45 - Si Paling Banyak Tingkah, akhirnya Tumbang.

Tiin...

Tinn...

Rio dan Gabriel yang tengah menunggu di teras rumah mengalihkan perhatian begitu klakson mobil terdengar di depan gerbang, Rio beranjak lebih dulu, membuka gerbang.

"Woi, nyet! tumben bawa mobil? biasanya juga nebeng lo!" ledek Rio tepat saat Cakka keluar dari bangku kemudi dengan gayanya yang khas, slenge'an. Rencananya mereka mau ke bandara, menjemput Alvin yang di perintahkan masuk tim minggu ini sehingga harus pulang lebih dulu ke Indonesia, meninggalkan sang Ayah yang masih harus menyelesaikan pekerjaan di Negara tetangga. di luar negeri.

"Sekali-kali ngilangin image jelek gue di depan lo pada nggak apa-apa doong..."

"Halaaah, gaya lo! berangkat sekarang aja deh kalau gitu" putus Rio. Gabriel dan cakka mengangguk, mereka sepakat pergi menggunakan mobil Cakka saja yang sudah diluar gerbang, kali in drivernya Gabriel.

Sepanjang jalan ketiganya larut dalam candaan masing-masing membuat suasana di dalam mobil menjadi teramat sangat berisik, lawakan garing mereka memang serenyah makanan ringan, tidak peduli siapa penyantapnya tetap saja rasanya enak.

"Waah... ide lo bagus juga, Cakk. Tapi, kira-kira Koko mau nggak ya" komentar Rio ditengah obrolan perihal momen baikan Alvin dan Shilla dalam waktu dekat ini.

"Halah, gue sih yakin Koko nggak bakal mau, kalian kayak nggak tahu jaimnya si kodok aja!" sambung Gabriel.

"Iya juga sih, udah ketahuan juga disini siapa yang paling jago urusan cewek, apalagi romantis-romantisan gitu," Cakka memainkan matanya lucu, sedang di sebelahnya Rio hanya mengelus dada, prihatin.

---

Mereka menunggu di deretan kursi dekat pintu keluar domestik dengan kesibukan masing-masing. Rio bersama komik bleachnya, Gabriel dengan ponsel berisi Sivia didalamnya, Cakka bersandar sambil tiduran bebek sampai pandangannya menatap siluet tegap berkacamata tengah berjalan kearah mereka dengan kedua tangan berada di saku jaket.

"Akhirnya landing juga lo di indonesia!" Cakka berdiri lebih dulu, merangkul Alvin disusul Gabriel dibelakangnya.

"Betah apa doyan sih lo disana, nggak ada kabar!" komentar Gabriel

"Nggak juga, disana flat, gak ada yang heboh kayak lo berdua!" Alvin membalas rangkulan itu cukup lama sampai pandangannya beralih pada satu manusia lagi yang belum juga beranjak dari posisinya.

Hening...

Alvin melepaskan ragkulannya pada Gabriel dan Cakka, hendak merentangkan tangan saat lengan lain di depannya melebar lebih dulu memintanya mendekat, bahasa tubuh yang sering kali tidak bisa menempati sepersekian detik logika manusia terhadap manusia lain yang dianggapnya lebih.

"MASIH AJA GEDEIN GENGSI SIH, LO!" Alvin menubruk keras badan tegap lain di hadapannya. hampir saja dia menjitak kesal sosok sok calm ini sesaat sebelum pergerakannya terkunci rangkulan erat persahabatan dari orang itu yang seketika membungkam suara dan gerak yang sebelumnya hendak terjadi.

"Hahaha... ketahuan kan, siapa diantara kita yang lebih ngangenin? buktinya! Tuan Muda Shindunata malah melukin gue duluan" selorohnya pelan.

Alvin menatap laki-laki sok keren di depannya sebal, lagi, Rio berhasil membuatnya kelihatan bodoh di depan Cakka dan Gabriel yang mungkin tengah menertawakan dirinya saat ini. "Lo tuh yaa... bisa aja ngehasut gu—

"Udah, Kita tempur dirumah aja, Lo nggak nyadar apa kalau daritadi kita diliatin" bisik Rio pelan yang seketika membuat Alvin berbalik, menatap sekelilingnya. Ternyata benar, ada banyak mata yang tengah memperhatikan mereka sekarang, meski dia tidak tahu kira-kira apa yang mereka pikirkan, tapi tatapan itu-seakan mengandung berbagai hipotesa- yang entahlah. Alvin melepaskan rangkulannya dengan satu gerakan cepat, Rio tersenyim dalam hati, satu lagi ide gilanya berhasil.

"Yaaah... ilang deh moment sweetnya, Yel..." Cakka menyenggol lengan Gabriel yang mengangguk tak kentara disampingnya.

"Tapi, masih dapet, kan?"

Cakka menganguk samar.

"Pada ngapain kalian?" gertak Rio dan Alvin kompak setelah beberapa menit terdiam mengamati pergerakan disekitarnya, mata keduanya mengarah pada dua orang yang kini saling pandang, seperti mengordinir sesuatu.

