

Deg...
Rio terpaku, dilihatnya mereka tengah bermain bersama, saling bermanja. Bahkan dari sudut ini, dia bisa melihat gabriel menyanyikan lagu untuk anak itu, mereka tertawa bersama.

Rio meneteskan air mata, dia marah, dia sakit hati! dulu, Gabriel hanya akan seperti itu padanya, Gabriel selalu bilang padanya, kalau dia adalah adik terbaik sedunia. Gabriel selalu bilang kalau tidak ada yang bisa menggantikannya di dunia ini. Tapi, apa yang dilihatnya saat ini membuat semuanya terasa berbeda, semuanya berubah. Gabrielnya sudah berubah. Rio marah, dia kecewa. Baru saja dia akan berbalik keluar ketika tatapannya tak sengaja melihat Bu Manda datang bersama seorang laki laki mendekat kearah Gabriel dan anak kecil satu lagi lalu memeluk keduanya bersamaan. Kemarahan Rio semakin membuncah melihat semua itu.

"Huuuueee...."

"Huuuueee...."

"Huuuueee...."

Rio berlari sekuat tenaga meninggalkan rumah itu, menubruk keras tubuh pak Marcel yang berdiri tidak jauh dari gerbang depan.

"Huuuueee..."

"Papa... Huee... Papaaaaa Rio mau pulang aja, pa! Rio ngga mau disini. Iyel punya adik baru, mama juga, mereka jahat! Mereka udah lupain Iyo, mereka engga sayang lagi sama Iyo!" Adunya dengan tangis yang belum juga mau berhenti. Pak Marcel menggendong Rio meninggalkan kawasan rumah kemudian memesan tiket kembali ke indonesia keesokan harinya.

Brakk!

"Awww, Lo kira-kira dong, Yo! gimana kalo gue gagal ngeles tadi..." omel Alvin mengelus kepalanya yang sedikit sakit, andai saja tadi Rio focus melempar bola, pasti dia sudah pingsan.

"Sorry," Rio menoleh kebelakang, melanjutkan permainannya yang sudah hancur.

Alvin berjalan mendekati sahabat baiknya, berusaha merebut bola yang memantul tidak jauh dari jangkaunya itu. "Kalau punya temen tuh dimanfaatin, nggak peka banget sih liat gue dateng, ishh!" gerutunya mengambil alih bola yang sejak tadi digawangi Rio sendirian.

"Kalau lo ngerasa sakit, Lo masih punya gue! Nggak ada gunanya nyiksa diri lo kayak gini, Yo..." lirih Alvin berusaha menahan bola, emosi Rio kali ini susah untuk dia kendalikan.

Rio terdiam, tidak dipedulikannya lagi si oren bundar memantul jauh dari tempatnya, menutup matanya erat-erat, menikmati setiap inci rasa sakit yang menusuk dadanya tanpa sanggup merintih sedikitpun. Dia merasa hancur, tidak berguna, hingga sangat merasa bersalah! dia lelah, sangat lelah dengan perjalanan hidupnya menemukan Gabriel lagi setelah sekian lama.

Sudah satu tahun lebih dia kembali satu sekolah dengan sang kakak, tapi nyatanya dia sama sekali tidak mengerti apa-apa tentang laki-laki itu, laki-laki yang pernah menjadi salah satu bagian terindah dalam hidupnya, laki-laki yang pernah menganggapnya istimewa senakal apapun dia, ah entahlah! Rio tidak tahu harus mengutarakannya dengan kalimat apa.

Alvin mendekati Rio mencoba memberi kekuatan, dia jelas tahu apa yang mengganggu fikiran sahabatnya sejak Cakka memintanya untuk menyusul Rio yang pergi dari rumah sakit.

"Yo...!"

"Udahlah... Lo jangan kayak gini, percuma"

"Vin..." Rio merentangkan tangannya lebar-lebar, dia butuh Alvin seutuhnya sekarang, sadar akan kode tersebut, Alvin merangkul Rio, bisa dirasa tubuh sahabatnya itu bergetar hebat.

"Gabriel pasti baik-baik aja kok, gue yakin dia kuat. So, jangan buat gue takut dengan sikap lo yang sok kuat kaya tadi..." Ujar Alvin menyadarkan Rio untuk tidak bersikap gegabah.

"Gue... Gu... Gue, gue ini adiknya apa bukan sih, Vin...? Gue nggak tahu apa-apa tentang dia..." lirihnya dengan nafas senin kamis saking sesaknya, seluruh tubuhnya terasa sakit, kepalanya seperti ditusuk ribuan pisau, dan ditarik ulur berkali - kali.

"Sssst... Lo tenang, Gue yakin kok kalo kenyataannya nggak kaya gitu" hibur Alvin.

"Gu... Gue... Gue gue udah nggak kuat lagi, Vin.. " serah Rio, pertahananannya ambuk sesaat setelah sakit itu merampas paksa kesadarannya.

"Apaan sih, ngaco deh!" respon Alvin, "orang yang sakit Iyel kok, kenapa Lo yang engga kuat! Ada-ada aja!" lanjutnya.

Hening...
Selama beberapa menit keadaan tidak berubah, Rio betah diam.

"Heh, jawab! ngelamun lagi, emang pelukan gue seenak itu, apa!" gurau Alvin sengaja.

tetap hening,

Perasaannya semakin tidak enak saat merasa rangkulan Rio memberat dipundaknya.

"Yo...?" Alvin melepaskan tangannya perlahan, yakin dugaannya benar saat tahu-tahu badan itu limbung kearahnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top