52 - I Will be Fine

Jika ada kalimat yang mampu menggambarkan betapa senang Ify hari ini, sudah pasti Ia akan menyematkannya, mengabarkan pada dunia akan kejutan indah Tuhan yang membuatnya berbunga.

Siapa sangka, ketegangan yang mendominasi ruang kesehatan sekolah berubah begitu cepat, Ify yang tadinya hanya bisa diam, seketika menegakkan kepala, menatap wajah sendu lelakinya yang perlahan membuka mata, masih dalam diam, Ify membiarkan jemarinya digenggam oleh lelaki itu.

"Kenapa sedih gitu sih mukanya, senyum dong cantik..."

Ify menundukkan wajah saat mendengarnya bicara, suaranya terasa begitu menenangkan, seolah mendekap hati yang kian bergetar.

"Aku udah nggak apa-apa kok, Fy... udah dong..."

"A... a... aku ta... takut..." Ify menggigit bibir bawahnya kuat, berusaha agar tidak menangis, setidaknya tidak di depan lelaki ini karena dia sudah janji.

"Nggak apa-apa, Princess... aku beneran baik-baik aja kok, jangan takut"

semakin lama mendengar lelakinya bersuara, rasanya semakin sulit baginya menahan airmata, dia ingin bersembunyi barang sekejap, tapi rasanya perasaannya terlampau dalam untuk ditutup rapat, Ia tak ingin diabaikan, Ia ingin terlihat, mencoba menampakkan diri dengan lelehan bening yang semakin lama semakin tak tertahan. Ify membiarkan matanya terpejam, masih sesenggukan, bibirnya bergetar tanpa suara, terlalu banyak kata yang ingin dia utarakan hingga tidak ada satupun yang keluar. Sekali ini saja, Ia ingin hatinya menang, terlepas ini salah atau benar, dia ingin memenangkan hatinya, memenangkan perasaannya, mungkin ini salah, sangat salah mengingat statusnya dengan Debo sekarang, tapi bagaimanapun juga hatinya butuh dimenangkan.

"Alyssa..."

Ify mematung ditempat, meski tanpa kalimat hiburan yang panjang, dekapan erat yang datang seolah mampu meluruhkan segala luka, Ia mengangkat wajahnya perlahan, memastikan jika pelukan ini bukan mimpi, ingin rasanya dia mengungkapkan kesenangan ini, susah payah dia menahan diri untuk tidak menangis lebih kuat, tapi tidak sanggup. liquid beningnya menjadi bukti paling konkret bagi semesta betapa dia bahagia dengan dekapan ini, waktu ini, dan kesempatan yang sama sekali tidak terbayang.

"Alyssa..."

Ify tersadar, buru-buru Ia menghapus airmata yang tersisa, tidak, dia tidak boleh menunjukkan kerapuhan seperti ini lagi, tidak seharusnya Ia menambah beban lelaki itu dengan memikirkan dirinya yang cengeng, tidak boleh.

"Udah dong..."

Sentuhan lembut di pipi mungilnya membuat Ify mengangkat wajah, Rio berdiri di hadapannya, menangkup wajahnya dengan kedua telapak tangan, mengusap sisa-sisa air mata lalu meniupi kelopaknya pelan, seperti yang biasa dia lakukan.

Ify menarik Rio kedalam dekapannya, menangis lagi diatas bahu tegap lelaki itu, sekali lagi. "M... ma... ma... maaf, ma... maafin aku..."

"Ternyata, pelukan aku masih ampuh ya, buat bikin kamu ceriwis lagi"

Ify merengut, selalu saja begini, Rio selalu bisa membuatnya menangis dan tersenyum disaat yang sama, dan dengan sebab yang sama. "Sebel ih," Ia merengek lagi.

"Udah, udah, ke kelas aja yuk? ngapain juga disini lama-lama, serem ih..."

"Tapi kamu kan masih sakit, Yo!" sela Ify tak terima.

"Udah sembuh kok"

Sentuhan lembut di pipi mungilnya membuat Ify mengangkat wajah, Rio berdiri di hadapannya, menangkup wajahnya dengan kedua telapak tangan, mengusap sisa-sisa air mata lalu meniupi kelopaknya pelan, seperti yang biasa dia lakukan.

Ify menarik Rio kedalam dekapannya, menangis lagi diatas bahu tegap lelaki itu, sekali lagi. "M... ma... ma... maaf, ma... maafin aku..."

"Ternyata, pelukan aku masih ampuh ya, buat bikin kamu ceriwis lagi"

Ify merengut, selalu saja begini, Rio selalu bisa membuatnya menangis dan tersenyum disaat yang sama, dan dengan sebab yang sama. "Sebel ih," Ia merengek lagi.

---

***

Alvin tidak beranjak meski bel pulang sudah berbunyi dari sepuluh menit yang lalu, hazel gelapnya menatap kosong dua bangku kosong yang ditinggal pemiliknya sejak jam pelajaran ketiga tadi.

"Viiin..."

"Hmm..."

"Kita nggak nyamperin Rio?"

