44 - Sajak Rindu

Seperti halnya kaum pencinta, rindu selalu menyisakan tempat bagi setiap penikmatnya, seperti senja yang selalu datang nyaris setiap hari demi menyaksikan romantisme alam ketika matahari menyerahkan kuasanya pada bulan. Mereka laksana pasangan abadi yang meski tidak saling bertemu, tapi membutuhkan satu sama lain, matahari tidak pernah mendampingi bulan, sebab cahayanya telah meredup demi membuat bulan tampak terang dimalam hari, hanya sesekali Ia memutuskan untuk terbit lebih awal, menanti bulan menyelesaikan tugasnya meski tanpa cahaya, Ia rela tampak pucat di langit kala pagi demi bersanding sekejap dengan pasangannya. Ia rela menunggu sampai bulan benar-benar menuntaskan tugasnya dan memudar bersamaan dengan kembalinya cahaya yang seketika membuatnya kembali terang, setengah cahaya dari bulan karena Ia telah singgah, setengahnya lagi dari cahayanya yang terpancar setelah masa istirahatnya selesai.

Namun, seolah tidak sanggup merasakan bahagianya setia, Cakka justru merasa dunianya kian meredup, diakui atau tidak tanpa Agni membuatnya merasa kalah, dunianya yang cerah seketika berubah, Agni masih bungkam, sekat diantara mereka semakin sulit untuk di bantah. Seperti halnya suasana latihan yang seketika berubah, strategi mendadak bubrah, sorak-sorai penonton tidak cukup membuat semangatnya tergugah, tidak terhitung berapa kali dia salah mengatur serangan, operannya gagal, peringatan demi peringatan datang, gumaman, sindiran dan segala bentuk kekecewaan lain mendominasi permainan hingga latihan selesai.

"Apa-apaan sih, nih! main Lo nggak ada yang bener tahu nggak!" koreksi Riko yang juga merupakan teman satu timnya hari ini, nadanya keras, jelas sekali jika anak itu tengah kesal.

Cakka menangkupkan kedua tangan di depan dada, "S... sorry, Ko"

"Asal nggak pas tanding aja kayak gini!"

"Iya, iya, sorry, gue tahu gue salah, sorry ya..." sekali lagi, Cakka menunjukkan i'tikad baiknya, meminta maaf. Pertandingan melawan Khatulistiwa akhir pekan ini membuat tim harus berlatih lebih keras demi bisa menyeimbangkan permainan. meski bukan pertandingan resmi, bagi Cakra pertandingan ini merupakan ajang pembuktian yang harus diperjuangkan mengingat Khatulistiwa adalah rival terkuat mereka dalam turnamen nasional kemarin, yang mana secara tidak lansung hal itu membuat kesenjangan dari kedua belah pihak.

Pak Joe memang tidak memasang target untuk mereka, beliau hanya meminta agar tim tetap bermain sportif sebagaimana biasa, hindari perseteruan sekecil apapun karena Cakrawala adalah tuan rumah, menang atau tidaknya mereka besok tidak akan menutup mata siapapun yang mengamati atau bahkan mendengar berita seputar pertandingan ini, terlebih lembaga pendidikan tetangga yang akan menjadi tamu agung dalam acara tersebut.

"Udah-udah, namanya juga latihan, minus dikit wajarlah!" ujar Debo menengahi setelah mengkode beberapa rekan untuk berkumpul di sisi lapangan, sudah ada Rio dan Pak Joe yang siap menutup latihan dengan beberapa ketentuan disana. "kumpul dulu yuk, daripada di amuk macan betina!" lanjutnya menunjuk Rio yang berada ditengah kerumunan, tanpa komando kedua mereka melangkah bersamaan, mengikuti anggota yang lain untuk menerima pengarahan sebelum pulang.

***

Suara-suara kecil menemani langkah dua cowok most wanted yang katanya keren ke kantin. Setelah menerima beberapa petuah dari Pak Joe dan beberapa strategi tambahan untuk pemantapan sabtu ini, mereka diizinkan pulang. Beberapa pemain lansung menuju parkiran sementara mereka memilih mampir ke kantin karena si gembul Cakka mengeluh perutnya agak perih, lapar. Debo yang kebetulan tidak mengantar Ify karena gadis itu sudah dijemput sopir bersedia menemani dengan senang hati.

Cakka menatap bayangan dirinya di sepanjang koridor kelas yang mereka lewati, memainkan rambutnya sok cool seperti model iklan di televisi. 'Orang kalau udah terlanjur ganteng emang susah ya? dilihat dari mana aja tetep cakep, hahaha Cakka... Cakka, semua orang juga tahu kalau lo itu keren, keren kuadrat'

Ctakk!
Ctakkk!

"Ih, apaan sih, sakit tahu!"

Debo mengeram kesal, dia yang berjalan di belakang Cakka dibuat frustasi oleh tingkah ajaib teman satu timnya yang sudah mirip orang gila, senyum-senyum di depan kaca sesekali memainkan kerah bajunya seperti itu, "Jalan tuh pake mata, mas. meleng mulu sih lo!"

"Biasalah, resiko orang ganteng ya gini, pesonanya mah— A... aduh, duh..." Cakka reflek membungkuk, meremas perutnya yang melilit perih, rasanya seperti dipelintir, sakit sekali.

