57 - Debo dan Egonya


Cinta mampu membuat pencintanya seolah pergi meninggalkan hidup dan menghampirinya dengan kekuatan penuh, cinta mampu menerjang jalannya sendiri meski berliku dan terjal, cinta membiarkan setiap pecinta mendefinisikannya sesuai dengan yang mereka rasakan, tidak selamanya bahagia, tidak juga selalu menderita, bahkan, cinta bisa lebih bijak dari ego manusia.

***

Ify menatap pantulan dirinya dalam cermin panjang di sudut kamar, Gaun putih polos berhias brukat kecil di bagian lengan memanjakan matanya, jangan lupa jepitan kupu-kupu besar yang disertakan dalam paket tanpa nama yang diterimanya sore ini. sungguh, Ify hanya bisa mengatakan selera pengirimnya pasti sangat keren.

Dia melangkah menuruni anak tangga, senyumnya merekah cerah, secerah perasaannya malam ini. langkahnya membawa serta harapan yang sempat tersimpan bahkan Ia sendiri ragu bisa menggapainya. Bohong jika Ia tidak senang Rio mengajaknya bertemu meski hanya lewat pesan. Agak aneh memang, tapi bagaimanapun juga Ify sudah memikirkannya matang-matang sebelum mengambil keputusan.

Ify sadar, posisinya memang sulit dan Rio tidak akan melukai hati sahabatnya dengan mudah. Jangankan untuk merebutnya, laki-laki itu mungkin akan dengan senang hati membiarkan perasaannya terluka daripada harus melihat sahabatnya terpuruk, apalagi hal itu terjadi karenanya. Entah apa yang dipikirkan cowok itu.

Seharian ini, Rio seperti menghilang di telan bumi, tidak datang ke sekolah, tidak bisa di huhungi, apalagi sengaja bertemu untuk menjelaskan maksud pesan semalam, Ify dibuat sepaneng seharian sampai paket tanpa nama datang yang seketika membuatnya yakin kalau Ia harus pergi malam ini.

Kali ini saja, Ia ingin hatinya yang menang. Kalaupun mereka tidak bisa bersatu, setidaknya malam ini akan menjadi malam yang mengesankan karena hatinya telah mendapatkan jawaban.

---

Ify berdiri di depan gerbang, menunggu taksi Online yang sudah dipesannya, Selagi menunggu, Ia memilin jarinya cepat, sekelebat bayangan wajah Rio muncul dikepalanya, kira-kira apa yang akan laki-laki itu lakukan? mungkinkah apa yang dikatakan para sahabatnya tadi benar? bolehkan Ia berharap demikian?

Tin...
Tin...

Segala bayangan indah yang berseliweran di atas kepala sontak memudar bersamaan dengan terdengarnya klakson mobil di kanan jalan, tampak mobil CRV putih berhenti tidak jauh dari gerbang, Ify menatap mobil itu dengan kening berkerut.

Debo turun dari kursi kemudi lalu berjalan kearahnya, senyumnya merekah. "Hai, sayang..." Sapanya seraya mencium kening gadisnya singkat, "Kamu kok udah diluar sih? tahu dari mana aku mau dateng"

"Enggak kok, A... aku, lagi mau keluar aja, nyari angin." alibi Ify cepat

"Waaah... kebetulan banget dong, aku juga kesini tadinya mau ngajak kamu jalan, ke suatu tempat, ada yang pengen aku omongin, yuk..." balas Debo senang, satu tangannya bergerak meraih jemari ify dalam genggamannya.

"E... Tap... tapi gue ma—"

"Please, ini tentang Rio, Fy..."

Ify diam, kenapa Debo malah membawa nama Rio sekarang? Sebenarnya ada apa? kenapa Debo harus datang disaat dia harus segera pergi?

Dia sudah ditunggu seseorang, janjinya jam 8 malam ini. Ia ingin pergi, tapi tidak adil rasanya jika Ia mengabaikan Debo mengingat laki-laki itu sudah datang.

"Ayok, Fy..." Debo mengulurkan tangan, menggenggam jemari ify lebih erat.

Ify menatap lengan itu ragu, "Tapi De, Gue..."

"Please, anggep aja ini permintaan terakhir gue, karena kalo nggak semuanya akan terlambat..."

Ify semakin bimbang, kalau tidak segera berangkat, dia pasti akan terlambat bertemu Rio. tapi, bagaimana dengan Debo dan permintaan terakhirnya?

"Yaudah deh, kalo lo nggak mau, nggak apa-apa. Gue pul—"

"Oke, Oke, gue ikut" potong Ify sebelum kehilangan kesempatan, mungkin saja hari ini Debo benar-benar tidak berbohong, "tapi jangan lama-lama, ya... gue ada janji lain" lanjutnya sebelum berjalan membuka pintu dan masuk ke bangku samping kemudi.