Alvin menggeleng ragu, "Kalau kamu mau liat dia nggak apa-apa, Aku tunggu diparkiran aja"

Shilla menatap dalam wajah sayu Alvin yang kini memutar arah ke jendela. Meski tidak tahu apa yang lelakinya pikirkan, dia yakin pasti ada yang tidak beres. "Nggak deh, aku nemenin kamu aja, kamu kenapa sih, lagi ada masalah ya?"

Alvin menggeleng, "Nggak kok"

Shilla memicingkan matanya sebal, "halah, dosa lo udah numpuk kali, nggak usah lo tambahin, pake acara bohong segala!" ujarnya sambil menyilangkan tangan di depan dada, aksi ngambek.

"Beneran, cantiiik!" Alvin mengacak-ngacak puncak kepala Shilla lalu menggandengnya keluar. "Pulang yuk... Aku lagi pengen makan enak nih, sekali-kali"

Shilla mengangguk antusias, meski tidak berhasil membujuk Alvin untuk cerita, setidaknya dia bisa terus berada disamping lelaki ini, menemaninya dengan senang hati sampai nanti, sampai Alvin mampu untuk lebih terbuka padanya seperti yang Ia inginkan.

---

Alvin menghentikan motornya di depan salah satu kedai di dekat taman kota, mereka turun dari motor kemudian memilih tempat di ujung kanan.

"Shill..."

"Yaa..." Shilla tersenyum lucu, entah karena aura kedai yang agak romantis atau keberuntungan semata, dia merasa dejavu bisa menikmati suasana indah berdua dengan Alvin seperti ini.

"Disaat lo nyaris kehilangan harapan, apa yang bakal lo lakuin?" tanya Alvin ambigu.

"Harapan yaa..." selanya, Shilla tertegun agak lama, menatap sorot mata Alvin yang menggelap dalam pandangannya, terjawab sudah, kegelisahan jelas tersirat dari tatapan kosong itu. "Yaa, kalau buat aku, selama kehidupan itu masih ada, kita nggak akan kehilangan harapan. selama kita nggak nyerah, kita masih punya harapan meski sangat tipis sekalipun. Aku nggak tahu harapan apa yang kamu maksud sekarang, tapi yang aku tahu kamu cuma butuh tetep hidup agar harapan itu nggak hilang" ujarnya seraya menggenggam lengan Alvin, berusaha menyalurkan kekuatannya.

"Aku takut Rio nyerah, Shill"

"Dasar bodoh..."

"Hah?"

"Kamu udah kenal Rio berapa tahun sih Alvin sayaaaaang... emang kamu yakin Rio bakal nyerah gitu aja? Kamu nggak lupa ' kan gimana batunya tuh sableng kalau udah ada maunya!"

Alvin mengangguk ragu. "Ta... ta... tapi kan..."

"Gini aja deh! Kalau kamu nggak pengen dia nyerah, ya kamu jangan nyerah dong, jadi lebih kuat buat Rio, buat dia yakin untuk bertahan, gitu aja pake nanya!" Shilla malah ngomel-ngomel.

---

Alvin tidak bisa tidur, berkali-kali dia menatap balkon kamar sahabatnya dibalik jendela dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Mengenal Rio sejak kecil membuatnya terbiasa berbagi banyak hal dengan laki-laki itu, Rio selalu mengungkapkan apa yang terjadi dan apa yang dia pikirkan untuk diselesaikan bersama, berharap mereka akan mendapatkan titik temu berdua, yaa... berdua.

Kebiasaan itu berlalu dengan sangat baik sampai hari dimana dia mengetahui sesuatu yang sangat penting yang sengaja disembunyikan Rio, perihal sakitnya. Sejak itu, banyak keraguan mengancam batinnya kalau-kalau Rio akan melakukan kebohongan yang sama. dan kini hal itu benar terjadi, Meski Rio tidak melakukannya secara gamblang, pengakuan Debo tadi siang membuatnya merasa dibohongi untuk kedua kalinya. Lalu, kebohongan itu akan menciptakan kebohongan lain pada hari berikutnya, satu kali, dua kali, tiga kali, sampai kesekian kali.

Selama ini, Alvin selalu berusaha jujur ada Rio agar mereka bisa saling percaya dan berbagi apa saja.

Salahkah jika kini dia merasa kehilangan? Rio yang dikenalnya sejak kecil perlahan menghilang, menjauh dari genggamannya?
Dia tahu, Rio melakukan hal ini karena dia tidak mau merepotkan orang-orang disekitarnya, dia tahu Rio sangat keras kepala. Dia mengerti Rio tidak mau membuat orang-orang disekitarnya khawatir, sedih, takut, atau ikut serta menanggung kesakitannya. Tapi tetap saja, Dia tidak bisa menerima ini dengan mudah. Baginya, alasan Rio kali ini terlalu sinetron.

Bagaimanapun, dia ingin Rio bisa jujur padanya, berbagi segala rasa seperti waktu kecil dulu, dia ingin tahu cara yang tepat untuk berupaya melindungi Rio sebelum dia menyesal karena tidak mampu melakukan kebaikan untuk menjaga persahabatan mereka.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top