53 - Makna Persahabatan

Rio mengamati sekelilingnya, sepanjang koridor masih ramai dengan sekumpulan siswa-siswi Cakrawala yang tengah menyibukkan diri sambil menunggu bel masuk. Dia menoleh ke berbagai arah, tapi tetap saja tidak ada tanda-tanda Alvin ada disana.

"Sebenarnya Lo kenapa sih, Vin!"

Ia melanjutkan langkah, sedikit tergesa melewati koridor sekolah, ruang kelas, ruang eskul, UKS, lapangan indoor, toilet dan beberapa ruangan lain yang sekirannya menjadi tempat anak itu melarikan diri. Ia masih tidak mengerti tentang apa yang sebenarnya terjadi, Ia binggung kenapa Alvin tiba-tiba menghindar, tak mau bertatap muka, apalagi menjawab pertanyaan yang Ia lontarkan di kelas tadi. Apa mungkin Alvin marah? Tapi kenapa? Memangnya dia salah apa?

Demi menjawab rasa penasarannya dia terus mencari Alvin di beberapa sudut Cakrawala, sampai rooftop sekolah, dia juga sudah menelpon Ify untuk mengizinkanya ke guru piket jika salah satu dari meŕeka tidak kembali.

"Ternyata bener dugaan gue" Rio mengulum senyum melihat siluet diujung ruang, langkahnya memelan seiring dengan terlihatnya sosok panjang Alvin yang terduduk dengan kepala tertelungkup diatas lutut.

"Vin..."

"Vin..."

"Alviiin..."

"Ko..."

"Nggak lucu ah, bercandanya!"

Rio tidak menyerah meski Alvin masih betah diam, bagaimanapun juga dia harus bisa mendapat kejelasan atas sikap tak biasa lelaki itu hari ini.

"Lo lagi puasa ngomong hah?"
Rio meratap dalam hati melihat Alvin membeku ditempat, meski tidak secara lansung jelas lelaki itu sedang marah, Alvin mendiamkannya, mengacuhkannya, mementahkan usahanya dengan sengaja. dia kenal benar siapa Alvin, dia tidak akan mengambil tindakan demikian jika tidak benar-benar marah. Dia menggigit bibir menahan sesak, apa-apaan ini? memangnya dia salah apa? apa yang telah dilakukannya sampai Alvin sangat marah? Apa!?

"Viiiiin, jawab dong..."

"Alvin..."

Rio menghela nafas berat, kalau sudah begini, menunggu saharianpun tidak akan cukup untuk meminta kejelasan. huft! tidakkah Alvin tahu dia tidak suka diacuhkan? tidakkah Alvin tahu apa yang paling tidak bisa ditahannya setelah mereka bersahabat sekian lama? mungkinkah Alvin tidak menyadari itu? apa Alvin sudah lupa?

"Oke, Oke, Gue ngaku, gue salah. yaa, meskipun gue nggak tahu apa yang buat lo marah, tapi yang jelas apapun itu, gue minta maaf, gue emang bukan sahabat yang baik kalau lo lupa!" Ia memilih pergi setelah menyelesaikan kalimatnya, laipula untuk apa dia menunggu jika hanya akan membuatnya semakin sakit, bukankah akan lebih baik jika dia pergi?

❇❇❇

Ify berlari melewati koridor kelas XI begitu bel istirahat berdering, sebisa mungkin dirinya sampai disana sebelum dua orang yang dicarinya pergi ke kantin.

Ia tengah dilanda kepanikan luar biasa karena dua orang yang tadi pagi sempat bersitegang di kelas belum juga kembali, dia takut mereka bertengkar lagi apalagi kalau sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Ah, Ify lo mikir apaan sih!

"Kak Iyel, Kak Cakka!" Ify memanggil keduanya di balik pintu, "Untung kalian belum ke kantin"

"Gue mau minta tolong" Itu lansung mengutarakan maksudnya begitu Gabriel dan Cakka selesai memasukkan alat tulisnya kedalam tas.

"Apaan?"