Debo menghela nafas lega, senyum kecil terpeta di wajah lelahnya. Dia segera berlari memutar arah, masuk kedalam mobil, menghidupkan mesin kemudian menjalankan mobilnya berlalu meninggalakan perumahan tempat Ify tinggal.

❇❇❇

Rio merapatkan jas pemberian Pak Dedi yang baru dikenakannya beberapa menit lalu. Sweater putih panjang yang dipilihnya rupanya tidak cukup kuat menahan desiran angin yang menerpa tubuh. Jangan lupakan kondisinya yang belakangan tidak bisa dibilang baik, Pak Dedi sudah menawarkan agar dia masuk ke dalam mobil atau menunggu di tempat yang lebih hangat, Alvin bahkan sudah ngomel-ngomel di telepon, namun semua itu dimentahkan oleh sang Tuan Muda.

Malam semakin gelap, Ia melirik arlojinya, pukul 21.40. wah, pantas saja Pak Dedi mengingatkannya berkali-kali sedari tadi, malam hampir sampai pada puncaknya, dan seseorang yang Ia tunggu belum menunjukkan tanda-tanda akan datang. Ia menghembuskan nafas resah, kembali merapatkan jas di depan dada.

"Sepertinya Debo berhasil..." lirihnya nyaris berbisik, meruntuki kebodohannya.

---

CRV Putih itu melaju dengan kecepatan sedang membelah keramaian kota, 30 menit berlalu dengan hening mendominasi keduanya, Ify memilin jemarinya takut, beberapa menit lalu alarm di ponselnya berbunyi menunjukkan waktu tepat pukul 8. Dia menatap gusar jalanan yang entah dimana.

Debo tidak menunjukkan i'tikad baik untuk memintanya turun, tidak juga memulai pembicaraan seperti yang dijanjikan.

Tiba-tiba Debo menepikan mobilnya di tepi jalan, menatap Ify yang tertunduk disampingnya, dalam satu gerakan cepat Ia membuka pintu samping kemudi, menuntun Ify untuk keluar melewati jalan setapak kecil dengan lampu temaram yang menemani keduanya.

"Gue mau cerita," Debo membuka pembicaraan, ditatapnya wajah Ify dalam-dalam, matanya tak lagi berbinar.

Ify mengalihkan pandangannya pada Debo sejenak, mencoba untuk tersenyum, satu yang ada di fikirannya sekarang, kalau dia terlambat, apakah Rio masih akan menunggunya?

"Gue kenal Rio dari SD..." Debo memulai monolognya, "Rio yang ngenalin gue sama Iyel, Cakka dan Alvin, kita temenan udah kayak lem sama prangko, dimana ada mereka, disitu pasti ada gue. mereka juga yang ngenalin basket ke gue waktu itu," Debo menghela nafas berat, Ify memilih bersandar di jok mobil, kalau sudah begini, mana mungkin dia bisa pergi.

"Dulu, gue sama sekali nggak suka basket" Debo melanjutkan ceritanya, "buat gue, basket itu belibet, harus ada kordinasilah, formasilah, strategilah, ribet. Sampai hari dimana gue terpaksa pindah sekolah, gue marah sama mereka karena mau nggak mau kita harus pisah. Tapi, Rio sama sekali nggak marah, sesekali dia main kerumah ngajak Alvin atau Iyel buat basket bareng. Sejak itu, gue jadi suka basket. Gue sering main basket kalo lagi kangen sama mereka sampai akhirnya gue jadi maniak basket, niruin demenannya Iyel" Debo menghela nafas berat sebelum melanjutkan kalimatnya, "Gue ketemu lagi sama mereka pas lulus SMP, waktu itu nyokap gue baru meninggal" tutupnya.

Ify mengangguk mengerti "Pantes kalian kayak deket banget."

"Ehmm.. Fy, boleh gue nanya satu hal sama lo?"

"A... ap... apa?"

"Kenapa kamu sangat mencintai Rio?" suara Debo kembali menggema di dalam mobil. Sejatinya, bukan itu yang ingin dia perjelas, dia hanya berupaya meyakinkan pilihannya, itu saja.

Ify menggeleng lemah, memandang lurus keluar jendela. "Gue juga binggung, De. seandainya gue suka sama dia karena dia ganteng, nyatanya masih banyak orang ganteng diluar sana. Kalau gue suka sama dia karena dia baik, gue rasa lo juga baik, dan masih banyak lagi kemungkinan-kemungkinan yang sering gue fikirin, tapi tetep aja gue nggak bisa bohongin perasaan gue, gue butuh dia, gue butuh genggamanannya, senyumannya, pelukannya, gue butuh diperhatiin sama dia, butuh digodain sama dia, gue butuh semua yang ada sama dia karena hati gue suka dan gue selalu ngerasa istimewa pas sama dia"

Ify menghela nafas pelan, dadanya semakin sesak saja setelah mengatakan hal itu. Sepeting itukah? Sejelas itukah perasaannya? Bahkan dia sampai bisa mengatakannya segamblang ini di depan laki-laki yang tidak lain adalah kekasihnya. Jahat sekali dia sebagai pacar!

