48 - Tak Ingin Kehilangan
Cinta bukan semata tentang siapa dan kenapa kita jatuh cinta, tapi Ada kalanya Cinta meminta kita untuk memilih pelabuhan luar biasa yang akan kita singgahi sebelum memutuskan kepada siapa perasaan itu akan pulang!
***
Pulang sekolah Rio, Alvin, dan Gabriel berkumpul dikamar Cakka, padatnya agenda belajar dan latihan pemantapan membuat mereka nyaris kehilangan waktu bersantai, jangankan untuk berkumpul seperti ini, bisa menikmati waktu istirahat dengan benar saja sudah lebih dari cukup. Lusa pertandingan akan digelar, Cakrawala selaku tuan rumah sudah berusaha mempersiapkan segala sesuatunya sebaik mungkin, termasuk para pemain yang akan turun, untuk itu semua elemen sekolah menjadi sangat sibuk mempersiapkan banyak hal baik teknis maupun kepanitiaan demi kelancaran acara.
"Gimana keadaan lo, ndut?"
"Sorry, baru sempet kesini..."
"Cakra kalau punya gawe nggak main-main sih, ruwet banget!"
Cakka yang masih berbaring memandangi tiga manusia berseragam yang baru datang ke kamarnya dengan kening berkerut, apa-apaan mereka ini? datang seperti rombongan partai yang sudah tidak karuan lagi bentuknya, saling duduk tumpang tindih di atas kasur yang tidak seberapa. "Kalian niat nggak sih, jengukin guenya? Aturan tuh ya bawain makanan dong, ini malah nggak bawa apa-apa!" gerutunya
"Tadinya kita mau beliin lo siomay mang jono, tapi kagak jadi, abis rame sih!" balas Gabriel seadanya.
"Lagian, masih sakit aja sok mau makan lagi, lo!" Alvin ngomel-ngomel.
Cakka meringis kaku, "Ngomong-ngomong, si Agni aman kan?" lanjutnya mengalihkan pembicaraan setelah menemukan posisi yang pas untuk bersandar disisi ranjang, memberi ruang pada Rio yang hendak duduk di tepi kanan.
Rio mengangguk, "Amaaaaan, tenang aja"
"Syukur deh"
"Terus, planning lo gimana? Jadi?"
Cakka mengangguk, "Iya dong... gue udah ngebet, masa nggak jadi..." Cakka menatap langit-langit kamarnya sejenak, menghela nafas pelan, "Ntar gue mau kesana dulu, yaa... syukur-syukur kalau doi udah nggak marah, kalau masih ya, ntar gimana baiknya aja"
"Pokoknya inget badan, kan itungannya lo masih pasien rumahan. Kalau sampe ketahuan macem-macem, gue kandangin juga lo di rumah sakit!" peringat Rio tegas.
Cakka mengangguk pasrah, "Iyaaa, iyaaaa. terus, pertandingan gimana nih? kita jadi main lusa?" lanjutnya merubah topik. Gabriel dan Alvin yang tadinya diam sambil tiduran bebek di atas kasur seketika menegakkan badan, tatapannya berubah serius.
"Pastinya, tapi lagi ada yang sparring nih gara-gara cinta, jadi yaa gitu!" celetuk Gabriel
"Lo jangan mulai deh, Yel!" sela Rio cepat.
"Kagak, gue cuma ngasih tahu doang"
"Ya, kenapa harus lo kasih tahu"
"Ya, biar dia tahulah!"
"Apa urusannya, coba—
"Udah, udah, apa-apaan sih! Jadi, kalau Rio ada sparring sama Debo terus hubungannya sama tim apaan?" sela Cakka menengahi, lagipula dia sudah tahu perihal urusan rumah tangga mereka bertiga ini, jelas saja hal yang demikian bisa dengan mudah terbaca mengingat dia masternya dalam urusan percintaan.
"Latihan nggak ada yang beres, mana bakal turun dua-duanya lagi!" gantian Alvin yang menyahut.
