55 - Alvin Mode Galak

Rio mindik-mindik seperti maling sampai di depan pagar samping rumah Alvin setelah yakin mang Ujang, alias sopir Ify berlalu dari area rumahnya. Setelah makan malam dadakan tadi, setidaknya Ify sedikit luluh dan mau diajak bicara, bahkan Ia sampai meminta mang ujang untuk mengantarkannya pulang. ahh, gadis itu terlampau baik untuk ukuran cewek pemarah dan tukang ngambek.

Rio memainkan kunci kecil yang disimpannya sejak Papa Alvin membeli rumah ini, kunci yang dulu pernah membuat Alvin kebingungan dan mengomentarinya seperti orang bodoh.

Sudah lama sekali sejak terakhir kali dia menggunakan kunci itu, masalah tidak jelasnya dengan Alvin membuatnya terpaksa harus melakukan sesuatu.

setelah sukses membobol pagar samping dan memasuki rumah klasik keluarga Jonathan dengan selamat, Rio mengarahkan kakinya kearah jendela kamar yang berada dilantai 2, tepat di depan jendela kamarnya, rupanya gelap. tidak hilang akal Rio memainkan kunci kecilnya itu lagi dipintu taman belakang, masih ada jalan untuk masuk tanpa harus menunggu kodok sipit itu membuka pintu.

Dukk...

Dukk...

Dukkk...

Rio memelankan langkah setelah memasuki area taman belakang. Dari kejauhan, dia bisa mendengar suara benturan bola dan ring dari sana. Siapa lagi yang tidak kuasa menahan pesona si oren sampai larut malam begini selain dia dan para sahabatnya, begitu juga si kodok sipit Alvin.

"WOY! IKUTAN DONG..." Serunya lantang setelah cukup lama memperhatikan permainan individual Alvin. Bukankah dia sudah pernah mengatakan ini? Menemani Alvin bermain basket seharian lebih menyenangkan daripada pertengkaran mereka dalam jenis apapun.

BRUKK...

Hap...
Rio mengambil alih bola beberapa detik saat Alvin lengah kemudian mendriblenya pelan sampai kedepan ring. Angin malam yang berhembus lumayan kencang tidak menyurutkan semangatnya memainkan dan mempertahankan si oren ditanganya sebelum Alvin tersadar. butuh waktu sekitar lima menit sampai Alvin ikut bermain, dia tidak bisa tinggal diam melihat si oren diambil alih begitu saja darinya, meski tidak tahu harus berkomentar apa, dia berusaha mengejar kembali bolanya yang sudah direbut lawan. Seperti pelajaran olahraga disekolah, dalam basket selalu ada lawan main yang harus dikalahkan dengan skor.
So, siap atau tidak mereka harus melakukannya.

Setengah jam berlalu sejak Rio ikut bergabung dalam permainan tanpa ada pembicaraan berarti, Dia tidak peduli permainan ini akan berjalan berapa lama selagi dia bisa menemani si kodok sipit. selelah apapun, selemah apapun, dia akan menahannya sampai berhasil menemukan jawaban.

Duk...

Duuuk...

Duuuk...

"Gue nggak ngerti kenapa Lo marah, Vin. Gue cuma tahu Lo pasti kayak gini karena gue, untuk itu gue minta maaf" katanya sambil merebut bola

"Gue ngerasa nggak berguna aja sebagai sahabat lo!"

"Hari itu, saat pertama kali gue tahu kalo lo sakit dan sengaja nyembunyiin semuanya, Gue hancur Yo! Gue ngerasa nggak pantes ada disamping lo lagi. Hari itu gue mikir, apa bedanya gue yang udah kenal lama sama lo dibanding mereka yang baru kenal kalo kita sama-sama nggak tahu apa-apa! Dan sekarang, gue ngerasa lo ngelakuin hal itu lagi, gue udah pernah hancur sekali dan kayaknya itu belum cukup buat buktiin sama Lo kalau gue peduli"

Brakk...

