56 - Judulnya Masih Ngambek
Suasana kelas sepuluh seketika berisik dan penuh dengan aktifitas tidak berfaedah lantaran adanya jam kosong sampai istirahat pertama nanti. Ify sesekali mencuri pandang kearah Rio yang duduk disampingnya. Gara-gara aksi gila lelaki itu semalam, Ify sengaja mendiamkannya, terang-terangan mengibarkan bendera perang, terlebih saat mereka sedang berdua seperti sekarang, biar saja. biar dia merasakan bagaimana rasanya tidak dihargai, bagaimana rasanya dianggap seperti orang lain.
"Kantin yuk, Shill..." alih-alih mengajak Rio untuk pergi ke kantin, Ia malah sengaja mengajak Shilla, kesempatan mumpung Alvin sibuk dengan komiknya, sekalian memperjelas aksi marah pada teman sebangkunya yang masih betah diam, tidak mau minta maaf. sampai dikantin mereka lansung memesan makanan dan mencari tempat duduk, "Biar tahu rasa deh tu orang" Ify mendudukkan badannya sebal, sepanjang jalan ke kantin Ia sudah bercerita pada Shilla perihal kejadian semalam namun Shilla hanya tertawa.
"Mau sampai kapan lo nyuekin dia kek gitu? Kasian tahu..."
Ify menggeleng, "entah, bete aja gue punya cowok nggak peka, nggak bisa banget dikhawatirin. tingkahnya itu loh Shill, nggak nguatin" Ify malah curhat, masih teringat jelas dalam benaknya tentang kejadian malam itu, dimana bodohnya Rio memasang wajah melas dan dengan entengnya mengatakan akan mengembalikan uangnya besok? Astaga! Orang itu benar-benar polos atau apa sampai bisa berfikiran sepicik itu? tidakkah dia tahu dalam cinta tidak ada yang namanya balas budi? apalagi bayar hutang.
"Tapi, kan kasian, Fy... tersiksa banget kayaknya si doi pura-pura di depan kita gitu"
"Bodo" Ify mengedikkan bahu, dia sudah mencoba berfikir jernih, mencoba mencari jalan paling baik diantara yang terbaik, namun apa yang bisa dia lakukan jika hatinya terus saja menolak untuk bersikap baik. dia tidak suka Rio sembrono menjaga kesehatannya seperti kemarin, dia tidak mau sampai terjadi apa-apa, dia tidak akan sanggup jika sesuatu yang buruk sampai terjadi.
❇❇❇
Gabriel menikmati istirahat sorenya ya di dalam kamar, memutar bola basket dengan satu jari seperti pemain profesional. Ia bersiul santai sesekali membayangkan wajah ayu Sivia yang baru saja pamit tidur setelah bertelepon dengannya. Ah, belum apa-apa Ia sudah rindu.
Lagipula siapa suruh Sivia bisa manis banget gitu jadi cewek, mana kalem lagi, kan-
Brakk!
Hampir saja Gabriel melompat dari kasur, bola yang dimainkannya menggelinding entah kemana saking Ia tidak bisa mengontrol rasa terkejutnya, perlahan Ia mengusap dadanya pelan, menyiapkan tenaga untuk memberikan kultum gratis pada tersangka yang membanting pintunya, "Kalau masuk kamar orang tuh yang sopan dong, untung jantung gue ga— lah, Ri... Rio?"
Gabriel reflek bangun dari posisinya, turun dan mendekat kearah pintu dimana adiknya berada. Baru saja Ia hendak menceramahi anak itu sampai fokusnya berhenti pada pelipis Rio yang robek dan berdarah, "Ya ampun, bocah banget sih! Pake berantem segala! Kenapa lagi? Alvin? Lo tuh—
"Bacot, Yel"
"Heh, mulutnya!"
"Yaudah diem," Rio membuang muka saat Gabriel menekan lukanya menggunakan kapas, sesekali Ia meringis ketika Gabriel menekan lukanya terlalu kuat.