Cakka tertawa keras, "Makanya, buruan tembak si Ify, biar perasaan lo bertiga jelas, nggak capek apa main kereta gantung mulu"
"Nah, Gue setuju tuh!"
"Idem!"
"Hajar, man!"
"Sue lo semua!"
❇❇❇
"Selamat malam, Agni sayaaang" Cakka melebarkan senyumanya saat pintu di depannya terbuka untuk kedua kali, menampakkan siluet gadisnya yang masih menunjukkan wajah datar. wah, rupanya dia harus berusaha lebih keras lagi untuk mendapatkan maaf dari sang pujaan hati, "Aku ada hadiah nih buat kamu" lanjutnya seraya menyerahkan goddie bag kecil yang disiapkannya sebelum berangkat.
"Ng... ngapain lo kesini? Gue lagi males nerima tamu!"
Cakka menghela nafas, ternyata estimasinya salah, "setidaknya biarin aku masuk dulu, Ag. sebentar aja" ujarnya pelan seraya menatap dalam manik mata Agni yang tampak sedikit basah, entah perasaannya saja atau memang benar demikian.
Satu detik...
Lima detik...
Sepuluh detik...
Cha! Dia tersenyum senang melihat gadis itu melepaskan pegangannya dari daun pintu, membukanya lebih lebar, mengizinkannya masuk tanpa suara. Cakka mengikuti langkah pelan gadisnya menuju taman belakang tempat dimana mereka biasa menghabiskan waktu luang, duduk di salah satu sisi kursi di dekat dinding, sekelilingnya terasa dingin dan mencekam, kebungkaman Agni membuatnya harus berfikir lebih keras tentang bagaimana mengajak gadisnya bicara, saling mengungkapkan perasaan dari hati ke hati agar kesalahpahaman yang terjadi segera menemukan jalan keluar.
Cakka diam agak lama, memikirkan cara demi cara, kemungkinan demi kemungkinan yang harus ditangungnya sebelum mengambil keputusan, dia memikirkannya keras hingga pandangannya tertuju pada bola basket yang tergeletak di ujung taman, seketika wajahnya merekah cerah, rupanya tuhan masih berbaik hati memberinya jalan ditengah harapan yang nyaris pupus. cepat saja, Dia beranjak mengambil bola itu, memainkannya, menggiring pelan mendekati ring lalu melemparnya dengan satu gerakan cepat. Brukk, bola itu berhasil masuk tanpa kendala berarti. "Basket yuk, Aku kangen deh basket berdua gini sama kamu!" ajaknya kemudian.
"Males ah!"
Cakka tersenyum, setidaknya dia berhasil membuat gadis itu bicara, merespon ajakannya, meski menolak, tidak ingin menyerah dia beranjak mendekatkan posisinya dengan Agni yang duduk di sisi seberang kursi, mengenggam tangan gadis itu seraya menyerahkan bola basket yang diambilnya setelah mencetak angka tadi. "Ayolah, kamu yang tentuin deh cara mainnya, terserah mau gimana, yang penting aku butuh bicara sama kamu, aku butuh kesediaan kamu buat ngasih aku waktu itu"
"Oke, kalau lo bisa ambil bola ini dari gue dan masukin tuh bola 10 kali, gue bakal kabulin permintaan lo, gimana?"
"Oke, siapa takut!" Cakka mengangguk semangat, apalagi yang bisa membuatnya senang selain kesempatan yang Agni janjikan? Bukankah tujuannya kemari memang untuk mendapatkan itu? Maka, tanpa membuang waktu Dia segera mengambil bola dan memberikannya kepada Agni, menyerahkan menit pertama permainan pada gadis itu.
Sesuai dugaan, belum apa-apa Agni memainkan si oren seperti playmaker handal, mendrible bola, melempar, menyerang, melakukan lay up kemudian melemparnya kedalam ring...
BRUKK...
BRUKK...
BRUKK...