"Gue iri sama Rio, dia bisa dicintai sesempurna ini sama lo, sementara gue?" Debo tertawa sumbang, jangan tanyakan sehancur apa perasaannya sekarang, rencananya membawa Ify kabur hilang sudah.

"De... s... sorry" Ify menunduk dalam, merasa bersalah.

"Kemarin Rio main kerumah, minta izin buat ngajak kamu jalan, berdua aja!"

"Hah?"

Debo menatap mata Ify lamat-lamat, "Tadinya, Aku pengen mertahanin cinta aku sampai akhir, aku belum siap kalau seandainya Rio beneran nembak kamu, aku nggak mau kehilangan kamu, Fy."

"Jadi lo sengaja ngajak gue pergi..." Ify menatap datar pemandangan di hadapannya, selesai sudah, tidak mungkin Rio masih menunggunya jika begini.

Debo mengangguk pasrah. "Gue mau buat pengakuan" ujarnya datar.

"Gue sayang banget sama lo, lo tahu kan? Lo wanita pertama yang buat gue jadi egois, gue tega nyakitin sahabat gue demi mertahanin lo, lo wanita pertama yang ngebuat gue sadar cinta itu sebenarnya kayak apa..." Debo menarik nafas sejenak, menghalau sesak yang seolah menghimpit dadanya. "Tiga bulan lebih kita bareng-bareng, tapi nggak sedikitpun hati lo terbuka buat gue, jangankan ngerasain sakitnya, nyentuh hati gue aja mungkin lo nggak berkenan..." lanjutnya pilu

Ify tersentak, seketika rasa bersalah menyeruak begitu dalam, ya tuhan apa yang sudah dia lakukan? Dia bahkan tega melukai hati laki-laki sebaik Debo hanya karena hatinya tidak bisa mencintai laki-laki lain? Kejam sekali.

Debo bergerak cepat merengkuh gadisnya yang terisak hebat, membenamkan wajah Ify dalam pelukannya. "Jangan nangis, gue nggak suka liatnya..."

"Maafin gue, De... Maafin gue..."

"Lo tahu nggak, apa komentar Rio pas gue bilang kalau gue mau nyulik lo dan nggak ngebiarin lo dateng malem ini," sela Debo mengalihkan pembicaraan, melonggarkan pelukannya kemudian menarik wajah Ify dengan satu jemarinya yang bebas, gadis itu tampak menggeleng kecil.

"Dia bilang kalo kalian berjodoh, Tuhan yang bakal hentiin gue buat bawa lo kabur. dan sepertinya Dia bener, selama perjalanan kesini, Tuhan bener-bener ngerubah niat gue, Tuhan udah meredam ego gue buat nylulik lo!" Debo terkekeh kecil diakhir kalimatnya.

"Tapi tetep aja sekarang gue sama Rio nggak berjodoh, De! Ini udah jam 10 lewat, gue udah sangat terlambat dari waktu yang udah kita tentuin, Rio pasti udah pergi"

Debo memeluk Ify sekali lagi, membiarkan rengkuhannya selama beberapa menit sebelum akhirnya melepasnya dan mengecup kening gadis itu cukup lama, "Lo boleh pergi sekarang." ujarnya mencoba setenang mungkin.

"Hah?"

"Lebih baik terlambat, daripada nggak sama sekali, kan?"

"Tapi, masalahnya gue nggak tahu kita dimana dan berapa lama gue bisa nyampe sana!" Ify malah ngomel-ngomel

Debo tersenyum tipis, "Kalau lo diem aja, ya bakal lama. Tenang, taman yang lo cari cuma 50 meter dari sini kok" ujarnya kemudian

"Lo bahkan udah tahu kita janjian dimana..." Ify kehabisan kata, kejutan apalagi ini? Apa mereka berdua sengaja bersekongkol untuk mengerjainya?

"Gue sahabatnya, kalau lo lupa"

"Lo... Lo serius, kan?"

"Gue Serina..."

Seketika senyum Ify merekah cerah, "Yaudah kalau gitu gue pergi, makasih ya, De... buat semuanya..." segera, Ia berlari mengikuti arah yang ditujuk Debo tadi dengan harapan Rio masih disana meski sudah sangat terlambat.

Debo tersenyum kecil menatap kepergian ify. Meski sakit, dia merasa bahagia bisa melihat gadisnya berlari riang seperti burung yang terbebas dari sangkarnya. Ia hanya berharap, suatu hari nanti Ia tidak akan menyesal akan keputusan yang diambilnya malam ini. "Seenggaknya, Gue bisa ngeliat lo berdua bahagia"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top