"Astaga, Cakka!" Debo yang masih berjalan dibelakangnya memekik panik, cepat dia memburu badan Cakka dan memapahnya ke kursi terdekat, "Lo nggak apa-apa kan?"

Cakka mendesah berat, "Perut gue sakit banget, kayak diremes-remes..." kedua tangannya sibuk menekan bagian itu berharap dengan demikian sakitnya sedikit mereda, wajahnya seketika pias, keringat sebesar biji jagung mengalir dari pelipisnya. "Kok sakit banget, ya? tadi nggak sesakit ini"

Debo membantu Cakka berdiri, "Ke UKS ajadeh, yuk? lo masih kuat jalan, kan?"

Cakka mengangguk, menerima uluran tangan Debo, memaksa badannya untuk bangun, dia meringis tertahan, belum juga sempurna berdiri dia terpaksa berjongkok karena perutnya luar biasa sakit, "G... gu... gue nggak kuat, sakit banget"

Debo tidak menyerah, sekali lagi dia membantu Cakka berdiri, menahan agar tubuh itu tidak jatuh, "Ayok, UKS cuma dua kelas lagi dari sini, Gue nggak mungkin gendong lo, ndut! Lo harus tahan"

Cakka mengangguk lagi, kembali memaksa badannya untuk bangun, melangkah mengikuti papahan Debo sambil sesekali meringis, menggigit bibir sepanjang perjalan ke UKS yang terasa berkilo-kilo meter jauhnya.

Setibanya di ruang kesehatan, tidak ada siapapun disana, Dokter dan petugas yang biasa berjaga sepertinya sudah pulang. Debo membantu Cakka berbaring diatas matras, tangannya bergerak memeriksa kening dan leher temannya satu itu, panas. rupanya Cakka demam. Detik berikutnya tangannya beralih pada perut, menekan beberapa bagian disana dengan sangat hati-hati. "Lo tahan ya?" ujarnya sesaat sebelum mengarahkan jemarinya menyentuh perut bagian atas, menahannya agak lama.

"AAAKH!" Cakka berteriak, badannya terangkat sebagian saking sakitnya, matanya menutup rapat saat sentuhan itu terasa semakin kuat menusuk perutnya, tangannya mengepal menahan sakit, nafasnya tersenggal hebat, semakin Debo menekannya, rasanya seperti dia akan mati.

"Lo gila, ya?"

Cakka mengambil nafas dalam begitu tekanannya terlepas, mengacuhkan Debo yang mendadak murka, dia lemas bukan main, jangankan untuk membalas omelan titisan dokter itu, memikirkan bagaimana caranya pulang saja dia sudah malas. Dia hanya diam, membiarkan Debo melakukan apapun yang dia inginkan, selama itu bisa membuat golakan hebat di lambungnya mereda, dia ingin cepat pulang dan tidur dirumah.

"Kalau kek gini sih, namanya bunuh diri, Cakka! Lo waras nggak sih jadi cowok?"

Cakka mengangguk, "Gue belum bosen hidup kali, Agni belum gue kawinin"

CTAAAK!

"Serius, ndut! makan lo nggak bener nih!" ujarnya seraya mengutak-atik kotak obat, sedikit painkiller mungkin cukup untuk meredakan serangan mendadak ini.

"Gue makan kok, makan hati!"

"Anjir," Debo mengelus dada, mengobrol dengan Cakka sama artinya dengan memendekkan masa hidup manusia normal karena di dalamnya mengandung kadar emosi yang sangat besar, tidak sanggup menahan diri, berarti mati. "Nih, minum..." lanjutnya menyerahkan beberapa tablet analgesic dan segelas air, membantunya minum lalu menyuruhnya berbaring. "seenggaknya balikin tenaga lo dulu" suruhnya.

Cakka menurut, namun baru beberapa menit berbaring dia terpaksa bangun, perutnya bergolak hebat, seperti ada sesuatu yang mengamuk di dalam sana, menaik sampai ke dada, merangsek keras, menghantam setiap sisi, memaksa keluar tapi tertahan di kerongkongan, susah payah dia turun dari ranjang, berjalan kearah wastafel dengan bantuan Debo yang reflek menahan tubuhnya agar tidak jatuh.

"Huek..."

"Hueek..."

"Cakk, Cakka, are you okey?"

Cakka menggeleng, entah seperti apa rasa tubuhnya sekarang, dia memejamkan matanya lelah, kepalanya pusing sekali, baru saja dia akan beranjak dari sana saat lambungnya kembali berulah, seperti ada tangan raksasa yang mengambil alih tubuhnya, meremasnya, menyerang tanpa ampun. Cakka menahan badannya lagi di Wastafel, Debo membantu menegakkan punggung, tangannya tidak lagi mengurut leher melainkan perut, memijatnya, menahan di beberapa titik.

"Gue saranin lo ke dokter deh, Cakk!"

"L... lo ngasih gu... gue obat apa racun sih!"

Debo mendesah sebal, nyaris dia memukul anak itu jika tidak ingat siapa yang sedang teraniaya disini. "Udahlah, beresin dulu masalah perut lo, gue anterin balik abis itu!" ujarnya datar, beginilah tidak enaknya mengobrol dengan Cakka, membahas apa, balasannya apa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top