Permainan berjalan serius, keduanya saling serang, saling menunjukkan kemampuan untuk mengambil alih bola, berusaha mencetak angka secepat mungkin. Cakka berusaha mengimbangi permainan Agni yang gencar melakukan seragan dan block sehingga beberapa kali dia terpaksa kehilangan bola, dia tidak menyerah, meski kemungkinannya kecil, dia tetap berusaha mendapatkan kesempatan itu. Permainan terus berlanjut, semakin lama durasi yang dibutuhkan, semakin keras pula cara bermainnya.
Tiga puluh menit berlalu, keduanya mulai tampak kelelahan, permainanpun menjadi tidak kondusif, Cakka berusaha mempertahankan bola demi mendapatkan lemparan terakhir yang sempurna mengingat dia sudah berhasil melakukan sembilan tembakan dalam kurun waktu ini, hanya tersisa satu lagi maka dia akan menang.
"Fokus, Cakka! Fokus" lirihnya mensugesti, konsentrasinya mulai berkurang, nafasnya tersenggal hebat, sesak. padahal jika dipikirkan, permainan kali ini tidak ada apa-apanya dibandingkan pertandingan umum yang sering dia menangkan. Berkali-kali Agni berhasil mengecoh gerakannya, merebut bola dan berhasil mencetak angka, entah keberapa.
'ayo, Cakka. Satu lemparan lagi!' Cakka kembali bergerak mengambil alih bola dari Agni yang juga tampak kepayahan, tidak ingin membuang kesempatan dia segera mengambil posisi terbaik sebelum melempar bola terakhirnya, pandangannya agak berbayang, wajahnya basah, derasnya keringat yang turun seakan menunjukkan sekeras apa permainan mereka hari ini, kembali, dia mencoba memfokuskan diri, memperhitungkan arah tembakan sebelum Agni merebut bola itu kembali, setelah dirasa tepat, dia melemparnya ke dalam ring.
Hupp...
Brrukk...
'Yes!'
Senyumnya merekah di sela lelah yang serasa meremukkan tulang, tubuhnya berbalik perlahan menatap Agni yang sudah terduduk di tengah lapangan, "Kita istirahat dulu deh, gue udah menang 'kan?" ujarnya seraya mendudukkan badan tidak jauh dari posisi gadisnya, menelungkupkan kepala dibalik lipatan lutut yang terasa bergetar, menstabilkan nafas yang tersenggal, kepalanya berdenyut hebat.
"Gue ambil minum dulu!"
Cakka mengangguk tanpa merubah posisinya, agak lama dia berada diposisi itu hingga suara langkah Agni mulai terasa jauh, barulah dia mengangkat wajah, memijat tengkuknya perlahan, berharap nyeri di kepalanya berkurang. Konsekuensi dari sebuah pilihan memang tak pernah salah arah, wajar jika dia merasa begitu lelah mengingat kondisinya memang belum terlalu baik pasca serangan berkala dalam beberapa hari terakhir, beruntung dia sanggup menahannya kali ini, toh ini tidak parah, apalagi dia sudah menang dan sebentar lagi Agni akan memberinya kesempatan bicara.
"Minum dulu, Cakk!"
Cakka menoleh kebelakang begitu gadisnya kembali terdengar, rupanya Agni sudah datang dengan dua gelas besar air mineral dan beberapa kue yang diletakkannya di bagian tengah kursi tempat mereka duduk tadi, kemudian tersenyum.
Dengan kaki yang masih bergetar, Cakka bangun dari posisinya, melangkah mendekati Agni yang duduk di salah satu sisi kursi setelah menikmati minumannya, jelas sekali jika gadis itu masih kelelahan.
"Ag," Cakka duduk bersimpuh di atas rerumputan tepat di depan Agni lalu mengenggam jemari gadisnya erat, dia bisa merasakan Agni tidak nyaman dengan aksinya yang tiba-tiba, jemari dalam genggamannya terus bergerak, wajahnya menunjukkan keterkejutan yang sangat kentara.
"In... ini, ap— lepasin..."