"Makanya, punya hobi tuh elit-an dikit, jan berantem mulu cem popeye, bonyok yang ada" Gabriel ngomel-ngomel. Sebenarnya Ia masih binggung dengan apa yang sudah terjadi, bagaimana ceritanya Rio bisa disini dan apa alasan yang mendasari itu mengingat selama ini, sejak kesalahpahaman itu, Rio tidak pernah bersedia untuk pulang.
"Mama mana? Ray?"
"Ke supermarket sama Bibi, kalau Ray ya paling di rumah Deva" jawab Gabriel seadanya.
Rio mengamati setiap sudut ruang, kamar ini rupanya tidak banyak berubah, tata letak bahkan interior kamar ini masih sama sejak Pak Marcel mengajaknya pergi hari itu, Rio tidak akan lupa, setiap kenangan yang Ia ciptakan waktu itu, hampir seluruh masa kecilnya Ia habiskan di rumah ini, kenangan bersama Mama, Papa dan Gabriel kecil tertinggal utuh setiap kali netranya memandang, dalam hayi Ia bersyukur waktu tidak membiarkan semua itu terkikis meski tak lagi terjamah delapan tahun lebih.
Rio berjalan mendekati piano hitam disudut kamar, mengambil posisi senyaman mungkin kemudian mulai menekan tuts-tuts hitam putih diatasnya perlahan, awalnya pelan, teratur lalu berubah cepat dengan ritme dan nada minor yang tinggi, jemarinya bergerak lincah memainkan nada yang sangat berarti.
'Lah, loh, lagu ini, kan?'
Gabriel terpaku ditempat mendengarkan permainan indah Rio, dulu, waktu kecil Rio sering mengiringi permaian pianonya dengan biola yang sampai sekarang Ia tidak bisa memainkannya.
Berbeda dengan Rio yang memang jago main biola dari kecil, dan kini? rasanya seperti terhipnotis mendengar nada indah dari lagu masa lalu mereka dimainkan dengan begitu apik oleh adiknya.
'Kapan Rio mempelajarinya? Bukankah malam itu berlalu begitu cepat? Dia bahkan belum sempat menyelesaikan permainannya lagi setelah mengambil minum di dapur waktu itu? Bagaimana bisa? Bagaimana dia bisa memainkannya tanpa celah?' Gabriel mengerjap tersadar nada itu mulai melambat dalam pendengarannya. "Keren, permainan lo masih aja keren, kayak waktu kita kecil" ujarnya senang.
"Sa ae lu!"
"Anjir," Gabriel menoyor kening adeknya keras, sumpah demi cintanya pada Sivia, tingkah Rio hari ini lebih menyebalkan dari yang Ia bayangkan, semua kelakuannya mengandung zat adiktif yang mampu membuat siapapun seolah ingin memakannya hidup - hidup. "So, lo berantem apa sama Alvin pake acara kabur kesini segala?" Gabriel menyuarakan isi hati yang sejak tadi Ia tahan, sudah cukup basa - basinya.
Rio memamerkan deretan giginya seraya menggeleng, "Bukan Alvin tapi Debo Yel, ya lo tahulah sesayang apa dia sama Ify"
"Ngapain lagi kalian?"
"Nggak ngapa-ngapain. udahlah, gue numpang tidur bentar ya, capek." tutup Rio seraya mengambil alih kasur yang tengah ditinggalkan pemiliknya, mencari posisi wenak untuk tidur.
Gabriel menghela nafas lelah, apa lagi yang bisa di lakukan selain merelakan kasurnya? detik berikutnya Ia mengikuti tingkah sang adik, berbaring di sisi ranjang yang kosong, melanjutkan aksi istirahatnya yang tertunda.
❇❇❇
Dua minggu di sibukkan dengan pertandingan membuat mereka jarang memiliki waktu berdua, untuk itu Cakka memanfaatkan suasana epic malam ini untuk mengajak Agni jalan - jalan meskipun hanya ke taman komplek.