Ify mendudukkan badannya di kursi kosong depan bangku Gabriel, dengan cepat dia menceritakan apa yang dilihatnya di kelas sejak Rio bertemu Alvin sepagian ini, obrolan mereka, sampai insiden Alvin keluar kelas setelah menampik tangan Rio yang hendak menahannya juga telepon minta izin ke guru piket. "Gue nggak tahu mereka ada masalah apa, tapi gue khawatir soalnya sampai sekarang mereka nggak ada yang balik"

"Lo udah coba nelpon?"

Ify mengangguk mantap, "nomor Alvin mailbox terus-" Ify mengeluarkan handphone hitam milik Rio yang diambilnya dari ransel lelaki itu, menunjukkannya pada Gabriel "Bukan cuma hapenya yang ditinggal, dompet sama kunci motornya ada di tas, makanya, gue yakin mereka masih disekitar sini, Alvin keliatan marah banget tadi"

Gabriel dan Cakka saling pandang mendengar penjelasan gadis itu, jika benar Alvin marah, pasti ada masalah serius. Sejauh mereka mengenal keduanya, mereka bukan tipikal orang yang sering memperdebatkan hal-hal kecil, apalagi masalah tidak penting.

Cakka memikirkan kemungkinan yang sama, keduanya berfikir keras, berusaha mendapatkan titik terang akan hal yang mungkin membuat Alvin sangat marah. Alvin itu orang paling cuek sedunia yang pernah dia kenal, dia menggoda para gadis saja Alvin cuek, yaa dengan catatan gadis itu bukan Shilla. Tapi kali ini?

"Ja- jangan bilang-" keduanya saling pandang hampir bersamaan setelah lama terdiam. Gabriel menatap Cakka yang kini seputih kapas, Lagi-lagi mereka memikirkan kemungkinan yang sama. Ahh, sepertinya ikatan batin jauh lebih kuat dari hubungan darah kali ini.

"Kayaknya gue tahu deh mereka dimana" sahut Cakka cepat. Kalau dugaannya benar, Alvin mungkin marah karena hal itu, dia marah karena tidak bisa menerima kenyataan.

"Lo tenang ya, Fy... mending lo ke kantin sama Via, biar kita aja yang nyari mereka, ada kalanya cowok ngurusin masalah antar cowok doang. Lo bisa ngerti, kan?"

Ify mengangguk sebelum berlalu meninggalkan kelas bersama Sivia.

Sepeninggal mereka, Cakka melompat dari kursinya, mencoba menghubungi Alvin, sekali lagi, tapi tidak tersambung. "Nggak ada waktu, Yel. Gue ke atap, Lo ke taman belakang" suruhnya.

Gabriel mengangguk, mereka berpencar ke tujuan masing-masing setelah menelepon Debo, memintanya menyusul Cakka di atap sekolah.

❇❇❇

Cakka berlari menaiki tangga, membuka pintu kecil menuju bangunan ujung gedung, lama saling mengenal mereka tentu membuatnya hafal kebiasaan baik dan buruk masing-masing. juga tentang kebiasaan Rio yang sering main di atap sekolah saat suasana hatinya sedang buruk. Rio akan betah berlama-lama memandang langit, meratapi nasib lalu menangis seperti orang patah hati. "WOY, KELUAR NGGAK LO! jangan cuma ngumpet kayak anak ilang!" ujarnya lantang, dia melangkah semakin lebar menelusuri sekitar ruangan karena tidak juga menemukan sosok yang dicarinya, jangankan siluet seseorang, jejak langkahpun enggan tampak di depan matanya.

GEDEBUUK...

BRUUK...

Cakka reflek menoleh ke sumber suara, seperti ada benda jatuh, cepat dia berlari memutari tiang besar yang berada tidak jauh dari posisinya, menelisik sumber suara "Ya ampun, Alvin!" Ia memekik keras. sungguh diluar dugaan, estimasi bisa menemukan Rio mengingat kebiasaan aneh lelaki itu buyar saat yang dijumpainya justru seseorang yang tidak terfikir sebelumnya, Alvin.