"Ada baiknya, Lo ngasih tahu dimana posisi gue sekarang, buat gue percaya sama pertemanan kita, jangan buat gue binggung sama tingkah Lo yang akhirnya maksa gue buat mundur"

"Vin, Sorry..." Rio menggenggam pergelangan tangan Alvin erat sebelum laki-laki itu semakin jauh. "Sorry, sorry karena gue nggak bisa nyiptain kenyamanan dalam pertemanan kita akhir-akhir ini, Sorry gue udah maksa Lo buat ada disamping gue, gue nggak tahu kalau ini lebih berat dari perkiraan gue sebelumnya, Sekali lagi sorry, Vin! Gue sadar, gue egois. Gue pengecut!" Lirihnya menahan langkah Alvin.

"Right, Lo emang egois, pengecut! sok kuat, sok bisa ngelakuin semuanya sendiri dan gue nggak suka ngeliat Lo belagak nggak butuh gue, nggak butuh kita. Kalau kayak gini caranya, buat apa Lo bikin gue Care sama Lo! Buat apa Lo sok-sok baik sama gue! Hah?"

Rio kembali diam, Kepalanya tertunduk dalam saat lagi-lagi perutnya terasa sakit dan perih, rasanya seperti sengaja dibilasi dan dikoyak keluar isinya, seperti ada tangan raksasa yang memaksa masuk dalam bagian itu dan bergerak liar menghancurkan apa saja yang ada dalam ruang kecil di lambungnya hingga tak berbentuk lagi. Pandangannya mengabur saat lelahan bening hazel gelapnya terpaksa lolos saking tidak kuasa dirinya menahan golakan rasa sakit,
beruntung kini posisinya lebih rendah dari Alvin yang berdiri memunggunginya di depan sana sehingga satu tangannya yang bebas masih bisa dia gunakan untuk menekan, ah ralat meremas lambung yang tidak karuan rasanya. Dia meruntuki keadaannya, kenapa dia harus selemah ini? kenapa lagi-lagi sakit datang disaat yang tidak tepat?
Kenapa?

"Heh, nggak bisa jawab kan lo!"

"S... s... sorry, Vin"

"Gue nggak butuh, asal lo tahu!"

"Ta... ta... tapi... sssshh" Rio memejamkan matanya kuat, mengatur nafas yang terengah menahan sakit yang serasa membabi buta kali ini.

"Tapi apa, hah? tapi ap... ya tuhan, Rio!"

Rio melepaskan remasan di perutnya sesaat setelah melihat Alvin berbalik, meski netranya masih enggan terbuka, dia bisa merasakan langkah Alvin semakin dekat kearahnya. Ia memaksa tubuhnya bergerak, menegak seolah tidak terjadi apa-apa.

"Lo kenapa?"

"Nggak apa-apa, Gue nggak apa-apa kok"

"Lo pikir gue bodoh, hah! jangan gila, Gue bilang juga apa, Jangan sok kuat, punya badan tuh dijaga! udah tahu basket malem nguras energi masih aja lo lakuin" ditengah gerutuan panjang itu, Rio masih bisa merasakan cengkraman kuat di pundaknya, susah payah Ia menahan badannya agar tidak bergetar meski isi lambungnya terasa menaik sampai ke dada, panas dan sakit.

"Per--pergih, Vin. pergih..."

"Ini rumah gue, Lo nggak berhak ngusir gue dari sini?!"

"K--Kalau gitu, biar gue aja yang pergi..." Rio melepas paksa lengan Alvin yang tengah menahan badannya, bersandar di dinding terdekat, "Sekali lagi, sorry..." ujarnya lirih seraya melangkah meninggalkan taman belakang, namun baru dua langkah Ia menyeret kakinya saat tubuhnya kembali lemas luar biasa.

"Ssshhh..." Ia terpaksa berhenti, mencengkeram lambungnya dengan kedua tangan yang tak lagi sanggup menopang badan. Sekeras apapun dia berusaha menguatkan diri, nyatanya sakit ini tidak mudah untuk dia ambil alih. tubuhnya tersungkur jatuh di dekat pintu, dadanya sesak, seperti di himpit dua batu besar dan dipukul kuat-kuat setelahnya, nafasnya memberat, ini lebih sakit dari serangan sebelumnya.

"Ya Tuhan, Rio!"

