50 - Strategi
Quarter akhir dimulai...
Sejak awal Khatulistiwa mencoba bermain tenang karena tahu kapten Cakra kelelahan, mereka hanya berusaha mempertahankan keunggulan yang sudah mereka dapatkan di quarter sebelumnya dengan menjaga ketat Rio agar tidak mencetak angka.
Rio juga tampak tenang, sembari bermain dalam penjagaan lawan dia mulai mengkode Gabriel dan Cakka untuk memulai serangan sementara dirinya beralih ke forward. Kepercayaan diri Cakrawala sudah pulih, semangat mereka untuk berjuang sampai akhir tidak diragukan lagi, terlihat jelas wajah-wajah bersinar pamain Cakrawala memenuhi setiap sudut lapangan, semangatnya seakan mampu membangkitkan supporter di sekeliling mereka yang kini mulai berteriak kembali, mengelu-elukan nama jagoannya, merangkul, bertepuk tangan, memberi kekuatan dan keyakinan untuk terus bermain.
Selama quarter ini Rio diam-diam menyadari apa maksud bisikan Gabriel padanya sebelum pertandingan dimulai, kini dia tahu, dia paham dimana letak perbedaan permaninan antara timnya dan khatulistiwa. Semua terbaca jelas kali ini, Khatulistiwa bermain bagus, tapi mereka hanya mementingkan skill individual saja, tidak ada kekeluargaan, tidak ada koneksi, strategi yang mumpuni, apalagi komunikasi saat terkepung sebagaimana kenyamanan yang dia pertahankan dalam tim kebanggaannya, Cakrawala.
Permainan semakin sengit. Meski beberapa kali kecolongan dan lawan masih unggul, Cakrawala bermain offensif, saling menjaga, mencari peluang bersama.
"Jangan peduliin angka lawan. Pokoknya, kita harus fokus cetak angka lebih banyak dari mereka!" ujar Debo membangkitkan semangat pemain lain.
Shooot...
Lay up, Al. Shoot...
Bruuk...
Angka di papan score bergerak cepat, pergantian posisi dan strategi asal dari Rio berhasil mengecohkan pemain Khatulistiwa satu-persatu, permainan mereka kacau sehingga Cakrawala bisa dengan mudah menambah angka. melihat semangat yang membara itu, Khatulistiwa mendadak stuck, kebingungan akan trik mereka sendiri. Serangan berbalik tanpa mereka sadari, bukan hanya dari Cakka dan Alvin tapi juga tiga pemain lain. Walaupun sempat mencuri angka saat serangan balik, permainan Khatulistiwa berakhir di formasi ini, mereka hanya bisa menjaga pertahanan sekuat mungkin dari seragan tuan rumah, Cakrawala.
Lima menit sebelum pertandingan berakhir, Cakra berhasil unggul dengan dua kali Lay-up dari alvin ditengah kelengahan Kahtulistiwa yang sibuk menjaga Rio dan Debo.
Proook... prook... prook...
Sorak sorai pendukung menggema menyambut angka pungkasan dari starter Cakrawala. Alvin mendesah lega, melanjutkan permainan mempertahankan angka mereka hingga peluit panjang tanda pertandingan berakhir berbunyi dengan score akhir 51 - 47 untuk kemenangan SMA Cakrawala.
"YEEEY!" Sorak Cakka senang ditengah lapangan, "Akhirnya Kita Menang, Vin..." lanjutnya menepuk bahu tegap Alvin yang berdiri disampingnya. Semua pemain menunjukkan kelegaan dengan tangan terbentang, melangkah bersama saling mendekat lalu merekatkan tangan-tangan mereka bersamaan pula, pelukan teletubies.
Dayat berlari menyusul pemain inti ditengah lapangan, wajah cerahnya menyambut rangkulan anggota tim, melangkah lebih dekat setelahnya, menepuk pundak Rio yang berdiri tidak jauh dari Alvin. "Thanks ya, Yo! lo udah kasih gue kesempatan main bareng tim inti yang sebenernya, gue seneng banget meskipun nggak bisa main penuh, gue akuin kalian hebat, mainnya pakai hati" katanya bangga.