Cakka menarik lengan Alvin yang tampak linglung untuk segera keluar dari tumpukan kardus bekas yang menggunung dibalik tiang, mengajaknya beralih ke tempat yang lebih lenggang.
"LO GILA APA NGGAK WARAS, HAH?" bentaknya keras, Ia mencengkeram pundak Alvin kuat-kuat untuk menarik titik fokus lelaki itu. meski ini bukan pertama kali Ia melihat Alvin linglung, tetap saja dia jengkel, gedek, dan kesal melihat sahabatnya semengenaskan ini.

"Cak-Ca-Cakka... Kok lo bisa disini?"

"NGAPAIN LO BILANG?! EMANG SIAPA YANG MAIN NGILANG SEMBARANGAN?! LO JANGAN GILA DONG, VIN! KALAU MAU NGUMPET TUH DIPIKIR DULU, DIKIRA LO NGGAK BAKAL PINGSAN APA KEJATUHAN KARDUS SEGEDE GITU!!" Cakka marah-marah sambil menunjuk kardus-kardus diatas Kayu besar tempat tadi dia menemukan Alvin, anak itu bungkam.

Cakka melonggarkan cengkramannya, mendudukkan Alvin dengan paksa. "Kenapa bisa kayak gini sih, Vin?" Ujarnya pelan. Meski estimasinya ketemu Rio gagal, setidaknya dia bisa mendengarkan Alvin untuk saat ini.

"Gue nggak ngerti, kenapa sih dia itu bodoh banget, Cakk! Dia pikir gampang apa, pura-pura nggak tahu kayak gini, mau sampai kapan coba! Dia itu egois, sok kuat, gue nggak suka, gue nggak bisa sama dia kalau gini caranya!"

Cakka menepuk pundak Alvin yang tengah membenamkan wajah diatas lutut. Ia paham Alvin kecewa, Ia pun merasakan hal yang sama.

"Kenapa gue bisa punya sahabat yang egois kayak dia, sahabat yang nggak mau berbagi, sahabat yang nggak nganggep gue ada, nggak bisa percaya sama gue, Kenapa, Cakk? kenapa? bilang sama gue kenapa? coba lo jelasin biar gue--"

"UDAH WOY!!!" belum juga Cakka mengeluarkan suara saat suara lain lebih dulu mengintrupsi keduanya dari belakang, Cakka menoleh dan mendapati Debo disana.

"Ini alasan gue kenapa gue berat ngasih tahu kalian. asal lo tahu, Vin! nggak semua hal bisa diukur dengan kesetiaan atau apapun itu namanya!"

"Gue tahu Lo marah, Lo kecewa sama Rio, tapi gimanapun juga, disini Rio jadi satu-satunya orang yang paling ketakutan, dia kesepian, dia jauh lebih sedih nanggung semua ini, sendirian pula. Okelah, kalian udah tahu keadaan dia. tapi bagi dia? Kalian sangat penting untuk tetep nggak tahu! Lo mungkin benci buat ngakuin Rio sahabat lo sekarang, tapi plis, Vin. Lo pasti tahu apa yang bisa dia tanggung dan apa yang enggak. Gue nggak mau, keputusan gue ngasih tahu kalian jadi sia-sia karena dia bisa aja nyerah sekarang, gue nggak mau itu terjadi!"

Alvin menatap dalam manik mata Debo yang tampak rapuh, Debo benar, tidak seharusnya dia menghakimi Rio seperti tadi. "Gue nyuekin dia tadi, gue diemin dia, gue harus minta maaf, De!" lirihnya seraya berdiri hendak meninggalkan atap.
Namun, baru beberapa langkah menuju kepintu keluar, Gabriel datang dengan nafas terengah.

"Cakka! Alv-" Gabriel menghentikan kalimatnya begitu melihat Alvin, jika Cakka sudah menemukan Alvin itu artinya...

"Gue nggak bisa nemuin dia, Gue udah ngerahin anak-anak buat nyari ke area sekolah, UKS, Ruang OSIS, Perpustakaan sampe warung bang jono tapi nggak ada juga" ujarnya gusar, jika tadi dia befikir Alvin yang akan ditemuinya ditaman sementra Rio bersama Cakka maka semuanya nol besar, keadaan berbalik.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top