"Yo, Lo bisa denger gue kan? Sadar Yo, sadar! Lo masih bisa bangun kan?"

"Ayok bangun, biar gue bantu"

Rio mengembangkan senyum ditengah tumpukan rasa sakit yang menyerak lambung payahnya, bergerak mengikuti tarikan Alvin hingga badannya setengah berdiri. Dia masih bisa merasakan papahan Alvin meski matanya tidak lagi sanggup terbuka sempurna. "Kayaknya Gu--Gue nginep dulu deh malam ini, males diceramahin Iyel"

Malam ini dunia kembali mengajarkannya akan satu hal yang terlampau penting dalam hati manusia, Bahwa hakikat memaafkan yang sebenarnya bukan tentang bagaimana kita berdamai dengan orang yang akan kita maafkan tapi lebih pada bagaimana kita bisa berdamai dengan hati kita sendiri, itulah kenapa memaafkan setulus hati jauh lebih sulit, Karena sejatinya berdamai dengan hati untuk memaafkan tidak semudah yang kita fikirkan.
Dunia juga mengajarkannya jika dalam persahabatan ada satu bangunan megah permanen dalam hati seorang sahabat yang mana bangunan itu tidak bisa di hancurkan dengan alat secanggih apapun di dunia ini, bangunan yang menyimpan rasa lebih hebat dari sekedar mampu memaafkan, yakni kepedulian mendalam.

Rio hanya bisa pasrah mendapati Alvin yang hari ini mendadak mirip ibu-ibu sosialita yang tengah menceramahi anaknya, hati-hati loh ya? jangan ada satupun dari kalian yang membayangkan dia akan bersikap manis karena itu tidak akan mungkin.

Alvin hanya merapikan kamar sambil mengomel, panjaaaaang sekali, kali ini tidak ada yang bener-bener aman dari amukan si china glodok, kertas sisa semalam berserakan, handuk dan bantal terlempar kemana-mana, belum lagi aksi ngambek susulan karena kejadian semalam.

"Udah kali, Vin. nggak capek apa Lo ngomel mulu dari tadi," gerutu Rio sambil merapikan rambut di depan kaca, lama-lama dia kesal juga melihat Alvin mengomel seperti itu, sejak mereka bangun sampai sekarang laki-laki itu tidak berhenti mengomel, memarahi, melarang ini-itu bahkan hampir saja dia juga melarangnya berangkat sekolah hari ini. bisa dibilang, tumbangnya semalam berhasil menjadi wasilah mereka berbaikan. setelah memapahnya kekamar, Alvin menjadi orang paling sibuk yang terus menanyakan keadaannya, merawatnya meski dengan cara yang sedikit 'tidak biasa'. Belum lagi upayanya menelfon Gabriel agar mereka tidak khawatir. sungguh, dia sangat berterima kasih karena tuhan telah mempertemukan mereka diwaktu kecil, memberi jalan untuk mereka saling mengenal dan bersahabat sampai detik ini.

"Makanya jangan sakit! bikin panik tahu nggak! rasanya kayak mau mati!"

"Yaah, sekali-kali nggak apa-apalah bikin lo panik, hihi"

"Hah? Apa? Sekali-kali lo bilang? Oh, gue ngerti. Jadi, sekali-kali gitu lo bikin gue panik? Sekali-kali lo nyakitin diri lo sendiri? Sekali-sekali gitu lo nyiksa diri cuma buat bikin gue panik? terusin aja, Yo! terusin aja sampai gue kena serangan jantung"

Rio menepuk keningnya frustasi, gawat, salah ngomong lagi dia. "Eh, ya bukan gitu maksud gue, Vin" sahutnya cepat. "Gue kan cuma bercanda, udahan dong marahnya, emang yang semalem masih kurang ya" lanjutnya mencoba menetralisir kemarahan sebelum menjadi masalah baru.

"Tapi masalahnya, Gue nggak suka bercandaan lo! harus berapa kali gue bilang kalau gue nggak mau Lo sakit"

"Yaudah deh, iya iyaa... gue minta maaf, janji deh lain kali gue sakitnya beneran aja, nggak bercanda!"

"Anjir! Gue gibeng juga lo!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top