Rio mengangguk pelan, berterima kasih atas doa dan pujian untuk timnya. Detik berikutnya, dia menunduk dalam menstabilkan nafasnya yang mendadak sesak, jatuh terduduk dengan dua tangan bertumpu pada lutut, mengabaikan apa-apa saja yang ada disekitarnya.
Debo melangkah mantap ke barisan para pemain Khatulistiwa yang berkumpul di basecamp setelah pertandingan selesai. Pertama, dia memberi salam hormat pada pelatih dan juga wasit mengucapkan terima kasih atas bantuan dan ketersediaan beliau menyemangati pertandingan hari ini. Setelah itu, barulah mendekati Lintar yang menatapnya tidak suka. Debo mengembangkan senyumnya, menjulurkan tangan bersalaman pada anggota tim Khatuistiwa, "Thanks ya, Bro! udah main sama kita..."
"Urwell, Man! Kita seneng kok bisa main sama kalian" balas salah satu pemain mewakili yang lain, semuanya tampak mengangguk kecuali satu orang dibarisan paling ujung, Lintar.
Debo tidak gentar, dia melangkah mendekati orang itu karena sejatinya lintar adalah tujuan utamanya datang dibarisan ini. "Big Thanks buat pemainan kita hari ini, lo udah ngasih tahu gue gimana rasanya punya tim yang nganggep kita bukan sebagai kawan main doang, tapi keluarga." bisiknya pelan tepat di telinga lintar, satu tangannya menunjuk handband kapten yang masih bertengger di lengan kirinya, "Mereka juga ngasih gue kesempatan dan kekuatan buat buktiin sama lo kalo gue bukan benalu di rumah gue yang sekarang!" tegasnya setelah sebelumnya dia mendekat, merangkul sosok itu kuat.
Lintar agak tersentak, kemudian menggeser rangkulan Debo dan berjalan meninggalkan barisan.
Debo mengulum senyum senang, "Thanks, yo. puas banget deh gue bisa ngeliat tuh orang mati kutu kayak tadi, ide lo emang keren"
❇❇❇
Gabriel memapah Rio yang tampak begitu kepayahan di bantu Cakka. sementara Alvin membawa tas mereka semua dan memasukkannya asal ke dalam mobil Cakka yang terparkir di barisan belakang. diantara para pemain, jelas Rio yang paling banyak diserang kali ini, entah itu sikutan, tendangan, lemparan yang meleset atau sengaja dipelesetkan. Yang jelas, perubahan strategi Cakrawala yang tidak terfikirkan membuat konsentrasi Khatulistiwa pecah sampai mereka terpaksa bermain kasar.
"Lo yakin nih nggak perlu ke rumah sakit?" koreksi Cakka sekali lagi, kernyitan kasar di dahi sahabatnya cukup untuk membaca sekuat apa anak-anak Khatulistiwa menyerangnya tadi, sejak memulai show Off di babak kedua sampai kuarter penuh selesai, Rio menjadi satu-satunya pemain yang setiap gerakannya diawasi, operan, gocekan, dan beberapa gerakan spint yang dilakukannya berujung balasan kasar dari Khatulistiwa. Sehingga, wajar jika diantara mereka semua, dialah yang cideranya paling parah.
Rio menggeleng, dia hanya ingin cepat pulang dan istirahat daripada harus kerumah sakit, dadanya masih agak ngilu, sakit sekali, diantara banyaknya serangan yang terjadi sepanjang permainan tadi, sikutan Lintar sebelum Alvin melakukan lay up di menit terakhir menghantam dadanya terlalu kuat, seperti ada tali tak kasat mata yang membelit bagian itu hingga tidak ada ruang yang tersisa untuk mendapatkan udara.