Kini keduanya duduk di salah satu kedai nasi goreng pinggir jalan, karena dari awal acaranya hanya jalan-jalan.
Cakka tidak berinisiatif mengajak Agni makan di restoran atau tempat bagus lainnya meskipun dia bisa melakukan itu.
"Ehmm... duduk ag, nggak apa-apa kan, sekali-kali kita merakyat" tanya Cakka daripada diem-dieman sambil menunggu pesanan datang. Satu tangannya bergerak membenarkan poni panjang yang jatuh ke wajah gadisnya sambil tersenyum.
'Lo cantik banget sih, ag'
"Heh! "Lo gila! disini rame banget, jan modus kenapa sih!" Agni menepis pelan tangan Cakka yang masih disekitar wajahnya, meski tidak banyak pembeli tetap saja beberapa diantaranya kini menengok kearah mereka lantaran mendengar suara berisik.
"Aku cuma benerin poni Agni sayang, bukan modus" Cakka melirik kang nasi goreng dan Agni gantian.
"Iya udah deh! lagian gue udah biasa makan disini, lo nggak lupa kan, kalo perumahan kita sama?"
Cakka terkekeh, "Enggak sih, iseng aja, kamu belajar masak dong, Ag" lanjutnya semangat "Kan seru tuh, kalau sekali-kali ngedatenya dirumah, udah deket, ngirit, gratis lagi"
Agni tertawa mendengar penuturan polos Cakka yang yaa, kalian bisa membayangkan sendiri bagaimana ekspresi yang tepat untuk kalimat sepolos itu dari wajah seseorang yang ahli merayu.
"Hmm... ayok aja, aku bisa masak kok"
Cakka menyerngit tak kentara "Oiya? masak apa?"
"Yaa... indomie paling." cengir Agni tanpa dosa.
"Yaelah, kalo indomie doang mah semua orang juga bisa kali" gerutu Cakka sebal. "Udah ah, pokoknya habis ini harus kamu belajar masak, aku nggak mau ya punya istri yang suaminya setiap hari di masakin indomie, nggak sehat!" sahutnya panjang.
Agni terkekeh keras "Selamat bermimpi, Tuan Nuraga!" balasnya Keki, sudah tahu dirinya tidak bisa memasak, kenapa pembahasan mereka justru mengarah kesana, menyebalkan sekali bukan?
"Oh, iya, tenang saja, saya akan menunggu sampai anda berhasil kok, Nona Nuraga" balasnya puas yang membuat agni semakin sebal di kursinya.
"Rese lu, ah"
"Hahahha..."
Detik berikutnya, keduanya disibukkan dengan makanan masing-masing, meski sesekali Agni tampak bersungut-sungut karena Cakka masih saja menggodanya.
❇❇❇
Ify memandangi ponselnya gamang, pesan paling akhir yang diterimanya malam ini membuatnya sibuk berspekulasi
Terhitung dua hari sejak insiden di cafe itu, Ia sengaja mendiamkan Rio, berharap dengan begitu rasa hatinya akan membaik, namun bukannya membaik, Ia malah merasa hubungannya semakin sulit.
Belakangan ini Debo menjadi protektif, dalam satu hari lebih dari lima kali Ia harus mengangkat telepon hanya untuk mengabarkan hal - hal sepele yang biasanya bahkan tidak pernah ditanyakan oleh pemuda itu.
Resah? tentu saja. Ia merasa dibatasi, Ia merasa Debo menjaganya bak permata yang bisa pecah kapan saja.
Sementara disaat yang sama, Rio lebih banyak diam, jelas - jelas Ify tengah mengibarkan bendera perang tapi lelaki itu seolah pasrah, menerima kemarahannya seolah tidak ingin mempertahankan semuanya. Tapi, kalaupun Iya. Bagaimana dengan pesan itu? haruskah ia datang dan memperjelas semuanya? bagaimana dengan Debo?
Ia memandangi ponselnya yang masih menampakkan pesan dari orang yang sama.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top