"Hayo ngaku nggak lo!" sahut Alvin lebih keras, melihat tatapan norak Cakka, jelas dia merasa ada sesuatu yang tidak beres.

"Eng... enggak ada apa-apa kok... iya, beneran nggak ada apa-apa"

Cakka mengangguk santai, "Yap... bener tuh, kita cuma nikmatin momen aja tadi, sekalian ngabadiin. lumayanlah buat koleksi aib lo berdua!" lanjutnya enteng.

Seketika, Gabriel menepuk keningnya frustasi, Cakka, Cakka, ini sih namanya bukan menyelamatkan diri dari kandang macan, tapi terjun bebas. Ya tuhan, sungguh dia tidak habis pikir kenapa Cakka malah memperjelas kelakuan mereka seakan-akan Rio dan Alvin akan menerima keisengan itu dengan mengucapkan terima kasih.

"CAKKAAAAAA...!"

Tuh, kan! Obsidian keduanya mulai menampakkan aura-aura negatif yang sarat dengan intimidasi. Gabriel tersenyum kikuk sementara Cakka mencoba tersenyum selebar mungkin, berusaha menenangkan suasana sampai beberapa detik kemudian dirinya tersadar jika usaha tersebut tidak akan berhasil.

"HUAAA... KABUUUUUUUR...!"

"WOY! BERHENTI NGGAK LO!"

'Lari Cakka, lari! Lari atau lo bakal habis sama dia! Lo nggak bisa mati muda, lo nggak boleh bikin Agni jadi janda! lari cakka, lari! lari, lari!'

Cakka berlari tunggang langgang menghindari Alvin yang masih mengejarnya sampai diluar bandara, langkahnya semakin lebar melewati area parkir yang luasnya melebihi lapangan basket sekolah. Hanya satu yang ada dipikirannya sekarang, Alvin itu masternya lari, dia harus menghidar sebisa mungkin atau Alvin akan menemukan jejaknya dan menghujaninya dengan gelitikan maha dasyat seperti yang biasa mereka lakukan.

Cakka terus berlari, mencoba menghindar sebaik mungkin sampai rasa perih dan panas menjalar kembali di sekitar lambungnya, seketika langkahnya memberat, sakit yang tadi sempat hilang kembali menyerang, rasanya seperti terbakar. dia meremas perutnya kuat-kuat, menyeret kakinya untuk bersembunyi disela-sela mobil terdekat.

"Aduh... sakit banget sih" rintihnya tertahan, dia menggigit bibirnya menahan diri untuk tidak berteriak, rupanya estimasi Debo siang tadi benar, dia menyesal karena tidak mendengarkan saran titisan Dokter itu untuk beristiahat saja malam ini.

"KENA JUGA DEH, LO! HAHAHA"

Cakka menunduk pasrah, belum lama dia berhenti Alvin lansung bisa menemukannya, rasanya seperti de javu mengingat dulu mereka pernah seperti ini, hampir setiap mari, setiap kali mereka bermain pertak umpet dimanapun itu, Alvin selalu menjadi orang pertama yang bisa menemukannya di tempat-tempat yang tak biasa, karena kebiasaan bersembunyinya yang juga tak biasa, "Ampunlah, Vin." Lirihnya berharap Alvin tidak menyerang balik saat ini.

"Nggak bisa, enak aja! lo kudu terima balesan gue dulu!"

Cakka menahan tangan Alvin yang hendak mendekat untuk menyerangnya, apalagi jika bukan gelitikan maut itu, "Ampunlah, Viiin... Alvin baik deh!"

"Modus deh, nggak, nggak bisa! enak aja!"

Cakka hanya bisa pasrah saat Alvin memutar tubuhnya, membuat mereka berharapan, dengan tenaga yang tersisa, dia berusaha menahan Alvin sekali lagi, "Vin, gu... gue, argh— tangannya yang semula hendak menahan lengan Alvin justru meremasnya kuat, Alvin meringis dibuatnya.

"Lo-lo nggak apa-apa kan?"

Cakka menggeleng, susah payah dia mencoba bangun, berjalan menuju pinggiran lahan yang kosong, menumpukan badan pada pepohonan yang lumayan besar disana, membungkuk, menahan golakan hebat yang lagi-lagi menyerang lambungnya.

"Huekk..."

"Hueeek..."

"Astaga, Cakka!" Alvin memekik panik, cepat dia memburu badan sahabatnya yang sudah nyaris jatuh, membantu memijat lehernya, sampai beberapa menit kemudian Cakka menghentikan aksi muntahnya, menyandarkan badan di pepohonan yang sejak tadi menjadi tumpuan kedua. "Lo kenapa? Lo sakit apa? gue harus gimana? gue harus apa, Cakk? Gue—

"Gue nggak apa-apa kok, Vin"

"Kita balik kalau gitu!" Alvin merangkulkan lengan Cakka di lehernya, membantu memapah badan yang lebih tambun darinya itu untuk berjalan perlahan menuju lokasi dimana mobil mereka terparkir.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top