"Kamu masih inget nggak, pertama kali kita ketemu? Aku nggak pernah nyesel kita nggak bisa romantis kayak di film-film, aku sadar cerita kita beda dari kebanyakan orang, begitupun cinta kita, meskipun kita sering berantem, buat aku kamu itu spesial, Ag. Kamu satu-satunya cewek yang nggak bisa aku dapetin dengan jurus-jurus cinta yang aku punya" Cakka memulai monolognya, intonasinya dibuat tenang berharap dengan demikian, Agni akan mengerti kemana arah pembicaraan keduanya mala mini.
"Kalau kamu masih inget malming pertama kita, malam itu aku seneeeeng banget akhirnya kamu nganggep aku cowok kamu, kamu mau minta sesuatu sama aku, kita tatap-tatapan kayak di film-film, aku ngecup kening kamu berharap kamu nggak akan ngeraguin cinta aku..."
"C... Ca... cakka..."
Cakka mengecup tangan Agni cukup lama, "Aku takut tangan kamu terluka, Ag. saking takutnya aku nggak sadar kalau ternyata aku malah ngelukain hati kamu sampai kita jadi jauh kayak gini, aku minta maaf, Ag. Aku nyesel nggak bisa jagain hati kamu, aku malah buat kamu nggak tenang, Aku nggak bermaksud ngelukain perasaan kamu kayak kemarin, aku minta maaf, Ag. aku khilaf... harusnya aku bisa jagain perasaan kamu..." ujarnya menatap dalam manik mata Agni yang kini tertunduk, mengangkat wajah gadisnya perlahan dengan satu tangan yang bebas. "Kamu mau kan, maafin aku?"
Agni menatap lelakinya yang masih bersimpuh tanpa melakukan gerakan berarti, bohong jika hatinya tidak trenyuh melihat usaha lelaki itu hanya untuk meminta waktu bicara setelah hampir satu minggu mereka saling diam, tepatnya dia yang sengaja mendiamkan lelaki itu, memintanya menunggu.
Dia rindu, tentu saja.
Kealpaan Cakka terasa kian kentara sejak lelakinya itu bahkan tidak hadir di sekolah, tidak menghubunginya, tidak lagi mengirim pesan sementara hatinya menjerit ingin tahu tanpa berani melakukan tindakan apapun. Lagipula, bukan hal yang sulit untuk memaafkan Cakka sekarang mengingat dia sudah menghabiskan banyak waktu untuk memikirkan ini. sejatinya, tidak ada yang patut disalahkan berlebihan, cinta membutuhkan kesempatan dan balasan dari masing-masing penikmatnya, seperti mereka sekarang.
"Ka... kalau kamu masih butuh waktu, nggak apa-apa, Ag. a... aku bi... aku bisa nunggu..."
Agni merasakan genggaman pada jemarinya mulai mengendur, Cakka tidak lagi menahan tangannya, jika seharusnya dia marah maka kini hatinya justru berdenyut sakit, ya tuhan? Apa lagi ini? kemana Cakka yang heboh dan doyan bercanda? Kemana Cakka yang tidak bisa diam setiap kali mereka bertengkar untuk memperebutkan si oren? Kenapa malah terasa lain?
"Kalau gitu aku pulang dulu ya, Ag..."
Nggak boleh, jangan pulang...
Jangan pergi,
Jangan tinggalin gue, Cakka!
Agni mengangkat wajah, menahan lengan Cakka yang sudah berdiri, hendak meninggalkan taman rumahnya, dia ingin menahan Cakka, sebentar saja tapi suaranya seakan tercekat di tenggorokan, tidak bisa keluar.
"Ma... maafin aku, Cakk. aku udah bikin kamu binggung" isaknya tertahan, dalam satu gerakan, dia melingkarkan lengan di perut Cakka, memeluknya erat, menyembunyikan wajahnya di balik dada bidang lelaki yang sangat dirindukannya, sekali ini saja dia ingin mengabaikan semuanya, perasaan tidak berdasar yang membuatnya nyaris kehilangan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top