"Lo tuh ya, batu banget sih jadi manusia! Gue bilang juga apa! Jangan sok kuat, udah tahu kita dibantai! hobby banget sih bikin gue jantungan!" Omel Gabriel sambil membantu Rio duduk dan sandaran di jok depan samping kemudi. Cakka terkekeh sementara Rio hanya tersenyum sebagai jawaban, tanpa berbicara sekalipun dia tahu Gabriel bisa membaca seperti apa pembelaan yang tepat dalam situasi ini.
Persahabatan adalah hubungan konkret yang bisa kita sentuh dan kita rasain detakannya, kebersamaannya, canda tawanya, semua kenyamanan itu membutuhkan rumah untuk singgah agar kita bisa merasakannya sepuas hati. Lalu, dimanakah dia bisa berhenti?
***
Tidak ada yang membuka suara, suasana taman kota mala mini terasa semakin mencekam sejak orang-orang yang menyambanginya tak jua mengutarakan maksud satu sama lain. Keduanya saling diam, membiarkan angin berlarian seorang diri, saling tidak peduli seakan sengaja mempermainkan waktu yang semakin menaik setiap detiknya.
"A... Aku, e... a... ada yang mau aku omongin sama kamu!" Rio meremas tangannya, memaki cara bicaranya yang sudah seperti anak kecil ketakutan, padahal dirinya sudah susah payah membujuk Ify untuk ikut bersamanya siang ini, sebentar, yaa... hanya sebentar sampai kata itu berubah panjang lantaran mereka terlalu lama saling diam. Entah kenapa, dia gugup luar biasa sekarang, duduk berdampingan seperti ini, berdua saja, membuat jantungnya tidak berhenti berdetak kencang, meruntuhkan keberaniannya.
"I... ini tentang ki... kita, tentang hubungan kita" Rio memejamkan mata, menetralisir rasa takut yang kian menguat, ya tuhan... tidakkah ini keterlaluan? Sebelumnya dia tidak pernah segugup ini hanya untuk mengutarakan sesuatu kepada seorang gadis.
"A... aku ma... mau, a... minta maaf, maaf karena aku nggak bisa jujur sama perasaan aku sendiri kalau sebenarnya, a... aku, kalau sebenarnya hati aku butuh kamu, sangat butuh kamu. Aku tahu kamu marah, kamu kecewa, Tapi, kamu juga harus tahu, aku bisa ngomong kayak gini sekarang itu nggak mudah" Rio menarik nafas panjang, menghembuskan perlahan guna menetralisir kegamangan hatinya, "Aku sadar, aku emang salah, aku udah banyak nyakitin kamu, untuk itu aku bakal nepatin janji aku sebagai permintaan maaf, sekaligus pembuktian kalau aku serius sama perasaan aku, aku nggak main-main, Fy. Aku juga udah minta izin sama Debo, yaa... meskipun ujung-ujungnya kita berantem sih" lanjutnya sembari terkekeh mengingat perdebatan panjangnya dengan Debo beberapa hari lalu.
"Tapi kamu tenang aja, aku nggak akan mundur. Aku tahu Debo ngelakuin itu karena dia mau perjuangin kamu, dia tulus sayang sama kamu, Fy..."
"T... tapi,"
Rio tersenyum simpul, akhirnya, Ify mau membuka suara, meski hanya sekedar sanggahan, setidaknya dia tahu gadis itu tidak mengacuhkannya, ya itu saja sudah cukup. "Nggak apa-apa, nggak akan terjadi apa-apa, kamu tenang aja"
"E... I... itu, ta... tapi kan?"
"Sssssttt..." Rio mengarahkan jari telunjuknya di bibir tipis gadis itu, membungkamnya tanpa kalimat apapun, dan selanjutnya yang mereka lakukan hanyalah saling tatap, membiarkan mata menjelaskan semuanya sebelum fajar menyingsing ke barat, menyisakan warna jingga yang kentara di batas azura.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top